Tumini dan Akhir Cerita Hidupnya

Tumini selalu berusaha untuk hidup. Baginya, hidup hari ini adalah soal bagaimana membesarkan anaknya menjadi orang yang berguna. Berbagai hal dia lakukan; mulai dari menari gandrung, menanam kangkung, dan membuat tape serta menjualnya ke pasar. Semua itu ia lakukan untuk bertahan hidup dan membuat hidup anaknya lebih baik darinya

Pagi-pagi sekali dia pergi ke sawah yang ada di belakang rumahnya untuk menyebar benih kangkung. Rumahnya yang dekat dengan sawah itu cukup mudah dalam pengairannya. Sawahnya yang hanya selebar empat ruw  kira-kira selebar empat kamar tidur- itu ia sebar benih kangkung setiap lima hari sekali. Setiap satu ruw adalah satu kedo’an yang membutuhkan satu kg benih kangkung kemudian dia bisa memanennya dalam waktu 20 hari. Jadi, dalam lima hari dia akan memanen kangkung seluas satu ruw yang kemudian dia sebar benih lagi. Biasanya rutinitas seperti ini dia lakukan setelah dluhur dengan ditemani anaknya, Kasan.

Panen satu ruw kangkung itu diikat kecil-kecil kemudian dibawa pada tengkulak di pasar. Semua kangkung itu akan laku paling banyak seratus lima puluh ribu, itu pun jika harganya sedang bagus. Namun ketika stok di pasar terlalu banyak, semua kangkung itu hanya akan dihargai  kira-kira kurang dari seratus ribu  rupiah. Uang itu cukup untuk membeli beras dan kebutuhan dapur yang lain dan sebagian untuk membeli benih kangkung seharga 30 ribu untuk satu kilogram.

Dari pasar biasanya Tumini membawa singkong untuk dibuat tape. Jika sedang mendapat uang lebih, dia akan membelinya. Namun jika uangnya tidak cukup untuk membeli, dia akan ngutang atau membayar sebagian yang dibeli, sisanya akan dilunasi setelah dia mendapatkan uang dari hasil menjual tape di pasar. Sehabis dluhur dia akan mengukus singkong selama satu setengah jam sambil memasak nasi.

Singkong yang dikukus tersebut ditaburi ragi dan dibungkus dengan daun pisang, lalu dimasukkan kedalam senik. Bagian atas dari senik ditutup rapat dengan kayu agar kedap udara. Besok paginya singkong yang dirageni itu akan menjadi tape. Tape itu akan dijual di pasar seharga tiga ribu rupiah per kilo. Hasil membuat tape akan digunakan untuk membayar utang singkong dan disimpan untuk kebutuhan sekolah Kasan. Kemampuannya dalam membuat tape dan bertani kangkung ia pelajari dari embok-nya yang juga seorang janda. Bapak Tumini mati karena penyakit muntaber yang tak kunjung sembuh.

Tidak hanya itu, dalam sebulan sekali kadang Tumini juga masih ikut jadi penari gandrung lewat kelompok Janger yang diorganisir oleh Karlan. Dahulu mungkin bisa tiga sampai empat kali dalam sebulan. Tapi saat ini orang lebih suka hiburan berupa musik dangdut dengan para biduannya. Biasanya, dua hari sebelum jangeran Karlan datang ke rumah Tumini untuk memberi tahu. Hasil dari menari gandrung lumayan, seratus lima puluh ribu untuk sekali tampil, dan pulangnya ia bisa membawa makanan untuk sarapan anaknya.

Kemampuannya menari gandrung dia pelajari saat masih remaja. Tumini yang hanya tamat sekolah rakyat pernah ikut belajar kesenian tari  di sanggar Lekra secara gratis. Karena dianggap kurang luwes dalam menari, dia tidak sempat diangkat menjadi penari utama dalam jajaran Lekra. Namun, di sana nasib mempertemukannya dengan seorang penabuh kendang bernama Ramelan. Tumini menaruh hati pada pemuda itu dan Ramelan pun juga memiliki perasaan yang sama. Saat itu usia mereka sama-sama masih remaja. Umur  hanya terpaut dua tahun lebih muda dengan Ramelan. Keteguhan mereka berdua untuk saling menyayangi akhirnya mendapatkan restu dari orang tua masing-masing untuk menikah.

Ramelan adalah orang yang sangat bersemangat dalam berkesenian di Lekra. Saat ada sebuah partai Islam yang diolok-olok sebagai penghianat bangsa, kesenian Lekra cukup disegani di tengah masyarakat baik desa maupun kota. Di sanalah jalan hidup tumini mulai terasa menemukan titik terang. Penghasilan suaminya cukup untuk kehidupan sehari-hari dan sebagian bisa ditabung. Saat Tumini mulai merasa kalau dirinya hamil, ibunya sudah sakit-sakitan dan meninggal. Suaminya banyak menghabiskan waktunya di luar rumah untuk berkesenian. Tumini selalu setia menunggu sang suami di rumah sambil sesekali membuat tape untuk dijual di pasar.

Saat peristiwa “Gestapu” meletus pada Oktober 1965, Tumini tengah hamil tua. Dia dirundung oleh kekhawatiran akan keadaan suaminya.  Dia cukup tahu tentang Lekra; dalam pementasannya Lekra sering mengejek kaum sarungan. Orang-orang Lekra juga sering menganggap kyai sebagai salah satu dari “tujuh setan desa”. Hari ini, suaminyalah yang dianggap sebagai pengkhianat bangsa.

Pagi itu Tumini melarang suaminya untuk pergi ke-sanggar Lekra. Orang-orang sudah ramai bergerumbul untuk mencari mereka yang dianggap komunis.

“Aku sedang hamil tua Kang, nanti kalau ada apa-apa denganmu bagaimana dengan anak kita?”

“Aku cuma mau ke sanggar Dek, kawan-kawan pada berkumpul di sana untuk membicarakan soal intruksi partai. Ini saatnya untuk bergerak merebut hak para buruh dan petani kecil itu, sudah lama sekali tanah dan kekayaannya hanya dimiliki oleh para setan desa itu.”

“Aku takut kang, aku tahu rasanya tinggalkan bapak. Lihatlah di luar sana, orang-orang yang tidak suka dengan orang seperti kita dibantu oleh tentara, mereka banyak jumlahnya, mereka ganas dan kuat. Bagaimana jika nanti anak kita lahir tanpa bapak? Aku mohon di sinj saja, tidak usah pergi.”

“Orang juga akan datang ke sini untuk mencariku. Bukankah lebih baik aku bersama mereka untuk saling mempertahankan diri. Nanti jika dirasa bahaya, aku akan bersembunyi dulu. Aku tak pernah berniat meninggalkanmu. Aku akan kembali, aku ingin sekali menggendong anak kita. Mohon maafkan aku jika saat anak kita lahir aku tak berada di sisimu. Jika dia laki-laki, beri dia nama Hasan, Abdul Hasan. Kata bapak, itu nama yang baik untuk masa depannya.”

“Terus piye, jika ternyata sampean gak kembali?”

Ramelan terdiam. Sepertinya dia tahu bahwa kenyataan itu akan terjadi entah dia pergi atau tidak. Namun dengan dia pergi, istrinya tidak akan melihatnya diseret oleh banyak orang dan itu lebih baik untuknya. Ramelan pergi meninggalkan istrinya di rumah. Bahkan meski dia tidak ada di rumahnya, sebagian orang pun datang untuk mencarinya, mengobrak-abrik isi rumahnya dan mereka jelas tidak menemukannya. Mereka pergi dengan membawa barang berharga di rumah itu, mirip seperti perompak yang menjarah rumah orang lemah.

Suatu hari Kepala Desa mendatangi Tumini dan mengatakan, “Bojomu sudah gak akan pulang Tum, gak usah mengharap kedatangannya lagi. Yang sabar Tum, Tatagno atimu (kuatkan hatimu).”

Sebulan setelah itu, Tumini melahirkan Kasan. Ia dibantu oleh dukun beranak dan juga para janda yang senasib dengannya, yaitu janda-janda baru yang suaminya menghilang karena peristiwa GESTAPU. Tumini merasa sangat beruntung saat mengetahui anaknya lahir tanpa suatu kekurangan apa pun, mengingat saat-saat menjelang kelahiran anaknya Tumini dalam keadaan stress.

Setelah melahirkan anaknya, Tumini menyadari bahwa hidupnya tak akan semudah dulu lagi. Kali ini dia yang harus bekerja keras untuk menghidupi anaknya. Akhirnya, dia memutuskan untuk menari gandrung. Lekra mungkin sudah dibubarkan, namun kesenian masih terus dianggap ada. Dengan kemampuan yang pernah dia pelajari sewaktu remaja dahulu, dia mengajukan dirinya untuk menjadi penari gandrung pada pementasan Janger. Dia dapat dengan mudah diterima meski dengan sedikit kemampuannya, mengingat penari gandrung yang lebih senior sudah banyak yang mati dan menghilang setelah GESTAPU. Memang, awalnya Karlan yang sebagai kordinator kelompok janger tersebut takut menerima Tumini, mengingat dia adalah istri seorang yang dianggap PKI. Namun karena rasa simpati akan nasib yang diterimanya, Tumini  akhirnya diterima sebagai penari gandrung di sana.

Setelah beberapa tahun, Kasan mulai beranjak dewasa. Namun undangan untuk menari janger sudah mulai sepi. Akhirnya Tumini memutuskan untuk bertani kangkung dan membuat tape. Semua itu dia lakukan agar anaknya bisa sekolah dan mengaji. Tumini sering menasehati Kasan agar jangan pernah membenci bapaknya, meskipun dia sering diejek teman-temannya di sekolah sebagai anak “komunis”. Tidak berhenti sampai di situ, Kasan bahkan sering disindir saat ngaji di langgar sebagai keluarga yang gak ndueni pengeran (tidak bertuhan). Kasan harus menganggap hal itu tidak benar. Menurut Tumini, bapaknya hanyalah seniman yang menghibur masyarakat. Tidak jarang Kasan berkelahi dengan temannya karena mereka menghina bapaknya.

Kasan yang sejak kecil tidak melihat bapaknya tetap menganggap bapaknya adalah orang yang baik. Ibunya sering bercerita bahwa bapaknya orang yang jujur, selalu menepati janji, dan suka menolong petani kecil. Kata ibunya, “dulu, di rumah ini sering dititipi benih padi dan cangkul untuk dijual dengan harga murah kepada para petani kecil di desa”. Tetapi saat di sekolah, teman-temannya malah sering bilang kalau bapaknya adalah orang yang tidak bertuhan, kejam dan pembunuh berdarah dingin.

Meski begitu, Tumini tidak pernah mengizinkan Kasan untuk tidak berangkat sekolah maupun ngaji. Dia akan sangat marah dan memukul Kasan jika anaknya itu tidak berangkat ngaji atau membolos sekolah.

Arep dadi opo kowe lek gak gelem ngaji (mau jadi apa kamu kalau tidak mau mengaji), emakmu bekerja seperti ini biar kamu bisa sekolah dan mengaji. Kalau tidak mau sekolah, pergi saja sana, tidak usah ikut emak.”

Kasan merasa tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti perintah Emaknya. Setelah memarahi anaknya, Tumini mengatakan dengan halus bahwa,,Kasan harus sekolah agar menjadi orang pintar dan bisa membantu petani kecil seperti bapaknya. Tumini juga sering mengingatkan Kasan untuk sembahyang meski dia sendiri tidak melakukannya. Dia menyuruh Kasan untuk mendoakan bapaknya.

Dongakno bapakmu le, supaya kebaikannya diterima dan dosanya diampuni gusti pengeran.”

Sejak menikah dengan Ramelan, Tumini memang tidak pernah sembahyang. Namun, saat ini dia sering merenung sendirian tiap malam sembari memikirkan dirinya dan juga anaknya. Dia pun sering menangis sendiri meratapi nasibnya, yang saat menari sering digoda oleh laki-laki.

Begitu pun saat dia harus dipandang sebelah mata sebagai rondo deglog (janda layu) karena tak kunjung bersuami lagi. Tapi dia tetap tersenyum di depan siapa pun, baik pada saat menari maupun pada waktu berhadapan dengan orang di pasar. Sering juga dia menampakkan wajah sumringah di depan orangHanya dihadapan kesendiriannyalah dia meratap dan menangis. Kini hidup bukan lagi miliknya, hidupnya adalah sebuah kehidupan untuk anaknya.

 

About Muhammad Arwani

Hanya Manusia Biasa yang Sering Khilaf

View all posts by Muhammad Arwani →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *