Vaksin untuk Siapa?

So in the twenty-first century religion don’t bring rain, they don’t cure illness, they don’t build bombs—but they do get to determine who are ‘us’ and who are them’, who is should cure and who is should bomb (Yuval Noah Harrari, 2018: 134).

Saat ini para saintis dari seluruh dunia—tanpa mengenal perbedaan agama, ideologi, ras, dan kebangsaan—bersama bahu-membahu mencari vaksin COVID-19 guna mengakhiri pandemi yang tengah melanda. Di tangan merekalah semua harapan umat manusia dicurahkan. Bersama para tenaga medis, para saintis adalah pasukan garda terdepan yang tengah menghadapi musuh yang tidak kasat mata ini. Vaksin adalah senjata pamungkas yang diharapkan akan mengakhiri perang yang sedang berkecamuk ini.

Persoalan bagaimana cara kita menemukan vaksin untuk memenangkan perang ini adalah persoalan teknis (technical problems). Diantara beragam cara memecahkan persoalan yang bersifat teknis, sains sejauh ini terbukti sukses memecahkan persoalan-persoalan serupa. Sains berhasil memecahkan berbagai persoalan seperti kelaparan, penyakit, teknologi, dan beragam persoalan lainnya dengan baik. Bagaimanakah jalan guna menemukan vaksin, sains memiliki cara atau metode yang paling efektif untuk mencapai tujuan itu. Bisa dikatakan bahwa untuk hal-hal yang bersifat teknis, sains tidaklah memiliki tandingan. Kita boleh bersikap optimis untuk hal ini. Dengan segala perangkat yang dimiliki oleh sains, masalah kapan vaksin ini ditemukan hanyalah persoalan waktu saja.

Problemnya kemudian adalah, setelah vaksin ditemukan, apakah persoalan pandemi COVID-19 ini otomatis akan selesai? Sepertinya tidak. Sekalipun nanti sudah ditemukan vaksin yang akan menyembuhkan mereka siapa yang terjangkiti virus ini, pertanyaan berikutnya adalah siapa yang memiliki hak untuk mendapatkan vaksin ini? Di sini kita berhadapan dengan masalah kebijakan (policy problems). Masalah kebijakan berbeda dengan masalah teknis karena berhubungan dengan faktor-faktor non-ilmiah seperti kepada siapa kebijakan itu akan berpihak? Ketika sudah berbicara pihak mana, maka yang muncul disini adalah masalah prioritas dan juga identitas: siapa kita dan siapa mereka? Hal ini tentang bagaimana kita mendefenisikan diri kita dan orang lain.

Ketika berada dalam persoalan teknis, sains memang tidak tertandingi. Sains adalah instrumen terbaik yang kita miliki untuk memecahkan berbagai persoalan teknis. Namun untuk masalah-masalah kebijakan, sains tidak dapat berdiri sendiri. Virus sendiri adalah masalah kesehatan yang bersifat teknis, namun ketika hendak membuat keputusan tentang kebijakan penanganan pandemi, masalah kesehatan hanyalah salah satu pertimbangan di samping pertimbangan-pertimbangan yang lain. Sains dapat dengan akurat mendeskripsikan dunia karena ini memang masalah teknis. Namun ke arah mana sains akan melangkah? Hal ini tidak dapat diputuskan oleh sains sendiri, melainkan oleh faktor-faktor eksternal seperti ideologi atau bahkan agama.

Lebih-lebih mengenai persoalan identitas (identity problems). Sains kuat di persoalan teknis namun sebaliknya ia sangat lemah di persoalan identitas. Sedikit sekali orang yang mengafiliasikan dirinya dengan sains dan sebaliknya sangat banyak orang mengafiliasikan dirinya dengan agama. Berapa banyak orang yang rela mati demi sains? Berapa banyak pula orang mati demi agama? Suatu perbandingan yang tentunya tidak seimbang.

Dibandingkan dengan agama, sains tidak cukup kuat untuk memberikan definisi diri bagi banyak orang. Ini memperlihatkan meskipun dalam hal-hal teknis sains lebih unggul dari agama, namun pendasaran personal seperti iman agama lebih bersifat fundamental ketimbang pengatahuan sains. Dari hal ini kita bisa melihat perbedaan mendasar antara sains dan agama. Jika saya memiliki vaksin COVID-19 siapakah yang akan saya selamatkan? Sains tidak bisa menjawab pertanyaan ini sebaliknya gama atau ideologi dapat menjawabnya. Saya menjawab pertanyaan ini dengan preferensi personal yang saya miliki.

About Novian Widiadharma

Dosen Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

View all posts by Novian Widiadharma →

30 Comments on “Vaksin untuk Siapa?”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *