Di Negeri Si Kabayan

Saya sering teringat dengan salah satu cerita yang ada di buku pelajaran Bahasa Indonesia madrasah ibtidaiyah. Bagi saya, dulu cerita itu bukanlah sesuatu yang menarik, namun ternyata ia menyimpan makna yang begitu dalam. Cerita tersebut adalah cerita si Kabayan.

Pada suatu hari Si Kabayan pergi mencari pohon aren yang kemudian dia temukan di pinggir sungai. Si Kabayan pun memanjat pohon aren tersebut dan memasang wadah untuk mengisi tetesan air di atas. Sambil menunggu wadah itu penuh, di atas pohon itu Kabayan bergumam, “Jika aren ini sudah penuh, nanti akan saya jual ke pasar dan uangnya akan saya belikan ayam betina. Kemudian saya akan beternak ayam. Nanti jika ayam itu sudah berkembang banyak, akan saya jual lagi untuk saya belikan kambing. Bila kambing itu saya ternak dan menjadi banyak lagi, nanti akan saya belikan sapi. Setelah jadi peternak sapi dan cukup banyak keuntungannya, nanti saya akan beli mobil. Wah, enak sekali bisa naik mobil berkeliling desa. Ha ha ha.”

Apa boleh buat, getaran tawanya justru membuat wadahnya jatuh dan tumpah ke sungai. Kejadian itu membuat Si Kabayan bertindak panik. Singkat cerita, dia pun terpeleset dan ikut jatuh ke sungai.
Kasihan sekali nasib Si kabayan. Sebelum wadah arennya penuh, dia terlebih dahulu jatuh ke sungai; dia jatuh sebelum langkah pertamanya selesai.

Apa yang menimpa Si Kabayan tentu bukanlah semacam takdir yang harus terjadi. Sebaliknya, kejadian tersebut adalah akibat Si Kabayan sendiri yang kurang mawas diri. Bagaimana tidak, di saat dia masih mengumpulkan aren, dia sudah berkhayal tentang nasib baik di masa depan. Jika saja Si Kabayan fokus pada apa yang sedang dia kerjakan, menampung aren sampai penuh, barangkali jalan ceritanya akan berbeda.

Mungkin sebagian besar dari kita termasuk orang yang seperti Si Kabayan itu; orang yang terlalu banyak berkhayal sebelum menyelesaikan tahap pertama pekerjaan. Padahal kita tidak benar-benar tahu bagaimana jalan ke depan. Oleh karena itu, dalam sebuah perjalanan, kita tidak cukup hanya dengan membawa peta. Kita juga harus menyiapkan diri untuk setiap keadaan yang bahkan kejadiannya tidak dapat diduga.

Kita adalah Si Kabayan berikut para politisi kita yang ada di “sana”. Bisa dilihat bagaimana janji-janji politik yang mereka utarakan bagaikan khayalan manipulatifnya Si Kabayan. Mereka bilang bahwa ekonomi kita akan meroket, kita akan menuju pada masyarakat lepas landas, negara kita akan bebas dari korupsi, dan sebagainya. Mereka memberikan imajinasi yang mewah dan indah bahkan sebelum mereka mulai bekerja.

Rasanya hampir tidak ada politisi yang mengatakan bahwa masa depan adalah tantangan di saat masih banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Mereka yang berani mengatakan bahwa masa depan tidak mudah dan berani untuk tidak menjanjikan apa-apa, tentu akan kehilangan elektabilitasnya. Oleh karena itulah, dapat dipastikan bahwa panggung politik itu hanyalah panggung sandiwara; sebuah panggung yang digunakan untuk memberikan imajinasi dan khayalan pada pemirsanya. Mereka yang ikut terbuai oleh khayalan tersebut, akan dengan mudah dimanfaatkan hak pilihnya.

Kini, saat apa yang mereka janjikan ternyata tidak tercapai, para politisi pun akan bersikap panik; mereka panik karena apa yang dibayangkan ternyata tidak sesuai dengan realita. Sikap panik itu tentu akan menelan korban, di mana rakyatlah yang menjadi korban.

Sumber Ilustrasi: kumpulanfiksi-wordpress.com

About Muhammad Arwani

Hanya Manusia Biasa yang Sering Khilaf

View all posts by Muhammad Arwani →

12 Comments on “Di Negeri Si Kabayan”

  1. Thank you for your sharing. I am worried that I lack creative ideas. It is your article that makes me full of hope. Thank you. But, I have a question, can you help me?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *