Fatwa, Kapital, dan Kekuasaan

Pada tahun 2017 silam, publik dikejutkan dengan iklan kerudung “halal” Zoya yang menggemparkan dunia media sosial. Zoya mengklaim bahwa produk mereka sudah mendapat sertifikat halal dari MUI. Tentu saja pernyataan ini membuat para pengguna medsos terheran-heran dan bahkan ada yang menganggapnya tidak relevan, mengada-ada, dan menggelikan.

Berbagai spekulasi berkembang di tengah masyarakat, salah satunya adalah dugaan Jajang Jahroni yang mengatakan bahwa MUI digunakan oleh pemilik modal untuk menggiring preferensi dan gaya fashion masyarakat agar memilih merek tertentu sesuai kriteria halal yang ditetapkanya.

Itulah kenyataanya, sertifikat halal sudah dikomersialisasi oleh mereka para pemilik modal (kapital) demi kepentingan bisnis mereka. Berangkat dari sinilah kemudian penulis merasa curiga, apakah fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh MUI sebagai pemegang otoritas bebas dari intervensi dari luar? Atau jangan-jangan produk fatwa MUI dideterminasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu, baik itu politik, ekonomi maupun oleh kekuasaan. Entahlah! Untuk menjawab pertanyaan besar ini, mari kita lihat genealogi lahirnya istilah “fatwa” sampai kemudian ia dilembagakan.

Pada dasarnya, fatwa adalah sebuah konsep dalam Islam yang perannya baru datang agak belakangan. Di masa Nabi, istilah “fatwa” secara teknis tidak pernah dikenal. Ada sebuah hadist Nabi yang cukup terkenal “Istfati qalbak” (mintalah fatwa dari hatimu), hadist ini menegaskan karakter fatwa yang personal dan individual, dan bukan proyeksi sebuah lembaga seperti sekarang ini.

Secara sederhana, fatwa adalah pandangan keagamaan yang dikeluarkan oleh ulama sebagai respon dan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan dari masyarakat. Secara hukum, fatwa “tidak mengikat dan memaksa”, kecuali ia dijadikan undang-undang oleh penguasa. Maksudnya adalah bahwa fatwa tidak memiliki konsekuensi legal.

Setelah daerah kekuasaan Islam semakin besar dan meluas, khususnya setelah memasuki abad ke-8, fatwa mulai dilembagakan dan memainkan peran penting. Dalam sejarah Islam, sering terjadi pertautan antara agama dan politik, antara ulama dan penguasa. Kita masih ingat bagaimana Abu Yusuf, pengarang kitab al-Kharaj berkolaborasi dengan penguasa saat itu. Begitu juga al-Mawardi, pengarang kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah yang menjabat sebagai qadhi qudhat (di Indonesia Mahkamah Agung), tidak berani mengkritisi sistem pemeritah saat itu, justru beliau melegalkannya bahkan mendukungnya.

Di masa silam, adalah lumrah menyaksikan kerjasama antara ulama dan penguasa untuk mengefektifkan sebuah fatwa. Fatwa tentang jihad, misalnya, dikeluarkan oleh ulama dan didukung oleh penguasa demi mendorong kaum muslimin terlibat perang.

Di era sekarang ini, banyak kita lihat bagaimana fatwa itu digunakan oleh penguasa untuk melegetimasi kedudukan dan mendukung kebijakannya. Di Saudi Arabia, fatwa dijadikan sebagai “stempel” untuk mendukung kebijakan-kebijakan Sang Raja. Ketika Ayatullah Khumaini menyatakan perlunya meginternasionalisasi Ka’bah dengan alasan bahwa Ka’bah sebenarnya bukanlah hanya milik pribadi Arab Saudi saja, Raja Saudi meminta Lembaga Fatwa Arab Saudi untuk mengeluarkan fatwa yang mengklaim sesatnya mazhab Syiah. Otoritas yang dimiliki ulama untuk mengeluarkan fatwa sering dicaplok oleh penguasa untuk kepentingan mereka yang akibatnya melahirkan otoritarisme.

Persoalan otoritarisme seperti inilah yang menurut Khaled Abou el-Fadl, seorang profesor hukum Islam di fakultas hukum UCLA, yang dipertontonkan sebuah lembaga keagamaan ternama di Arab Saudi yang juga memiliki kewenangan mengeluarkan fatwa, yaitu CRLO (Council for Scientific Research and Legal Opinion). Salah satu fatwa CRLO adalah larangan bagi perempuan untuk memakai sepatu bertumit tinggi (high hill), larangan perempuan untuk mengemudi mobil yang kemudian dijadikan oleh penguasa sebagai hukum Negara. Tentunya fatwa-fatwa semacam ini terasa aneh dan mengada-mengada. Dengan nada yang agak keras, Khaled Abou el-Fad ingin membongkar praktik otoritarianisme yang telah berkembang. Dengan ungkapan kata lain, jangan sampai dalam mengeluarkan fatwa ulama bermaksud mewakili Tuhan atau justru menjadi Tuhan itu sendiri.

Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Pada masa Soeharto, kolaborasi antara ulama dan penguasa juga pernah terjadi. Bahkan pendirian MUI sendiri pada tahun 1975 sesungguhnya atas inisiatif penguasa. Soeharta ketika itu membutuhkan MUI untuk mengabsahkan kebijakan-kebijakanya, khususnya terkait dengan persolan-persolan sosial-keagamaan. Salah satu contoh sukses kerjasama ini adalah fatwa tentang keluarga berencana (KB).

Kita tahu bersama bahwa MUI mendapat suntikan dana dari pemerintah, sekalipun memang kedudukannya bukanlah sebagai lembaga negara. Dengan jatuhnya Soeharto, lambat laun posisi MUI semakin otonom. Tetapi sekarang, keotonoman MUI itu mulai dipertanyakan, karena banyaknya fatwa yang yang justru pro terhadap penguasa, salah satunya adalah fatwa MUI tentang haramnya golput, yang banyak mendapat kritikan dari berbagai kalangan.

Sebagian orang mulai bertanya, adakah fatwa MUI yang berseberangan atau kontra terhadap kebijakan penguasa? Bagaimana sikap MUI terhadap korupsi, kolusi, nepotisme, mafia peradilan, mafia migas, dan lain sebagainya? Sampai sekarang kita tidak mendengar suara (baca: fatwa) yang lantang dari MUI. Sikap MUI semacam ini, membuat opini masyarakat bahwa MUI “tidak berdaya atau tidak berani” mengeluarkan fatwa ketika hal itu menyangkut penguasa.

Di Indonesia, MUI diberi monopoli untuk menentukan apakah sebuah produk itu halal atau haram, layak apa tidak untuk dikonsumsi kaum muslim. Dalam satu sisi tentunya ini sangat baik, tetapi di sisi lain, kewenangan yang dimiliki MUI untuk sertifikasi ini bisa menimbulkan penyelewengan.

Pada dasarnya, MUI bukanlah lembaga negara yang punya wewenang untuk mengeksekusi apa lagi memberi sertifikat halal kepada sebuah produk. Yang memberikan itu adalah negara karena menyangkut ranah publik. MUI hanya sekedar memberikan penjelasan dan rambu-rambu, bukan eksekutor. Ketika kewenangan itu diberikan kepada MUI, tentu ini bisa menimbulkan persaingan dan perpecahan di intra MUI sendiri, seperti MUI DKI Jakarta yang terpecah menjadi dua; satu berkantor di Istiqlal dan satu lagi di Islamic Center Kramat Tunggak. Anehnya, dua-duanya mengeluarkan sertifikat halal.

Masih ada anggapan sebagian orang bahwa orang yang duduk di MUI adalah orang suci , yang kecil kemungkinannya mereka berbuat salah. Tentu anggapan ini salah besar. Manusia tentunya berpotensi untuk melakukan kesalahan. Dengan adanya kewenangan sertifikasi halal yang dimiliki MUI, justru membuat lembaga ini rentan dengan korupsi, apalagi tidak tertutup kemungkinan adanya “mafia sertifikat” dan praktek-praktek jual-beli sertifikat halal dari para pemilik modal (kapital). Beberapa tahun yang lalu, tentunya masih kita ingat sejumlah pengurus MUI ditengarai menerima suap dari pengusaha sapi Australia yang ingin memasuki pasar Indonesia.

Terlepas dari itu, tidak bisa dipungkiri bahwa sebenarnya ada “cinta segi tiga” antara fatwa sebagai produk dari pemegang otoritas agama, pemilik modal (kapital), dan pemegang kekuasaan. Untuk itu bukanlah sikap yang tepat, ketika kita mensakralkan sebuah fatwa. Fatwa hanyalah produk hukum yang dikeluarkan oleh ulama, yang tentunya harus kita lihat prosesnya dan selalu bersikap kritis.

Sumber ilustrasi: kompasiana.com

About Hamka Husein Hasibuan

Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bidang Kajian Maqasid dan Analisis Strategik, Interdiciplinary Islamic Studies (IIS)

View all posts by Hamka Husein Hasibuan →

36 Comments on “Fatwa, Kapital, dan Kekuasaan”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *