Radikalisme sebagai Monster Semu

Isu radikalisme telah merambah ruang-ruang sosial di Indonesia, tanpa terkecuali ruang akademis yang harusnya terbuka dan toleran pada setiap dialektika pikiran dan ideologi. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana Universitas di Indonesia, pada setiap momen penerimaan mahasiswa baru, selalu menegaskan komitmen mereka dalam bentuk larangan keras masuknya paham radikalisme ke ruang kampus.

Radikalisme sendiri telah digaungkan sebagai musuh bersama bukan hanya oleh Presiden Indonesia, namun juga para menteri yang begitu masif dalam mewacanakan isu ini. Kendati demikian, pemerintah sendiri belum menyatakan secara jelas definisi dari radikalisme dan sebab musabab hadirnya paham ini seperti yang dijabarkan pengamat terorisme dari Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya.

Kaburnya definisi radikalisme ini berakibat pada tidak tepatnya strategi penanggulangan radikalisme itu sendiri. Bukan hanya itu, dampak lainnya adalah hadirnya sinisme dan intoleransi baru di tengah-tengah masyarakat Indonesia, yakni memandang sinis pada beberapa kelompok tertentu yang dianggap radikal. Misalnya saja, belum lama ini Menag Fachrul Razi mengungkapkan bahwa strategi paham radikalisme untuk memasuki ruang ASN maupun ruang sosial masyarakat adalah melalui agen radikalisme, yakni para penghafal al-Quran yang berparas menarik atau good looking.

Pada akhirnya, ungkapan dengan landasan prematur ini bukannya membangkitkan rasa nasionalisme dan toleransi, melainkan menciptakan kecurigaan antar sesama masyarakat. Oleh karena itu, tidak sedikit masyarakat yang geram dan sinis pada wacana radikalisme yang terus menerus diwacanakan para pemangku kekuasaan negeri ini. Saya melihat ini adalah salah satu akibat dari inkonsistensi dan ketidakmampuan pemerintah dalam mendefinisikan radikalisme itu sendiri.

Dalam KBBI, radikalisme dipahami sebagai paham radikal dalam politik. Selain itu, radikalisme juga dimaknai sebagai aliran yang menginginkan pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan. Sampai hari ini, radikalisme selalu diatributkan pada kelompok yang mengidealkan sistem pemerintahan Islam. Namun, apakah semudah itu kita mengatributkan “radikalisme” pada kelompok-kelompok tertentu?

Jika artikulasi konsep radikalisme ini belum tuntas, maka jangan salahkan jika kekaburan konsep ini berakibat pada hipotesis bahwa isu radikalisme ini adalah proyek para elitis untuk mencapai kepentingan tertentu dengan mengatasnamakan nasionalisme. Lebih parah lagi, isu radikalisme juga dapat menebarkan ketidakharmonisan dan sikap saling mencurigai satu sama lain antar warga kesatuan republik Indonesia. Singkatnya, Isu ini telah mendegradasi kadar toleransi pada kebhinekaan kita dalam menerima pikiran dan paham yang berbeda.

Isu yang dapat memicu intoleransi ini bahkan telah menyusup di ruang-ruang akademis, di mana pikiran dan ideologi ditolak terlebih dahulu sebelum disaring, diklasifikasi, dianalisis, diperdebatkan, dan disimpulkan oleh “makhluk-makhluk akademis”.

Penolakan ini berimplikasi menjadi block baru bagi paradigma kritis cendekiawan Indonesia hari ini dan masa yang akan datang, di mana, dalam tatanan akademis, mahasiswa dan dosen seharusnya melihat mereka yang disebut kelompok radikal ini sebagai anti-tesis yang dapat menghadirkan sintesis kebijakan akademis maupun kebijakan pemerintah dengan jalan yang kritis.

Paradigma akademisi kita seharusnya tidak mengutamakan sinisme dalam memandang kelompok tertentu yang dianggap bersebrangan, melainkan memandangnya sebagai rival yang juga memiliki memiliki hak politis dan hak sipil dalam dimensi demokratis.

Isu radikalisme ini mengingatkan saya pada tulisan Noam Chomsky dalam bukunya politik kuasa media yang mengatakan bahwa sebuah negara yang gagal dalam meningkatkan kualitas ekonomi, pendidikan, dan kesejahteraan, akan berusaha menciptakan monster atau musuh bersama. Chomsky mencontohkan kebijakan Geoge Bush, presiden Amerika pada tahun 1950-an yang telah merugikan Amerika; mulai dari pertumbuhan tiga juta anak miskin, standar pendidikan menurun, dan upah tenaga kerja juga mengalami penurunan yang signifikan.

Rusia adalah sasaran empuk Amerika sebagai pengalih kawanan pandir atau masyarakat Amerika yang tidak kritis. Bahkan, demi memaksimalkan pengalihan ini, Bush menciptakan musuh baru, yakni terorisme Internasional dari orang-orang arab dan Saddam Husein yang digadang-gadang sebagai Hitler baru (Chomsky, 1997). Dengan begitu, kegagalan kebijakan Bush dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat Amerika teralihkan.

Pertanyaan berikutnya yang perlu diajukan adalah, mengapa isu radikalisme ini baru hadir begitu masif pada era pemerintahan Jokowi? Apakah radikalisme adalah sebuah proyek untuk membentuk musuh baru Indonesia yang bersifat semu? Jika ini benar, pertanyaan selanjutnya apakah radikalisme ini hanya sebagai pengalihan isu dari kemerosotan ekonomi sebagaimana yang pernah dilakukan Bush? Penulis memang berasumsi demikian.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa disebut lamban dan tidak mencapai target. Pada tahun 2019, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 5 persen, sedangkan targetnya adalah 8 persen. Tingkat kemiskinan di Indonesia masih bertahan di sekitar angka 9,41 persen per Maret 2019. Hal ini juga tidak sesuai target; pemerintah menargetkan penurunan angka kemiskinan pada angka 7 persen.

Selain itu, tingkat ketimpangan atau gini ratio tidak capai target 0,36, namun masih berada pada angkat 0,382. Selanjutnya, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tidak mencapai target 76,3 pada 2019, namun masih bertahan pada angkat 72 pada akhir 2019 (CNN Indonesia, 04 Oktober 2019). Apa lagi, di era Pandemi Covid-19, kebijakan Jokowi dapat diklaim lamban dalam mengatasi Covid-19, bahkan cenderung mementingkan ekonomi dari pada pencegahan melalui pembatasan ketat.

Penting untuk penulis tegaskan bahwa tulisan ini hanyalah semacam seruan agar kita mempertanyakan kembali definisi dan latar belakang dari isu radikalisme ini. Mengapa di masa yang serba krisis ini, isu radikalisme tetap hangat diperbincangkan? Apa tujuannya. Mengapa dalam praktiknya, pencegahan radikalisme justru menyebar sensasi intoleran yang justru berbanding terbalik dengan tujuannya, yakni membangun jiwa-jiwa yang toleran pada masyarakat Indonesia?

Sumber ilustrasi: dartcenter.org

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *