Linguistik Filosofis Ferdinand de Saussure

19 Februari 202219 Februari 2022 - by Raha Bistara - 9837 Comments.

41,254

Ferdinand de Saussure lahir di Jenewa pada tahun 1857. Ia terlahir dari keluarga yang terkenal dan terpandang di kota itu karena keberhasilan mereka dalam bidang ilmu pengetahuan. Ia hidup semasa dengan Sigmund Freud dan Emile Durkheim meskipun tidak banyak bukti bahwa ia sudah pernah berhubungan dengan keduanya.

Setelah kurang lebih satu tahun, ia menempuh kuliah fisika dan kimia di Universitas Jenewa tanpa hasil yang pasti. Lalu, pada tahun 1875, Saussure pindah ke Leipzig untuk belajar bahasa.
Pada usia 21 tahun, Saussure mulai belajar bahasa Sansekerta tanpa menunggu waktu lama, kurang lebih selama delapan belas bulan, ia menguasainya. Pada usia ini juga ia menerbitkan karyanya yang sangat terkenal dengan judul Memoire sur le systeme primitif des voyellese dans les langues indo-europeennes (Memori tentang sistem huruf hidup primitif dalam bahasa-bahasa Indo-Eropa) (Lechte, 2001: 232).

Lima puluh tahun sesudah kematian Saussure, ahli linguistik Perancis, Emile Benveniste, mengatakan bahwa karya ini meramalkan masa depan penelitian Saussure tentang bentuk bahasa yang diilhami oleh sifat tanda.

Kemudian, pada tahun 1880, setelah mempertahankan tesisnya tentang kasus “genetif mutlak dalam bahasa Sansekerta”, Saussure pindah ke Paris. Pada usia 24 tahun, Saussure diangkat menjadi dosen bahasa Gothic dan bahasa Jerman Kuno di Ecole Pratique des Hautes Etudes. Setelah mengajar selama sepuluh tahun di Paris, Saussure diangkat menjadi professor bahasa Sansekerta dan bahasa-bahasa Indo-Eropa di Universitas Jenewa.

Meskipun Saussure sering dipuji oleh rekan-rekannya, dan meskipun ia mengabdikan diri untuk mempelajari bahasa, namun karya-karyanya yang diterbitkan semakin berkurang. Saussure pernah mengatakan bahwa ia tidak puas dengan linguistik sebagai sebuah disiplin, namun, di saat yang sama, ia juga tidak mampu menulis buku yang bisa mengubah disiplin itu dan memberi kesempatan untuk meneruskan karyanya dalam bidang filologi.

Karyanya, Course in General Linguistics, yang tersusun dari catatan kuliah serta catatan murid-muridnya mungkin bisa dilihat sebagai bagian pemenuhan keyakinan Saussure bahwa bahasa itu sendiri harus ditinjau ulang agar linguistik memilki landasan yang kuat. Karyanya ini disusun dari tiga kumpulan catatan kuliah Linguistik Umum di Universitas Jenewa pada tahun 1907, tahun 1908-1909, dan tahun 1910-1911.

Di samping sebagai seorang yang ahli linguistik, Saussure juga ahli dalam bahasa Indo-Eropa dan Sansekerta yang menjadi sumber pembaruan intelektual dalam bidang ilmu sosial dan kemanusiaan. Hal ini menunjukan bahwa sesuatu yang unik telah berlangsung dalam kurun sejarah abad ke-XX ini, sehingga muncullah model bahasa baru berdasarkan pendekatan struktural Saussure dan kemudian menjadi model dalam melakukan teorisasi kehidupan sosial dan kultural.

Seperti gagasan yang terdapat dalam Course, pendekatan Saussure pada umumnya dianggap menentang dua pandangan kontemporer yang berpengaruh tentang Bahasa. Pertama adalah yang diusulkan pada tahun 1660 oleh Lancelot dan yang kedua dalam buku Grammaire de Port-Royal karya dari Arnaud di mana bahasa dilihat dari cerminan pikiran dan didasarkan atas logika universal.

Bagi para ahli tata bahasa Port-Royal, pada dasarnya bahasa itu bersifat rasional. Pandangan kedua datang dari ilmu linguistik abad ke-XIX, di mana sejarah bahasa tertentu dianggap bisa menjelaskan situasi bahasa pada masa yang sama. Dalam kasus kedua, bahasa Sansekerta yang merupakan bahasa Suci India Kuno dianggap sebagai bahasa yang tertua dan diyakini berfungsi sebagai bahasa yang menghubungkan semua bahasa sehingga, pada akhirnya, bahasa dan sejarahnya menjadi satu kesatuan.

Sekarang ini, sejarah bahasa menjadi sejarah bahasa-bahasa tanpa ada hubungan apriori antara mereka, seperti yang dipkirkan oleh para ahli linguistik abad ke-XIX. Menurut Ferdinand de Saussure, ada tiga distingsi dalam bahasa, yakni Signiffiant-Signifie, Parole-Langue, dan Sinkroni-Diakroni (Nurlaili, 2015: 120).

Signiffiant dan Signifie merupakan dua pembedaan yang menjadi inti gagasan Saussure tentang tanda. Menurut pendapat popular, suatu tanda bahasa menunjuk kepada benda dalam realitas. Kata “Pohon“, misalnya, menunjuk kepada pohon flamboyan yang ada “di sana”. Tetapi, Saussure menekankan bahwa suatu tanda bahasa bermakna bukan karena referensinya kepada benda dalam realitas. Yang ditandai dalam tanda bahasa bukan benda, melainkan konsep tentang benda. Lagi pula, menurut Saussure, konsep itu tidak lepas dari tanda bahasa. Lebih tepatnya adalah tanda bahasa itu sendiri (Bertens, 2006: 199).

Berdasarkan penjelasan di atas, Saussure berpendapat bahwa tanda bahasa yang dipelajari oleh disiplin linguistik terdiri dari dua unsur, yaitu le signifiant dan le signifie : the signifier dan the signified. Dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai “penanda“ dan “yang ditandakan“. Signifiant adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna. Jadi, signifiant adalah aspek material dari bahasa; apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca.

Signifie adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, signifie adalah aspek mental dari bahasa. Yang harus diperhatikan adalah bahwa dalam tanda bahasa yang kongkret kedua unsur tadi tidak bisa dilepaskan (Bertens, 2006: 200).
Agar obyek linguistik dapat ditentukan lebih lanjut, Saussure mengemukakan suatu distingsi lain lagi. Terpaksa kita mengambil alih istilah-istilah yang diberikan oleh buku Course sendiri karena keunikan bahasa Perancis tidak mudah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain.

Distingsi tersebut adalah parole dan langue. Linguistik menyelidiki unsur lain dari langage, yaitu langue. Dalam bahasa Inggris hanya ada kata language untuk menunjukan langage atau pun langue, sebagaimana dibedakan oleh Saussure dalam bahasa Perancis. Istilah “langue” diartikan sebagai bahasa sejauh sejauh bahasa tersebut merupakan milik bersama dari suatu golongan bahasa tertentu. Akibatnya, langue melebihi semua individu yang berbicara dalam bahasa tertentu, sebagaimana simfoni yang tidak sama dengan cara bagaimana ia dibawakan dalam suatu konser oleh orkes tertentu. Jika ahli-ahli linguistik menyelidiki bahasa, maka mereka membatasi diri pada langue saja.

Anggapan mengenai bahasa sebagai sistem ini membawa kita kepada suatu pembedaan lain lagi yang dikemukakan oleh Saussure. Menurutnya lingusitik harus memperhatiakan sinkroni sebelum menghiraukan diakroni. Asal kata dua istilah tersebut berasal dari bahasa Yunani “khronos” (waktu) dan dua awalan “syn” dan “dia” masing-masing berarti “bersama“ dan “melalui“. Oleh karena itu, sinkroni dapat diartikan sebagai “bertepatan menurut waktu“ dan diakroni dapat diartikan sebagai “menulusuri waktu”. Diakroni adalah peninjauan historis, sedangkan sinkroni menunjukan pandangan yang sama sekali lepas dari persepektif historis. Sinkroni adalah peninjauan ahistoris.

Saussure menempatkan studi linguistik dalam hubungan sinkronik langue lebih dari pada parole: aspek struktural dan umum dari bahasa yang bertanggung jawab sebagai penggunaan dalam medium komunikasi (Blackburn, 2013: 779). Bahasa dapat dipelajari menurut dua sudut pandang sinkroni dan diakroni. Kita dapat menyelidiki suatu bahasa sebagai sistem yang berfungsi pada saat tertentu dengan tidak memperhatikan bagaimana bahasa itu telah berkembang sampai pada saat itu (Bertens, 2006: 204).

Saussure menekankan perlunya pendekatan sinkronis tentang bahasa. Hal ini bertentangan dengan ahli-ahli linguistik abad ke-IX yang hampir semua mempraktekan suatu pendekatan diakronis; mereka mempelajari bahasa dari sudut pandang komparatif-historis dengan menelusuri proses evolusi bahasa-bahasa tertentu, etimologi, perubahan fenotis, dan lain sebagainya.

Justru karena bahasa merupakan suatu sistem, linguistik harus mempelajari sistem bahasa sebagimana ia dipakai sekarang ini dengan tidak mempedulikan perkembangan-perkembangan dan perubahan-perubahan yang telah menghasilkan sistem itu. Dengan demikian, linguistik tidak saja mengesampingkan semua unsur ekstra-lingual, linguistik melepaskan juga objek studinya dari dimensi waktu. Oleh karena itu, telah dibuka jalan untuk studi yang kemudian disebut “struktural“.

Sumber ilustrasi: thoughtco.com