Barangkali tidak ada ibadah yang sifatnya begitu personal selain ibadah puasa. Sebab, siapakah yang tahu bahwa orang benar-benar melakukan ibadah puasa? Sebagai contoh, orang yang disiang hari tampak lesu atau memperlihatkan tanda tanda lahiriah bahwa dia sedang berpuasa, tidak menjamin bahwa dia benar-benar berpuasa. Bisa saja dibalik gejala-gejala itu dia telah meneguk segelas es teh tanpa diketahui orang lain.
Sebaliknya, ada pula orang yang, biarpun cuaca panas, tampak bersemangat; dia tidak menunjukkan gejala-gejala lahiriah bahwa dia sedang berpuasa. Tetapi bisa jadi dialah orang yang benar-benar berpuasa, yang tetap teguh mempertahankan diri dari semua godaan yang membuat puasanya gugur ditengah jalan.
Sekali lagi, ini menandakan bahwa memang ibadah puasa adalah suatu ibadah yang sifatnya amat personal. Artinya, suatu ibadah yang tidak mungkin diintervensi atau diawasi oleh orang lain, dan juga secara hakikatnya sama sekali tidak diketahui oleh orang lain. Inilah makna dari hadis qudsi yang mengatakan bahwa puasa adalah sepenuhnya untuk Tuhan, dan Tuhan pulalah yang akan memberi ganjarannya secara langsung.
Bahkan, dalam hadis itu dikatakan bahwa seluruh ibadah, selain puasa, mengandung unsur kontrol sosial didalamnya. Sebagai contoh, shalat akan lebih utama bila dikerjakan secara berjamaah, jadi shalat ini termasuk ibadah yang melibatkan orang banyak.
Begitu pula zakat, tentunya dikerjakan dalam suatu bentuk interaksi hubungan kita dengan orang lain, baik dengan panitia zakat atau langsung kepada kaum fakir miskin. Didalam kitab suci pun, sikap untuk mendemonstrasikan zakat atau sedekah justru sangat dianjurkan meskipun dalam jika dilakukan secara pribadi, tanpa orangpun tahu, dan langsung kita berikan kepada fakir miskin, akan lebih baik karena lebih terjaga dalam hal keikhlasannya.
Kemudian, apa makna yang bisa diambil ketika orang tetap menjalankan ibadah berpuasa padahal ia benar-benar merasakan haus dan lapar? Hal seperti itu, tidak lain karena ia menyadari secara penuh akan kehadiran Allah dalam hidupnya, di mana saja dan kapan saja. Orang yang seperti itu yakin bahwa Allah selalu mengawasi dalam segala tingkah laku serta perbuatannya. Inilah makna taqwa dan taqwa pulalah yang menjadi tujuan dari ibadah puasa.
Sikap teguh untuk mempertahankan ibadah puasa adalah peragaan atau pengaplikasian jiwa ketaqwaan. Dan oleh sebab itu, seperti halnya puasa, ketakwaan merupakan pangkal ujung ketulusan serta kemurnian niat yang juga personal. Makna ketakwaan ini juga telah dijelaskan dalam kitab al-Hikam bahwa praktik amal ibadah adalah sesuatu yang hanya bersifat lahiriah. Sedangkan spirit atau jiwanya adalah rahasia keikhlasan yang amat personal.
Karena puasa adalah ibadah yang personal, khususnya bagi seorang muslim, maka bisa kita simpulkan bahwa puasa adalah sebuah tanggung jawab kita sepenuhnya kepada Allah . Puasa juga mengajarkan kita untuk mengaplikasikan nilai-nilai moral personal. Sebagaimana kita ketahui, nilai-nilai moral personal sama sekali tidak bisa diukur dari tindakan lahiriah. Ia hanya bisa dinilai dari keikhlasan niat seseorang; tentu saja yang bisa menilai keikhlasan niat seseorang hanyalah orang itu sendiri dan Tuhannya.