Radikalisme di Kampus

Apa yang mesti kita lakukan ketika melihat maraknya gerakan radikalisme di kampus? Tentu, radikalisme yang dimaksud tidak melulu soal aksi radikal, melainkan juga soal paham yang dapat mempengaruhi seseorang untuk terlibat dalam aksi radikal. Itu lah mengapa sejumlah pengamat mengelompokkan radikalisme dalam dua tataran yang saling berhubungan, yakni pemikiran dan tindakan. Dengan kata lain, mereka yang sering mengkonsumsi pemikiran radikal adalah mereka yang paling berpotensi melakukan aksi-aksi radikal.

Kenyataan ini bukan tanpa dasar, Direktur Keamanan Negara Polri, Komisaris Besar Djoko Mulyono, menyampaikan bahwa maraknya teror sebagai aksi radikal tidak lain karena maraknya penyebaran paham radikal di media sosial. Mengapa media sosial? Selain karena tidak terikat oleh batas ruang dan waktu, media sosial juga diyakini sebagai lalu litas yang sering luput dari pengawasan.

Memang cukup sulit untuk mengetahui berapa banyak jumlah anggota yang berhasil direkrut kelompok radikal di media sosial, namun pihak kepolisian tetap tidak kehabisan akal untuk mengambil langkah preventif. Kepolisian, melalui Unit Cyber Crime, terus mengawasi gerak-gerik kelompok radikal di dunia maya. Apabila ada ditemukan konten yang mengandung unsur radikal, maka langkah sederhana yang akan diambil pihak kepolisian ialah melaporkan secara langsung konten-konten tersebut kepada Kementerian Komunikasi dan Informasi (kememkominfo) sebelum akhirnya diblokir.

Media sosial tentu bukanlah satu-satunya sarana kelompok radikal dalam menyebarkan paham radikalnya. Lebih dari itu, kampus juga menjadi lahan subur berkembangnya radikalisme. Upaya menjerumuskan mahasiswa/i, sebagai generasi intelektual, ke jurang radikalisme tidak dapat dianggap sepele, terlebih-lebih mereka merupakan bagian dari agend of social change. 

Direktur The Wahid Institute, Yenny Wahid, telah mengutarakan bahwa target yang biasanya direkrut oleh kelompok radikal di berbagai kampus adalah mahasiswa/i yang pada memiliki perilaku baik sebelum akhirnya menjadi radikal. Lebih lanjut Yenny Wahid menjelaskan bahwa pada mulanya ekspresi keagamaan mahasiswa mengalami peningkatan, seperti mengaji dan shalat. Seiring berjalannya waktu, ekspresi yang ditimbulkan semakin menggebu-gebu dengan rasa kepedulian yang tinggi terhadap teman, kerabat bahkan kepada masyarakat yang terkena bala bencana, melakukan aksi seperti penggalangan dana sebagai bentuk dukungan bakti sosial.

Tentu saja perbuatan tersebut memunculkan rasa bangga bagi setiap orang yeng mengetahuinya, tidak terkecuali dengan orang tua. Pada masa-masa selanjutnya, perbuatan tersebut terus berkelanjutan dan berkepanjangan, dengan satu spirit yang bernama patuh atau kepatuhan. Pada titik inilah, perilaku tentang agama telah bercampur aduk dengan fanatisme. Konsep yang dipegangi adalah -saya percaya maka saya benar-, nahas saja, mulai dari senior sampai dosen pun ditaati (tanpa bertabayun terlebih dahulu) ketimbang orang tuanya. Akhirnya, muncullah narasi-narasi yang mengkafirkan (takfirin) satu dengan yang lainnya.

Selanjutnya, sikap yang dibawa telah menuntun mereka untuk megambil langkah pengasingan dan menjauhkan diri dari orang lain. Ajaran agama baginya sesuatu yang anti kritik, ditelan mentah-mentah. Klaim kebenaran bersarang dibenaknya sehingga merasa dirinya paling benar dengan apa yang ia punya.

Sama dengan apa yang terjadi di media sosial, mengidentifikasi siapa dan berapa jumlah mahasiswa/i yang telah direkrut oleh kelompok radikal bukanlah hal yang mudah. Bagi penulis, mahasiswa/I sebagai agend of social change tentu tidak selayaknya terjerumus atau bahkan menjerumuskan diri ke dalam radikalisme. Penulis meyakini bahwa di pelbagai penjuru universitas masih banyak ditemukan para mahasiswa/i yang menjunjung tinggi nilai toleransi dalam beragama. Nilai-nilai yang demikian bisa saja dijadikan sebagai ajaran, ilmu, atau bahkan ideologi.

Intelektualitas mahasiswa/i yang diharapkan dapat menyelesaikan berbagai problem ditengah-tengah masyarakat adalah modal besar di masa mendatang. Akan sangat disayangkan jika intelektualitas mahasiswa/i harus ternodai oleh fanatisme agama, karena hal itu bukan hanya akan merusak kredibilitas mahasiswa/i itu sendiri. Lebih dari itu, kampus juga akan kehilangan wibawa dalam mencetak generasi penerus bangsa.

Sudah selayaknya kita menggantungkan harapan pada organisasi internal kampus, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), dan Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) untuk menangkal berbagai macam paham radikal yang kehadirannya di kampus cukup meresahkan. Selain itu, kita juga berharap agar organisasi ekstra kampus dapat ikut serta menyediakan tempat bagi mahasiswa/i untuk menumbuhkan kepekaan sosial dan toleransi yang dengan sendirinya akan mempersempit ruang gerak radikalisme di kampus. Lebih jelas Azyumardi Azra menegaskan bahwa organisasi ekstra kampus adalah organisasi yang dapat mengurangi dominasi gerakan islam ekstrim kanan.

Sembari dari itu, kampus juga harus ikut andil dalam memecahkan problem radikalisme. Pada hari ini, keikutsertaan kampus dalam menangkal paham radikalisme melalui sistem, aturan atau kebijakannya sangatlah urgen. Kampus perlu memerhatikan mahasiswa/i-nya agar tidak terjerumus pada paham radikalisme. Otoritas yang dimiliki kampus sejatinya untuk kemaslahatan bersama, baik itu untuk mahasiswa, dosen, atau bahkan masyarakat secara umum.

Baru-baru ini Muhammad Nasir, sebagaimana dirilis Mentri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, menyatakan akan menindak tegas pemimpin perguruan tinggi yang gagal membendung atau menyebar radikalisme di dalam kampus. Sanksi bisa sampai pemecatan hingga di proses secara hukum.

Nasir mangaku sudah memecat seorang dekan dan tiga dosen di institut Teknologi Sepuluh November yang diduga kuat menyebar paham radikalisme. Ia mengatakan, benih radikalisme di pendidikan tinggi terjadi sejak 1980, yaitu saat pemerintah menerapkan Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK). “Kebijakan tersebut menimbulkan kampus terbebas dari panggung politik tetapi mulai disusupi kegiatan yang menebar paham-paham baru yang eksklusif”, demikian Muhammad Nasir mengatakan di Hotel Sari Pan, Jakarta, Senin 14 Mei 2018.

Berdasarkan ungkapan Nasir tersebut, dapat dipahami bahwa meredam laju radikalisme di kampus bisa dimulai dari kampus itu sendiri, yaitu dengan cara memberi ruang seluas-luasnya kepada organisasi internal dan ekstra kampus.

Sumber ilustrasi: buzzfeednews

About Haidir Ali Lubis

Anggota di Lembaga Filsafat dan Teori Sosial Kritis (LEFTIST)

View all posts by Haidir Ali Lubis →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *