Laki-Laki “Adil Gender” Bukan Utopia: Memperkenalkan Poullain de la Barre

Ivan Jablonka berpendapat bahwa laki-laki yang adil masih menjadi utopia saat ini. Meski ia tetap optimis bahwa apa yang menjadi utopia hari ini akan menjadi nyata satu saat nanti jika laki-laki sungguh-sungguh mengupayakannya. Namun sebenarnya laki-laki yang ia angankan sudah ada dari sejak kurang lebih 3,5 abad yang lalu.

Adalah filsuf François Poullain de la Barre dengan mendasarkan pemikirannya pada prinsip keraguan ala Descartes, menegaskan bahwa manusia seharusnya meragukan semua nilai yang ada dalam masyarakat mengenai inferioritas perempuan dan superioritas laki-laki superior.

Prasangka misoginis ini sudah begitu berakar sehingga perempuan sendiri telah menganggapnya sebagai kebenaran. Terbiasa patuh, tunduk, dan memainkan peran “melayani”, mereka meyakininya sebagai kodrat. Sementara laki-laki sebagai kelompok privilese mempertahankan kekuasaannya dan posisinya yang nyaman. Poullain meminta kepada laki-laki hal yang sama dengan yang dilakukan Jablonka hari ini : interogasi diri dan interogasi dunia.[1]

Sebagai Cartesian, ia menolak asumsi bahwa inferioritas perempuan adalah kodrat. Perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang dapat kita amati dalam masyarakat saat ini bukanlah kodrat, tetapi kultural, tegasnya. Poullain meyakini pikiran tidak mengenal jenis kelamin. Perempuan sama cakapnya dengan laki-laki dalam berpikir, bernalar, dan bertindak, untuk dirinya sendiri dan dalam lingkungan sosialnya.

Perempuan bahkan punya akal sehat yang lebih berfungsi dibandingkan laki-laki “sebagai” hasil dari upaya perlawanan terhadap posisi mereka yang inferior dalam budaya patriarkal. Ia memperlihatkan bagaimana pemisahan tubuh/pikiran ala Descartes mendukung ide kesetaraan perempuan dan laki-laki. Perbedaan anatomi antara laki-laki dan perempuan hanya sebatas pada fungsi reproduktif.

Perbedaan ini tidak mencapai bagian lain dari tubuh, terutama otak, indra, lengan, dan tungkai. Jadi tubuh tidak seharusnya mempengaruhi cara seseorang berpikir sebagai perempuan dan laki-laki. Kalaupun ada perbedaan intelektual, sifatnya individual, bukan karena jenis kelamin. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa perempuan punya disposisi yang sama terhadap ilmu pengetahuan dan terhadap beragam profesi “maskulin”.

Perempuan, secara fisik dan mental, sama mampunya dengan laki-laki untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang selama ini hanya boleh dilakukan laki-laki. Perempuan dapat dan mampu menduduki posisi-posisi kepemimpinan yang sebelumnya hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Posisi puncak dalam hierarki gereja juga semestinya terbuka untuk perempuan, demikian tegas Poullain.

Poullain menegaskan bahwa “kekurangan-kekurangan” perempuan diakibatkan pengasuhan dan pendidikan yang mereka terima. Sekolah perempuan menjadi solusi pertama yang ia tawarkan. Ia menyarankan agar sekolah ini (untuk sementara) harus khusus perempuan sebab ia melihat bahwa arogansi laki-laki akan superioritas mereka, resistensi kelompok intelektual, dan la galanterie[2] akan menghambat perempuan untuk menerima pendidikan yang layak jika mereka ditempatkan dalam satu kelas/sekolah yang sama.

Untuk mendidik perempuan, sebaiknya bukan laki-laki dan juga bukan kelompok intelektual. Poullain sendiri melihat dirinya lebih sebagai penghubung. Sesama perempuan hendaknya saling belajar dan mengajar di antara mereka. Tawaran kedua Poullain untuk menciptakan kesetaraan gender adalah mengubah kontrak perkawinan.

Perkawinan tidak seharusnya menjauhkan perempuan dari pencapaian dirinya/aktualisasi diri. Dalam masyarakat patriarkal, perempuan harus memilih antara karir dan rumah tangga. Menurut Poullain, pilihan ini tidak perlu dilakukan jika laki-laki seperti perempuan mau melakukan tugas-tugas pengasuhan dan rumah tangga.

Tawaran akhir Poullain yang luar biasa adalah efféminage, yaitu mengambil nilai feminin sebagai yang positif, yang kalau boleh saya interpretasikan dalam satu kalimat: laki-laki, jadilah keperempuan-puanan.

LAKI-LAKI, JADILAH KEPEREMPUAN-PEREMPUANAN

Efféminage adalah tawaran ultime dari Poullain sebagai upaya untuk menciptakan kesetaraan gender.[3] Gagasan ini sangat relevan hari ini ketika anak perempuan sudah dididik untuk menjadi seperti anak laki-laki tetapi tidak sebaliknya dengan anak laki-laki.

Perempuan dikatakan hebat ketika ia menampilkan karakteristik yang dilekatkan pada laki-laki: kuat, pintar, pandai matematika, dll. Padahal menampilkan perempuan-perempuan“hebat” karena punya karakteristik laki-laki bukanlah bentuk perjuangan yang tepat menurut Poullain untuk tiga alasan.

Pertama, perempuan “hebat” berarti pengecualian, bukan kondisi umum. Kedua, philogini semacam ini merupakan bentuk misogini yang subtil. Ia mengambil wujud pujian tetapi dengan melekatkan karakter maskulin. Mengapa harusmengatribusikan karakter maskulin untuk memuji perempuan? Ketiga, keyakinan ini tidak berdasar; tidak masuk akal. Selama masih ada perempuan kuat dan laki-laki lemah, dengan tubuh itu sendiri hanya berbeda pada fungsi reproduktif antara laki-laki dan perempuan, maka men-gender-kan tubuh merupakan satu kesalahan.

Nilai-nilai yang dikualifikasikan sebagai “maskulin” bukanlah kualitas maskulin yang dasar, bukan kodrat laki-laki. Tetapi merupakan konstruksi sosial, hasil pembelajaran. Nilai-nilai ini bukan “murni” maskulin tetapi diasosiasikan dengan laki-laki sekian lamanya oleh adat-istiadat dsb yang mengunggulkan semua bentuk kekuatan dan dominasi. Tubuh dan pikiran laki-laki telah dikonstruksi sedemikian rupa dengan nilai-nilai yang konon “hebat” ini. Nilai-nilai maskulin sifatnya acquises (learned, dipelajari, hasil konstruksi) ini dianggap lebih unggul. Sementara tidak demikian halnya dengan kualitas feminin acquises.

Perempuan yang menampilkan nilai-nilai maskulin acquises dipuji sebagai perempuan hebat. Laki-laki yang menampilkan kualitas feminin acquises dianggap keperempuan-puanan. Kualitatif efféminé (keperempuan-puanan) mengandung makna merendahkan (péjorative).

Oleh sebab itu, yang pertama-tama perlu dilakukan adalah kualitas feminin acquises seperti lembut, halus, sensitif, diapresiasi terlebih dahulu. Bahwa laki-laki yang menampilkan karakter feminin acquises (dalam sikap, tingkah laku, dan cara berpikir) justru harus dihargai.

Dalam bahasa Poullain: yang tadinya dihina kini harus dimuliakan. Sama sekali bukan untuk membalikkan posisi supaya perempuan superior dari laki-laki. Tujuannya justru meniadakan prinsip hierarki (yang ada dalam tiap prasangka). Karena mengeluarkan manusia dari phallocratie (kekuasaan phallus) bukan berarti memasukkannya dalam gynocratie (kekuasaan perempuan).

Laki-laki dapat menjadi “feminin” tanpa kehilangan kodratnya sebagai laki-laki karena nilai-nilai jantan itu sendiri murni hasil konstruksi. Laki-laki dapat menampilkan kualitas feminin acquises dengan tetap menjadi laki-laki. Oleh sebab itu Pellegrin sendiri menamakan “proses” yang digambarkan Poullain ini sebagai efféminage karena maksudnya bukanlah menjadikan laki-laki sebagai perempuan (efféminement) tetapi menuju masyarakat yang egaliter.

Dunia yang didambakan Poullain adalah dunia yang efféminée. Dan poin yang paling penting adalah bahwa dunia efféminé ini sama sekali bukan dunia di mana perempuan memerintah laki-laki.

Dunia efféminé adalah dunia yang tidak lagi mengistimewakan nilai-nilai semu yang diasosiasikan dengan maskulin dan merendahkan nilai-nilai semu yang diasosiasikan dengan feminin. Tujuannya adalah kembali pada keseimbangan dalam penentuan nilai-nilai.

Poullain mempurifikasi gagasan superioritas nilai-nilai maskulin tetapi tidak menjadikan laki-laki sebagai perempuan, melainkan sebagai diri sendiri, kembali kepada karakter manusia yang alami, kembali kepada kondisi mula-mula. Inilah yang dimaksud dengan mengembalikan laki-laki ke kondisi semula sebelum mengenal dosa asal. Karena kondisi semula ini belum ada konstruksi sosial akan nilai-nilai feminin dan maskulin. Karena belum ada upaya dominasi dari Adam terhadap Hawa.

Pengembalian ini harus melewati proses efféminage karena laki-laki lah yang mula-mula kejam, ingin menguasai, menjadi tiran terhadap perempuan yang sebenarnya setara dengannya. Manusia pada dasarnya tidak punya hasrat untuk tunduk, melayani, menjadi “budak”. Jika perempuan hari ini berada pada posisi sebagai yang inferior, ini karena laki-laki yang telah menjadikannya demikian, bukan kemauan perempuan dari sananya.

Melakukan efféminage adalah kembali kepada kualitas alami manusia saat prasangka misoginis belum ada. Konsep efféminage harus dibedakan dengan efféminement. Yang kedua ini melibatkan ide feminisasi dalam arti kecondongan menuju nilai-nilai yang dianggap “feminin”. Efféminage adalah preskripsi moral dan sosial untuk menjadi seperti perempuan dan laki-laki di saat Adam belum punya keinginan menguasai Hawa. Efféminage adalah menuju kesetaraan, bukan superioritas feminin.

Ada feminitas atau karakter/nilai/kualitas feminin dalam arti kualitas yang dilekatkan pada perempuan yang sebenarnya merupakan nilai-nilai kemanusiaan. Siapapun terlepas dari jenis kelaminnya pada dasarnya dapat menampilkan nilai-nilai kemanusiaan ini.

Sejauh ini nilai-nilai moral yang otentik hanya dilekatkan sebagai milik perempuan (secara umum): kepekaan, empati, cinta, kedamaian. Nilai-nilai kemanusiaan inilah yang disasar Poullain dalam proses efféminage. Efféminage adalah sebuah program pembalikan yang baru, sebuah pedagogi orisinal untuk emansipasi perempuan.

Pembalikan ini menyangkal perbedaan esensial antara laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada perbedaan seks. Pembalikan ini memungkinkan dekonstruksi nilai-nilai feminin dan maskulin untuk kemudian mengkonstruksi nilai-nilai manusia baru.

Dengan membangun manusia “baru” ini, laki-laki tidak menyangkal kelaki-lakiannya, ia justru menemukan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang otentik. Nilai-nilai kemanusiaan ini yang akan menghentikannya untuk menjadi penindas, dan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki sebagai manusia niscaya akan terwujudkan.

*** Tulisan ini diambil dari buku Akhir Penjantanan Dunia (2022) ditulis oleh Ester Lianawati, terbitan EA Books, Yogyakarta, Indonesia. Pemuatan tulisan ini di Autarkia sudah disetujui oleh penulis dan penerbit.

*** Sumber Ilustrasi: wahoo art

[1] Menarik bahwa Jablonka menawarkan hal yang serupa dengan Poullain, sementara dalam bukunya ia kurang mengapresiasi Poullain. Ia melihat Poullain hanya melakukan rehabilitasi humanis terhadap perempuan melalui reformasi perkawinan dan sekolah khusus perempuan. Sepertinya ia hanya melihat tawaran pertama dan kedua dari Poullain, tetapi mengabaikan effeminage.

[2] Kesopanan dan kebaikan terhadap perempuan (positif) namun didasarkan pada stereotip-stereotip gender. Contohnya membukakan pintu agar perempuan masuk lebih dahulu, “mengalah” kepada perempuan. Kelompok feminis hari ini menganggap la galanterie sebagai cara membuat dominasi menjadi tampak menyenangkan, semacam selubung indah yang menyembunyikan sistem seksis di dalamnya.

[3] Sebagaimana yang berhasil dibongkar Marie-Fréderique Pellegrin, filsuf sekaligus dosen filsafat teragregasi di l’Université Jean Moulin. Pellegrin sangat berjasa dalam mengangkat kembali nama Poullain sekaligus menginterpretasikan secara tepat filsafat Poullain yang sempat dikacaukan akibat kesulitan penerjemahan.

About Ester Lianawati

Penulis

View all posts by Ester Lianawati →

186 Comments on “Laki-Laki “Adil Gender” Bukan Utopia: Memperkenalkan Poullain de la Barre”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *