Tentang Harapan

AMOR FATI

Aku biarkan saja seperti rokok
yang dibakar bapa dengan waktu lalu menjadi abu

Boro-boro ingin menjadi “ini” “itu”
Bahkan untuk berharap pun aku sudah tidak mampu

Tapi ibu bilang:
Kau sudah terlanjur dilahirkan
Yang mau tidak mau
Harus menjalan semua itu dan berlalu


R U T I N I T A S

Terbangun di pagi
Jalani hari seperti biasanya
Begitulah.!
Lewati hari hari yang biasa
Berkutat dengan seribu tanda tanya
Hanya di sini
Yang hidup seperti ini
Terjebak dalam pikiran sendiri
Bercampur gelisah dengan apa yang ada
Dipaksa
Mencoba
Merubah
Mencari carii
Harapan yang percuma
Nyatanya, harapan yang tercipta tak pernah aku jumpai


APA YANG LAYAK DICINTAI?

Teruntuk yang kucintai
Bukan untuk siapa
Dan tidak untuk siapa pun

Yang kucintai
Hanyalah kenangan dari masa silam yang purna
Dari ingatan ganjil yang masih punya
Serta kata lama yang masih tersisa

Hai..!!
Apa artinya semua itu?
Bukan apa-apa
Sama sekali bukan apa-apa


TENTANG HARAPAN

Menjelang tidur
Aku berharap
Bahwa apa yang ku mau sesuai dengan kenyataan
Apa pun itu
Tapi sayang, itu hanya harap
.
Saat tidur
Beratus harapan dipadamkan
Padahal ratus harapan sudah kita iyakan
Untuk apa?
Agar nyata
Sayang, lagi-lagi itu hanya harapan
.
Dalam tidur
Semua bahkan menjadi ruwet
Ada-ada saja
Tak terduga
Jua tak bisa tuntas
Tergantung dalam terik kenyataan
Dan akhirnya menjadi tanya
.
Dalam tidur
Kisah yang selalu tidak bisa diupayakan
Semuanya tidak bisa dinyatakan
Semuanya benar benar tidak pernah diwujudkan dalam nyata

Apa yang harus diperjuangkan.?
Toh kita jua bakal tertidur untuk selamanya
Sembari menelan harapan bahwa tidurlah yang menjadi harapan sebenarnya

Lantas bagaimana?
Malam ini aku mati
Katamu kita tak lagi bisa berharap
Lihatlah lampu mati yang berada di depan rumahmu
Serta hari ini begitu kesal dan malu lalu pulas dan berganti

Tak ada yang bisa dirayakan
Selain orang-orang yang bisu atas kosongnya wacana
Selain alarm dering yang kau suruh bunyi tiap pagi

Katamu kita tak lagi bisa berharap
Namun kau diam saat ku tanya
Apalagi setelah hari ini, jika untuk berharap pun tidak mampu?

Sumber ilustrasi: documenta-akermariano

About Fengki Zaenal Abidin

Pembaca Filsafat

View all posts by Fengki Zaenal Abidin →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *