S1, S2, dan S3

Sebagaimana kita ketahui bersama jenjang pendidikan formal di Perguruan Tinggi mencakup Sarjana S1, Magister S2 dan Doktor S3. Jenjang-jenjang ini mempunyai standard atau kriteria yang berbeda satu dengan yang lain.

Pertama, jenjang S1. Level S1 bisa disebut رجل يتعلم mahasiswa yang sedang belajar yang tugas utamanya how to understand norms, concepts, theories and methodologies. Idealnya dalam konteks STAIN, IAIN dan UIN, mahasiswa yang akan masuk ke kampus-kampus tersebut, sebaiknya memiliki latar belakang pendidikan pesantren ketika memilih bidang studi agama, seperti Ilmu Alqur’an dan Ilmu Hadis atau Tafsir-Hadis, PAI, Akidah dan Filsafat (Islam), Hukum Islam, Perbandingan Madzhab, Al-Ahwal Al-Syakhsyiyah, Bahasa dan Sastra Arab, Sejarah Peradaban Islam, Perbandingan Agama, dan lain-lain.

Mengapa demikian? Supaya mahasiswa sudah memiliki dasar-dasar pengetahuan yang berhubungan wacana agama. Sehingga di Perguruan Tinggi mereka bisa fokus mempertajam, memperkaya, sekaligus mengembankan pengetahuan dasar yang telah mereka miliki. Apalagi di kampus mereka dituntut untuk bersikap aktif dan proaktif. Prosentasinya: hampir 75 persen keaktifan ada pada mahasiwa dan 25 persen pada dosen. Mahasiswa harus aktif belajar, bertanya, membaca, berdiskusi, dan menulis. Dosen hanya sebagai fasilitator yang aktif mengarahkan dan membimbing mahasiswa.

Ketika memasuki Perguruan Tinggi juga, idealnya mereka sudah memiliki minat baca yang tinggi. Mengapa demikian? Karena di kampus mereka dituntut untuk banyak membaca, menelaah, menganalisis, berdiskusi dan menulis makalah. Dosen tidak lagi sibuk mengarahkan mahasiswa agar tumbuh minat bacanya. Minat baca ini seharusnya sudah dimiliki para mahasiswa sebelum masuk kampus. Sayangnya, hanya segelintir mahasiswa yang memiliki minat baca yang tinggi untuk memasuki Perguruan Tinggi. Akibatnya, mereka kewalahan mengikuti perkuliahan dan ketika selesai kuliah, kebanyakan tidak memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidangnya, selain selembar ijazah yang bertuliskan titel seorang sarjana.

Pada level S1, dalam rentang masa kuliah semasa empat tahun, sebaiknya mahasiswa mampu menyelesaikan membaca buku sebanyak kurang lebih antara 100-200 buku. Setiap di awal pertemuan perkuliahan mahasiswa S1, hal ini saya sampaikan di hadapan mahasiswa. Bagaimana respons mereka? Ketika menyebut jumlah buku ini, nyaris seisi kelas ger-geran. Ruang kelas menjadi riuh, mereka tertawa, saling tatap satu sama lain. Mereka menatap saya dengan raut wajah tidak percaya dan tidak mungkin membaca buku sebanyak itu.

Lalu saya jelaskan, bahwa selama kuliah S1, mereka akan belajar sebanyak kurang lebih 140 sampai 150 sks yang meliputi sekitar 50 mata kuliah. Secara global, kalau mahasiswa membaca 2 buku untuk setiap mata kuliah, maka mereka membaca 100 buku dalam waktu 4 tahun. Kalau mahasiswa membaca 4 buku setiap mata kuliah, maka mereka membaca 200 buku selama masa kuliah 4 tahun.

Menyimak penjelasan saya ini, mereka mulai berpikir, tapi masih memandang saya dengan raut wajah sedikit bingung dan masih tidak percaya. Lalu saya katakan kepada mereka: bukankah 100 sampai 200 buku tidak banyak jika dibaca selama 4 tahun? Mereka tetap diam, tapi dengan tatapan yang sudah mulai memahami.

Hal ini menunjukkan kebanyakan mahasiswa kita tidak memiliki gairah keilmuan. Paling tidak menurut pengalaman saya mengajar hampir selama 14 tahun, mayoritas mahasiswa tidak memiliki minat membaca dan gairah belajar yang tinggi. Padahal semangat belajar, membaca dan berdiskusi inilah yang harusnya menjadi ruh bagi mahasiswa sehingga mereka benar-benar menguasai program studi yang mereka pelajari selama kuliah.

Kedua, jenjang S2. Level S2 bisa kita sebut sebagai عالم يتحقق , orang alim yang cerdas yang sudah mulai mampu: how to criticize the concept and theory, how to contextualize the methodology. Menganalisis suatu konsep, teori dan metodologi secara kritis, serta sudah mulai mampu melakukan kontekstualisasi berbagai konsep pemikiran dengan realitas faktual dalam kehidupan nyata. Itulah alasannya mengapa ketika dalam tahap S1, mahasiswa sudah harus menyelesaikan bacaan yang cukup banyak dan luas sebagai modal awal untuk menganalisis dan berpikir kritis terhadap materi-materi baru pada level S2.

Karena itu, kalau level S1-nya miskin bacaan, hampir dapat dipastiksn pada level S2 akan mengalami kesulitan dalam melakukan analisis kritis terhadap berbagai konsep pemikiran dan tidak mampu melakukan kontekstualisasi berbagai konsep, teori dan metodologi dengan kehidupan faktual. Di sini urgensinya ketika masuk S2, mahasiswa pascasarjana idealnya sudah melahap paling tidak sekitar 200 buku. Pada level S2 idealnya mahasiswa membaca sekitar 300 buku. Kok lebih banyak bacaannya dari S1? Padahal waktu kuliah S2 lebih singkat dari S1?

Ya, karena kemampuan mahasiswa S2 sudah jauh melampaui mahasiswa S1. Mahasiswa S2 juga sudah memiliki banyak pengalaman membaca, menelaah, dan berdiskusi tentang beragam konsep dan gagasan. Sehingga cara bacanya tentu sudah berbeda dengan mahasiswa S1. Cara menyerap ilmu pengetahuan juga sudah berbeda dengan mahasiswa S1, yakni sudah lebih cepat. Di sinilah mahasiswa S2 bisa menerapkan speed reading, teknik membaca dengan cepat. Jadi walaupun waktu kuliah S2 lebih singkat daripada S1 tapi bacaannya lebih kaya, lebih banyak dan lebih berbobot daripada S1.

Bagaimana tatkala hal ini saya sampaikan di kelas-kelas S2 Pascasarjana? Sama dengan mahasiswa S1, mereka ger-geran seisi kelas. Hampir kebanyakan mahasiswa tidak percaya dengan standard ideal level S2. Saya melihat persoalan kebanyakan mahasiswa S2 adalah miskin bacaan ketika kuliah S1. Jadi ketika kuliah S2, hanya mengikuti rutinitas perkuliahan semata. Jangankan melakukan analisis kritis dan komparatif pemikiran, presentasi di kelas saja seperti orang baca berita dan pasif berdiskusi. Apalagi ketika sebagian mahasiswa sudah berkerja. Tampak sekali, mereka kuliah hanya untuk dapat ijazah, bukan untuk memperluas wawasan dan mendapatkan ilmu baru.

Terakhir, jenjang S3 atau Doktor. Level S3 adalah عالم يجتهد yakni level pendidikan yang bisa mengantarkan seseorang menjadi ulama, cendekiawan atau ilmuwan. Pada level S3, mahasiswa akan diajarkan: how to construct small or new theories; how to create small theories, bagaimana cara mengkonstruksi atau menciptakan sebuah teori, konsep, atau gagasan baru. Pada puncak studinya, jenjang doktoral merupakan level yang secara normatif harus berpikir dan menganalisa suatu hal hingga level philosophy guna menjawab pertanyaan fundamental dan mendasar, juga ditandai dengan kemampuannya membaca dibalik yang tertulis dan melihat dibalik yang tampak.

Jenjang doktoral ini pun sebagai kelanjutan dari jenjang S1 dan S2. Bukan hanya secara formal-administratif. Tapi dalam hal luas dan kayanya bahan bacaannya sewaktu S1 dan S2. Aktifnya dalam menelaah berbagai pemikiran secara kritis dan menulis makalah. Juga aktifnya mendiskusikan beragam konsep, teori, metodologi, dan wacana dengan kolega dan dosen. Jadi kalau pada level S1 dan S2-nya miskin bacaan, tidak rajin melakukan telaah kritis dan menulis, serta pasif berdiskusi, maka pada level S3-nya akan kewalahan. Boleh jadi tidak mampu selesai kuliahnya, atau selesai S3-nya dengan hanya mendapatkan gelar doktor tapi dengan kualitas yang tidak sesuai dengan gelarnya.

Tapi kalau sejak S1 dan S2 sudah banyak dan luas bacaannya, sudah aktif berpikir secara kritis dan menulis berbagai makalah, serta aktif berdiskusi dengan beragam pemikiran, pendekatan, dan metodologi ,maka pada level S3-nya akan berjalan smooth dan pada puncaknya akan benar-benar mencapai عالم يجتهد Kualitas keilmuannya benar-benar sesuai dengan gelarnya. Para doktor seperti inilah yang bisa menginspirasi dan memberi pencerahan kepada orang lain.

Itulah alasannya mengapa pada level doktor, jumlah bacaan sudah tidak dibatasi lagi. Katakanlah ketika selesai S2 sudah membaca sekitar 400-500 buku. Ketika S3, mahasiswa doktoral melanjutkan bacaannya dengan sumber bacaan yang kaya dan luas yang tidak ada batasnya. Bahkan ketika sudah selesai jenjang S3; sudah mendapat gelar doktor, seorang doktor yang sesungguhnya akan terus belajar sepanjang hayatnya. Ia akan terus memburu buku-buku baru, membaca, menulis, dan berdiskusi dengan beragam kalangan tentang berbagai persoalan yang relevan dengan kompetensinya.

Dalam diri seorang doktor yang sesungguhnya bersemayam semacam constructive discontent yakni sebuah ketidakpuasan konstruktif yang membuatnya melakukan pertualangan intelektual sepanjang hidupnya. Kegiatan membaca, menulis, belajar, meneliti dan berdiskusi menjadi nafas kehidupan sepanjang hayatnya.

Sampai disini, lalu apa karakteristik jenjang Pascasarjana, terutama level doktor? Pertama, bersifat community of equals, artinya semua peserta bahkan profesor yang mengajar sekalipun pada dasarnya mempunyai status dan kedudukan yang sama, yang antara lain disimbolkan dengan tempat kuliah yang berbentuk lingkaran. Karena itu, semua harus berlomba untuk menyerap informasi sebanyak mungkin melalui bahan bacaan yang tersedia di perpustakaan. Inilah salah satu karakteristik amat penting dalam Program Pascasarjana yang disebut library oriented, yakni menjadikan perpustakaan sebagai sarana utama dalam proses belajar-mengajar dan bukan teacher oriented, yakni selalu menunggu perintah.

Kedua, ia dicirikan oleh “berpikir tentang Islam dan umat Islam.” Hal ini menuntut adanya jarak antara yang dikaji dengan pengkaji sehingga terhindar dari sikap bias. Apapun yang dibahas (sekalipun disebut berlandaskan Al-Qur’an) harus disikapi dengan kritis (critical outlook) dan didukung oleh pandangan skeptis (sceptical approach). Motto yang sering dikumandangkan adalah: “pencarian, pembebasan, dan pencerahan.” Sebagai scientific program, maka tugas utamanya adalah mencari kebenaran (searching for truth, nothing but truth). Maka dalam prakteknya, peserta program diajak mengkritisi mana yang tergolong benar dan mana yang tergolong tidak benar (true and untrue).

Tentu saja, benar dan tidak benar di sini dalam konteks yang bersifat akademik-relatif dan bukan kebenaran yang bersifat mutlak dan final (ultimate truth). Kajian yang dikembangkan adalah mempertanyakan kenapa sesuatu itu dikatakan benar dan/atau tidak benar. Hasil kajiannya mungkin juga bisa menjungkirbalikkan pandangan yang ada dan telah dipandang mapan. Dalam konteks ini, filsafat menjadi satu keniscayaan pada level Program Pascasarjana.

Ketiga, studi Islam harus didasarkan pada pemahaman yang bersifat normatif sekaligus empiris dan kontekstual, sehingga kajian yang dilakukan selalu berorientasi pada dasar-dasar ajaran yang telah ada sekaligus bersifat responsif terhadap masalah-masalah yang dihadapi umat. Keempat, studi Islam perlu selalu beriringan dan melihat ke segala arah perkembangan ilmu. Dengan demikian, studi Islam tidak ketinggalan dari perkembangan ilmu sekaligus perkembangan masyarakat.

Kelima, perlu mempertimbangkan pentingnya kesatuan ilmu pengetahuan (consilience, the unity of knowledge). Dengan perspektif ini, maka setiap bidang ilmu dan model-model atau pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam studi Islam harus dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Tidak ada satu bidang atau pendekatan yang bisa menyelesaikan satu persoalan secara sempurna. Kebanggaan terhadap satu disiplin ilmu tertentu dan pada waktu yang sama mengabaikan pentingnya disiplin-disiplin ilmu lainnya hanyalah terjadi pada mereka yang belum memahami makna ilmu secara mendalam.

Keenam, studi Islam harus bercirikan holistik. Karena itu, setiap kajian dalam Islam (apapun subyeknya) harus mampu menempatkan Islam dan umat Islam sebagai satu kesatuan yan tidak terpisahkan. Hal ini bisa berjalan dengan baik jika ditopang oleh networking yang kuat, sehingga apapun ilmu yang digunakan tidak terisolasi dari perkembangan ilmu-ilmu yang lain dan juga perkembangan umat manusia pada umumnya.

Dengan beberapa karakteristik umum tersebut, tampak jelas bahwa level Pascasarjana, khususnya level S3, memang salah satu tujuannya adalah pengembangan ilmu pengetahuan dan menciptakan seorang intelektual, cendekiawan, ilmuwan atau ulama yang memiliki kepekaan intelektual sekaligus tanggung jawab sosial.

Sumber ilustrasi: money

About Zaprulkhan

Penulis

View all posts by Zaprulkhan →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *