Karl Raimund Popper, atau yang sering kita kenal dengan Karl Popper, lahir di Wina, Austria, pada 28 Juli 1902. Kedua orangtuanya penganut agama Yahudi, namun tak lama setelah menikah mereka berdua dibaptis di gereja Protestan, sebagaimana yang sering dilakukan oleh banyak masyarakat pribumi Austria pada waktu itu. Ayahnya, Dr. Simon Sigmund Carl Popper, adalah seorang pengacara yang sangat berminat pada kajian filsafat.
Banyaknya buku filsafat yang dimiliki sang ayah, membuat Karl Popper juga berminat dengan kajian filsafat. Ibunya adalah pemain biola yang handal sehingga bakat musiknya juga diwarisi oleh Popper. Pada usia enam belas tahun, Popper keluar dari sekolahnya, Realgymnasium, karena merasa bosan dengan pelajaran yang ada di sana. Sekeluarnya dari sekolah, ia menjadi pendengar bebas di Universitas Wina dan, baru pada tahun 1922 M, ia diterima sebagai mahasiswa tetap oleh Universitas tersebut.
Ketika menginjak usia tujuh belas tahun, Popper menjadi anti-marxisme, setelah sebelumnya menjadi anggota perkumpulan murid sekolah menengah yang beraliran sosialis pada rentang waktu selama dua atau tiga bulan tahun 1919 M. Kekecewaannya ini tidak lain karena kebanyakan marxis pada waktu itu menghalalkan segala cara demi tercapainya revolusi. Sejak saat itu pula Popper seakan mendapat pencerahan dari ungkapan Socrates yang terkenal, “Saya tahu bahwa saya tidak tahu”. Melalui ungkapan Socrates tersebut, Popper menyadari dengan sungguh-sungguh perbedaan antara pemikiran dogmatis dan kritis.
Tahun 1919 menjadi tahun penting bagi perkembangan intelektual Popper. Pada tahun 1919, teori Newton tumbang seiring dengan munculnya teori tentang gaya berat dan kosmologi baru yang dikemukakan oleh Albert Einstein. Karl Popper terkesan dengan ungkapan Einstein dalam ceramahnya di Wina yang mengatakan bahwa teori tidak dapat dipertahankan jika gagal dalam tes tertentu. Hal ini tentunya sangat bertolak belakang dengan sikap kaum Marxis pada waktu itu yang selalu mencari verifikasi dan justifikasi terhadap teori-teori kesayangan mereka.
Sejak bersinggungan dengan pemikiran Einstein, Popper menyimpulkan bahwa sikap ilmiah adalah sikap kritis yang tidak mencari pembenaran, melainkan pengujian yang dapat menyangkal teori yang diujinya (Murtiningsih, 2012: 203). Pada bulan Februari 1950, Popper berkunjung ke Amerika Serikat untuk memberikan serangkaian kuliah di Harvard. Di sana dia berjumpa dengan sahabat-sahabat lamanya seperti Herbert Feigl dan kawan-kawan. Namun, yang paling berkesan bagi Popper adalah pertemuannya dengan Albert Einstein. Pertemuan itu digunakan sebaik mungkin oleh Popper untuk berdiskusi tentang falsifikasi, falsifiabilitas, dan simplisitas (Popper, 1992: 102).
Popper meninggal pada 17 September 1994 di London dalam usia sembilan puluh dua tahun akibat penyakit jantung. Selama kariernya dalam dunia intelektual, Popper menghasilkan karya-karya monumental di antaranya, The Poverty of Historicism, The Open Society and Its Enemies I dan II, The Logic of Scientific Discovery, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge An Evolutionary Approach, The Philosophy of Karl Popper, Unended Quest, dan The Self and Its Brain.
Layaknya Kant, Popper berusaha menjembatani konflik antara rasionalisme dan empirisme dengan teorinya yang disebut sebagai rasionalisme-kritis. “Rasionalisme” adalah paham atau aliran pemikiran yang menekankan bahwa ilmu pengetahuan bersumber dari rasio. Aliran ini dipelopori oleh Rene Descartes dengan Cogito Ergo Sum-nya yang kemudian menjadi dasar dari aliran rasionalisme. Sedangkan “kritis” merupakan kata sifat yang merujuk pada aliran kritisisme sebagai bentuk penyelesaian antara rasionalisme dan empirisme.
Popper hadir dengan gagasan rasionalisme-kritis yang, pada dasarnya, terinspirasi dari tradisi diskusi Yunani klasik, di mana diskusi tersebut dilakukan untuk menemukan kelemahan dari suatu gagasan. Menurut Popper, dalam diskusi semacam itu para peserta harus bersikap kritis serta siap menerima argumentasi dari masing-masing peserta. Selain itu, dengan prinsip semacam ini, ilmu pengetahuan dapat terlepas dari dogma dan kestatisan. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan akan bersifat dinamis dan selalu bertransformasi. Inilah yang kemudian menjadi landasan dasar atas prinsip teori falsifikasi.
Sementara itu, pandangan Popper mengenai empirisme dalam diskusi kritis atas suatu teori pengamatan dan percobaan selalu diimbau sebagai ujian terhadap teori (Popper, 1989:156). Namun, empirisme Popper adalah empirisme-kritis karena pengalaman dan percobaan tidak digunakan untuk meneguhkan suatu teori, seperti yang diusahakan oleh kaum induktivis dan verifikasionis, melainkan untuk mengadakan penyangkalan (refutasi dan falsifikasi) terhadap teori.
Menurut Popper, suatu teori tak dapat diverifikasi secara positif, melainkan bisa difalsifikasi (Alfans Taryadi, 1989:27). Di sini, tampak bahwa Popper memodifikasi gagasan Kant tentang teori ilmiah. Melalui rasionalisme-kritis dan empirisme-kritis, Popper telah memberikan sentuhan akhir (finishing touch) pada filsafat kritis Kant. Lewat metode pengujian yang kritis inilah keketatan ilmiah dan logika masuk kedalam ilmu empiris.
Kritikan Popper yang paling menonjol ia tujukan kepada pada Lingkaran Wina.
Setelah memperoleh gelar doktor, Popper melihat begitu banyak teori ilmu pengetahuan yang keliru sejak Francis Bacon hingga Auguste Comte. Alasannya tidak lain karena para ilmuwan harus menarik garis pemisah (demarkasi) antara kegiatan ilmiah mereka dengan pseudo-science seperti teologi dan metafisika.
Para teoritisi ilmu pengetahuan telah menerima dari Bacon metode induktif sebagai kriteria demarkasi mereka. Sedangkan menurut Popper kriteria demarkasi yang lebih baik adalah testabilitas atau fasibilitas. Oleh karena itu, menurut Popper, tidak ada teori yang objektif dan absolut. Sebaliknya, suatu teori yang pada awalnya dianggap benar akan diagantikan oleh teori baru. Demikian seterusnya.
Popper mengklaim dapat mengganti induksi dengan falsifikasi tanpa harus mengalami kesulitan dalam menentukan garis demarkasi. Klaimnya ini mengimplikasikan bahwa teori ilmiah bisa disangkal atau, dengan kata lain, selamanya berupa hipotesis. Falsifikasi dapat memberi kemajuan pada ilmu pengetahuan kemajuan karena ia membuka pintu seluas-luasnya bagi informasi yang lebih besar. Jadi, suatu teori dengan isi lebih besar adalah suatu teori yang dapat diuji secara lebih keras. Pertimbangan ini membawa kepada suatu teori di mana kemajuan ilmiah ternyata tidak terdiri dari kumpulan pengamatan, melainkan penjatuhan teori-teori yang kurang baik dan menggantinya dengan teori-teori yang lebih baik.
Melalui falsifikasinya, Popper kemudian menarik kesimpulan bahwa menghadapkan teori-teori pada fakta-fakta yang dapat menunjukan ketidakbenarannya, adalah satu-satunya cara yang tepat untuk mengujinya dan satu-satunya cara yang memungkinkan ilmu pengetahuan bisa berkembang terus-menerus. Dengan adanya kemungkinan untuk menguji teori, berarti teori itu terbuka untuk dikritik.
Sumber ilustrasi: wsimag.com