Para pemimpin Internasional Keempat tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi di Tiongkok. Cannon, salah satu pemimpin Internasional Keempat, memprediksi bahwa Mao Zedong akan menyerah kepada Chiang Kai-shek. Padahal pada saat itu, Tentara Merah Tiongkok sedang maju dengan pesat, menghancurkan segalanya di hadapannya, adapun tentara Chiang mencatat tingkat desersi tertinggi dalam sejarah. Bahkan, Shachtman, seorang oposisi Trotskyis lainnya, mengejek posisi Cannon melalui ucapan menyindir: “Mao mencoba menyerah kepada Chiang Kai-shek, tetapi masalahnya dia tidak bisa mengejar Chiang!”
Ted Grant, seorang Trotskyis terkemuka, tidak hanya memprediksi kemenangan Mao Zedong, tetapi juga menjelaskan program apa yang akan dijalankan Mao—bahkan sebelum Mao sendiri mengutarakannya. Ketika Mao masih menulis tentang perlunya periode panjang kapitalisme di Tiongkok, Ted menjelaskan bahwa Mao harus melakukan nasionalisasi alat produksi dan mendirikan negara ala Uni Soviet di bawah Stalin. Ted menyebut negara ini sebagai “negara buruh yang cacat” (Bonapartisme proletar), dan inilah yang benar-benar terjadi.
Lebih mengesankan lagi, Ted memprediksi bahwa Tiongkok di bawah Mao pada akhirnya akan berkonflik dengan Uni Soviet yang dipimpin Stalin. Prediksi ini dibuat Ted pada akhir 1940-an, saat tidak ada tanda-tanda konflik antara Moskow dan Beijing. Prediksi itu baru terbukti lebih dari satu dekade kemudian, melalui perselisihan Sino-Soviet.
Ted juga menulis dokumen panjang tentang sejarah Tiongkok secara keseluruhan. Sayangnya, dokumen itu hilang setelah dikirim ke Pierre Frank di Paris. Namun, Ted meninggalkan banyak dokumen lain yang membantu memahami pandangannya, baik tentang Revolusi Tiongkok maupun revolusi kolonial secara umum.
Konteks Sejarah Revolusi Tiongkok
Setiap revolusi memiliki ciri-ciri umum, tetapi juga perbedaan penting yang mencerminkan perkembangan nasional yang khas. Dalam kasus Tiongkok, Ted menunjukkan bahwa selama ribuan tahun sejarahnya, terdapat pola perang petani yang berulang, yang menggulingkan dinasti yang berkuasa. Namun, hasilnya selalu sama: pemimpin petani akhirnya bergabung dengan kelas penguasa lama (mandarin) untuk membentuk dinasti baru. Struktur sosial tetap tidak berubah, dan siklus sejarah terus berulang tanpa henti.
Sebelum Perang Dunia II, Trotsky pernah memprediksi apa yang akan terjadi jika Tentara Merah Tiongkok memasuki kota-kota. Trotsky menduga para pemimpin Tentara Merah akan menyatu dengan borjuasi, membuka jalan bagi perkembangan kapitalisme. Namun, karena situasi Perang Dunia II yang unik, prediksi ini tidak sepenuhnya terbukti. Trotsky sendiri mungkin akan merevisi pandangannya seiring perkembangan baru, tetapi dia dibunuh oleh agen Stalin sebelum dapat melakukannya.
Trotskyisme, sebagaimana ajaran Marx, menekankan bahwa prediksi revolusioner bersifat kondisional—harus disesuaikan dengan perubahan kondisi. Sayangnya, para pemimpin Internasional Keempat gagal memahami hal ini.
Mao Zedong dan Revolusi
Hingga tahun 1949, Mao masih mengusulkan memperpanjang nafas kapitalisme selama “seratus tahun,” dan hanya berencana menghapus “kapitalisme birokratik”. Dalam tahap awal revolusi, Mao melakukan segala cara untuk mencegah kaum buruh mengambil alih kekuasaan. Saat Tentara Merah memasuki kota-kota, para buruh dilarang mogok atau berdemonstrasi.
Mao awalnya membayangkan pemerintahan koalisi yang mencakup buruh, petani, kaum intelektual, borjuasi nasional, dan tuan tanah progresif. Namun, kenyataannya, borjuasi telah melarikan diri ke Formosa (Taiwan) bersama Chiang Kai-shek. Pemerintahan ini secara formal disebut “front rakyat”, tetapi berbeda dengan front rakyat di Spanyol (1936). Di Tiongkok, Tentara Pembebasan Rakyat, yang dikendalikan oleh Stalinisme Tiongkok, memainkan peran kunci dalam memastikan dominasi Partai Komunis.
Dengan demikian, Mao Zedong tidak sekadar mendirikan negara borjuis, tetapi membangun “negara buruh yang cacat”. Dalam negara buruh yang cacat ini, kontrol buruh ditekan demi stabilitas birokrasi. Namun, keberhasilan revolusi ini tetap menunjukkan pentingnya memahami dinamika revolusi kolonial di bawah hukum-hukum materialisme dialektis.
Penjelasan Engels tentang Negara dan Dinamika Revolusi Tiongkok
Engels menjelaskan bahwa pada akhirnya, negara adalah badan bersenjata yang melayani kepentingan kelas tertentu. Negara borjuis lama di Tiongkok dihancurkan oleh Tentara Merah. Dengan menggunakan Tentara Merah yang mayoritas terdiri dari petani, Mao menghancurkan negara lama, kemudian mengambil posisi “Bonapartis”, menyeimbangkan antara borjuasi dengan kelas pekerja dan petani. Ini dilakukan untuk mengonsolidasikan negara baru dan memusatkan kekuasaan ke tangannya.
Meskipun Mao awalnya berencana untuk menjalankan kapitalisme dalam jangka panjang, dia segera menyadari bahwa borjuasi Tiongkok yang busuk dan korup tidak mampu memainkan peran progresif. Maka, dengan bergantung pada kelas pekerja, Mao menasionalisasi bank dan industri besar, serta merampas kekayaan tuan tanah dan kapitalis. Seperti yang dikatakan Trotsky, untuk membunuh harimau dibutuhkan senapan, tetapi untuk membunuh kutu cukup dengan kuku. Dalam hal ini, borjuasi Tiongkok yang sudah lemah sangat mudah disikat.
Namun, negara baru yang dibangun Mao bukanlah “negara buruh demokratis” seperti yang diimpikan Lenin dan Trotsky, melainkan “negara buruh yang cacat” seperti model negara Stalin. Ted Grant menjelaskan dalam tulisannya Reply to David James (1949):
“Metode Marxis dimulai dari analisis kelas terhadap masyarakat dan organ-organnya, tetapi tidak berhenti di situ. Diperlukan analisis lebih lanjut terhadap interaksi antar-kelas dalam kondisi tertentu.”
Menurut Ted, revolusi di Tiongkok dan Eropa Timur setelah Perang Dunia II tidak bisa dijelaskan tanpa memahami keberadaan Uni Soviet sebagai “negara buruh yang cacat”. Kemenangan Soviet dalam perang memperlemah imperialisme dunia dan memungkinkan ekspansi revolusi dalam bentuk yang terdistorsi, yaitu ala Stalinisme.
Ted menggunakan teori Trotsky sebagai dasar untuk memahami karakter khusus rezim-rezim pasca-perang di Eropa Timur, Revolusi Tiongkok, dan revolusi kolonial secara umum. Dalam tulisannya Against the Theory of State Capitalism (1949), dia menjelaskan:
“Jika seseorang membandingkan kontra-revolusi Bonapartis dengan revolusi, setidaknya dalam bentuk superstruktur, akan terlihat perbedaan besar—seperti perbedaan antara rezim Lenin dan Trotsky di Rusia dengan rezim Stalin di masa-masa berikutnya. Namun, perbedaan dalam superstruktur ini tidak mengubah basis ekonomi dari revolusi tersebut.”
Seperti Napoleon yang mengembalikan beberapa elemen feodalisme (seperti gelar bangsawan, dekorasi, dan gereja), Mao juga memperkenalkan kontrol birokratis yang menciptakan ketegangan baru. Namun begitu, basis properti revolusioner tetap bertahan: penghapusan tuan tanah, nasionalisasi industri, dan monopoli perdagangan luar negeri yang dikelola negara. Semua ini memberikan dorongan besar pada perkembangan industri Tiongkok.
Namun, nasionalisasi alat produksi tidak berarti sosialisme. Sosialisme sejati membutuhkan kontrol sadar dan partisipasi aktif dari proletariat. Pemerintahan birokrasi yang tidak terkendali, seperti yang terjadi di Tiongkok, tidak sesuai dengan sosialisme sejati. Sebaliknya, dia menciptakan kontradiksi baru: korupsi, nepotisme, pemborosan, salah urus, dan kekacauan, yang pada akhirnya merusak capaian ekonomi terencana. Pengalaman Uni Soviet dan Tiongkok membuktikan hal ini.
Kebingungan Internasional Keempat
Pemimpin Internasional Keempat gagal memahami dinamika proses ini. Awalnya, mereka menyebut Tiongkok di bawah Mao sebagai kapitalis. Kemudian, mereka berubah pikiran dan menyebutnya sebagai “negara buruh yang sehat”. Bahkan, beberapa dari mereka membandingkan Revolusi Kebudayaan dengan Komune Paris. Semua kebingungan ini menunjukkan betapa mereka telah kehilangan arah.
Pada kenyataannya, Revolusi Kebudayaan bukanlah kebangkitan kontrol pekerja seperti Komune Paris, melainkan ekspresi dari perjuangan internal dalam birokrasi yang korup. Mao tidak menggerakkan kelas pekerja untuk merebut kekuasaan, tetapi memanfaatkan massa untuk memperkuat posisinya dalam hierarki birokrasi. Hal ini menegaskan bahwa tanpa kontrol demokratis oleh kelas pekerja, negara “buruh” yang dikelola birokrasi hanya akan membawa lebih banyak stagnasi dan kontradiksi baru.
(Alan Woods, 2013: 86–88)
Ilustrasi: theguardian.com
Покупка диплома о среднем полном образовании: как избежать мошенничества?
Discover the power of seamless business connectivity with Businessiraq.com, the leading digital platform transforming how companies operate in Iraq. This innovative portal features a comprehensive Iraq business directory, enabling efficient networking among local and international enterprises. The platform delivers cutting-edge business news in Iraq, ensuring users remain informed about market developments and opportunities. Job seekers benefit from an extensive collection of Iraq jobs postings, while companies can explore numerous opportunities through the detailed tender directory. The platform’s sophisticated online business listings system simplifies the process of finding potential partners, making Businessiraq.com an essential tool for anyone serious about succeeding in Iraq’s dynamic business environment.
Unlock the potential of the Iraqi market with Businessiraq.com. This essential Iraq business directory presents a wealth of online business listings, fostering connections between companies and facilitating market entry. Access up-to-date business news in Iraq, browse promising Iraq jobs, and find tender opportunities for procurement. Businessiraq.com is the key to unlocking the Iraqi business world.