Waktu, Apa Itu?

Umat manusia akan merayakan sebuah momen kemewaktuan sebentar lagi: sebuah hari, bulan dan tahun yang baru. Kita menyibukkan diri dengan waktu. Namun, apakah itu waktu? Bagaimanakah waktu harus dipahami dan didefinisikan?

Ini pertanyaan sederhana yang menjadi bahan refleksi banyak pemikir sejak dahulu kala. Tidak mudah memberikan definisi mengenai apa itu waktu. Jam, kalender, almanak, hari, bulan, dan tahun, bukanlah waktu itu sendiri. Itu semua adalah penunjuk waktu atau pengukur waktu (kronometer).

Dengan alat-alat atau instrumen-instrumen itu, waktu dikuantifisir, dipotong-potong, dibuat menjadi objektif dan universal. Sehingga kita misalnya tahu bahwa sekarang adalah adalah hari Minggu, tanggal 31 bulan Desember tahun 2023.

Tapi, apa itu waktu?

Jawaban terkenal diberikan oleh Agustinus dalam bukunya Confessions: „Kalau tidak ada yang bertanya kepada saya mengenai apa itu waktu, saya tahu apa itu waktu. Tapi kalau ada yang meminta penjelasan kepada saya mengenai apa itu waktu, saya menjadi tidak tahu.“ Agustinus benar.

Hampir setiap saat kita menggunakan kata ”waktu” dalam percakapan. Misalnya: waktu saya sempit sekali, waktunya sudah tiba, saya tidak ada waktu, dll. Pernyataan-pernyataan itu memperlihatkan bahwa kita memiliki pengetahuan mengenai apa itu waktu. Tapi ketika kita diminta untuk memberikan definisi mengenai apa itu waktu, kita akan kesulitan.

Aristoteles memahami waktu seperti kontainer, semacam wadah penampung terjadinya peristiwa-peristiwa. Misalnya, kemerdekaan RI tahun 1945. Di sini tahun 1945 dipahami seperti kontainer yang mengandung peristiwa kemerdekaan RI di dalamnya.

Kant lain lagi. Ia mengatakan bahwa waktu itu tidak terdapat di luar diri manusia. Waktu itu terdapat secara apriori dalam diri manusia, sudah dari sononya. Artinya, ia sudah ada dengan sendirinya dalam pikiran kita. Apa buktinya? Hanya karena dalam pikiran kita sudah terdapat waktu, maka kita dapat menggunakan kategori-kategori waktu dalam percakapan. Misalnya ungkapan: perubahan, sebelum, sesudah, lambat, cepat, bersamaan, dll. Semua itu adalah kategori waktu. Jadi waktu adalah bagian dari cara kita mempersepsi dunia.

Heidegger mengatakan bahwa waktu tidak lain dari bentuk ekstatis dari eksistensi manusia yang bersifat triadik: masa lalu, masa kini dan masa depan. Manusia itu eks-is, artinya: manusia keluar, menjadi mewaktu. Eksistensinya itu mewaktu. Manusia itu sendiri tidak memiliki waktu, tidak berwaktu, melainkan mewaktu.

Perbedaan pengertian berwaktu dan mewaktu sangat mendasar. Ungkapan berwaktu mengimpikasikan seakan-akan manusia lebih dulu ada lalu kemudian dia „mengenakan” waktu, sebagaimana kalau kita mengatakan misalnya bersepeda atau berpakaian.
Ungkapan mewaktu berarti bahwa manusia ada, eksis, dengan mewaktu. Kemewaktuan itu menyatu dalam dirinya; ia ada, eksis, dengan mewaktu (zeitlich). Seluruh eksistensinya ditentukan oleh kemewaktuan itu. Lahir, hidup, cemas, sibuk, hingga mati..itu semua didasari oleh dimensi kemewaktuan.

Manusia adalah kemewaktuan (Zeitlichkeit) itu sendiri. Hewan dan tanaman tidak mewaktu, tidak memiliki (kesadaran akan) masa lalu, masa kini dan masa depan. Eksistensi kita menjadi asal-usul (keme)waktu(an) itu sendiri.

Ini sebuah konsep yang menjelaskan kemanusiaan manusia, yakni bahwa ia memiliki kesadaran akan kemewaktuan (Zeitlichkeit) eksistensinya. Kesadaran akan kemewaktuan itu mendorongnya untuk menciptakan kronometer, bentuk-bentuk pengukur waktu objektif.

Waktu kemudian menjadi horison asali pemahaman keseluruhan eksistensi manusia dalam kerangka masa lalu, masa kini dan masa depan. Kita selalu memahami eksistensi kita dalam struktur waktu yang bersifat triadik ini. Pemahaman diri kita sekarang ditentukan oleh pemahaman diri kita di masa lalu dan (harapan atau impian kita) di masa depan.

Dan karena kita mewaktu maka kita tidak kekal. Tertulianus kemudian mempertentangkan antara kemewaktuan (temporalitas) dengan kekekalan (aeternitas). Kekekalan itu berada di luar waktu. Dalam kekekalan tidak berlaku ungkapan „sebelum“ dan „sesudah“ (ini kategori waktu). Tuhan itu kekal, karena itu Ia berada di luar waktu (dan ruang). Tuhan itu tidak empiris.

Lantas, kapan waktu bermula? Setelah dunia dan segala isinya diciptakan. Sebelum penciptaan, tidak ada waktu, karena yang ada adalah kekekalan.

Perayaan pergantian hari dan tahun sesungguhnya adalah perayaan ketidakkekalan. Kita merayakannya karena kita yang tidak kekal ini ternyata masih ada, masih eks-is. Karena tidak kekal, kita bisa saja dalam setiap momen perjalanan waktu ini menjadi tidak ada, tidak eks-is. Tapi ternyata kita masih ada, masih eks-is, masih mewaktu. Dan oleh karena itu, kita pantas merayakannya.

Sumber ilustrasi: Pinterest.com

About Fitzerald Kennedy Sitorus

Alumni Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta

View all posts by Fitzerald Kennedy Sitorus →

18 Comments on “Waktu, Apa Itu?”

  1. Wow, incredible blog structure! How lengthy have you ever
    been blogging for? you make running a blog glance
    easy. The overall glance of your web site is fantastic, as well
    as the content material! You can see similar here dobry sklep

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *