Problem Eksistensi Perempuan dalam Novel “Perempuan di Titik Nol” Karya Nawal el-Sadawi

Kerribennettwiliamson.com

Oposisi jenis kelamin yang melahirkan prasangka gender berdampak pada pola hubungan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki selalu menjadi sosok yang dianggap lebih superior dalam berbagai aspek kehidupan. Sebaliknya, perempuan selalu saja dianggap inferior. Sebagai jenis kelamin yang memposisikan diri lebih unggul, laki-laki menciptakan legitimasi yang terbentuk melalui lembaga-lembaga patriarkal, dengan maksud melanggengkan hegemoni terhadap kedudukan perempuan (Sugihastuti, 2010: 122).

Perbedaan gender pada dasarnya akan melahirkan berbagai ketidakadilan bagi perempuan. Ketidakadilan gender biasanya akan termanifestasi dalam proses marginalisasi, pemiskinan ekonomi, subordinasi, pembentukan stereotipe atau pelabelan negatif, kekerasan, beban kerja lebih panjang dan lebih banyak, serta sosialisasi ideologi peran gender (Fakih, 1987: 12-13).

Subordinasi yang dialami perempuan akibat perbedaan gender tidak hanya terjadi di ranah publik, melainkan juga terjadi di ranah domestik. Perempuan sering dinomerduakan dalam berbagai pengambilan keputusan strategis, bahkan menyangkut keputusan diri dan kehidupannya sendiri (Rohmaniyah, 2017: 24-25). Sebagai contoh, pemerintah Indonesia pernah memiliki peraturan yang menegaskan bahwa jika suami yang pergi belajar, maka dia boleh meninggalkan keluarganya melalui keputusannya sendiri. Jika itu dilakukan isteri, maka dia harus mendapat izin suami (Fakih, 1987: 13). Tidak behenti sampai di situ, dalam institusi keluarga, misalnya, masih sering dijumpai bahwa jika kondisi ekonomi suatu keluarga merosot, maka yang paling berhak atas biaya pendidikan adalah anak laki-laki. Praktik seperti itu tentu berangkat dari kesadaran gender yang tidak adil (Fakih, 1987: 13).

Tindakan subordinasi dan represi oleh laki-laki terhadap perempuan merupakan bagian dari sistem kontrol antara dua jenis kelamin. Berdasarkan hal ini, prasangka gender kemudian muncul sebagai upaya diskriminasi terhadap eksistensi pihak subordinat. Pandangan dan perlakuan laki-laki terhadap perempuan yang meresap dan dilegalkan oleh lembaga-lembaga patriarkal membuat perempuan mengikuti ideologi tentang ketidaksetaraan gender tersebut. Ahirnya, perempuan tidak hanya memunculkan perilaku inferior dalam hubungannya dengan pihak laki-laki, tetapi perempuan juga membentuk citra inferior dan mendorong diri sendiri kepada posisi subordinat dalam hubungannya dengan sesama perempuan (Sugihastuti, 2010: 122).

Hal yang ingin diungkap secara rinci dalam problem perlakuan laki-laki atas perempuan adalah perihal subordinasi dan dampaknya terhadap hubungan yang terbangun antara laki-laki dan perempuan atau antara perempuan dengan perempuan. Subordinasi dalam bentuk peremehan eksistensi perempuan merupakan salah satu manifestasi prasangka gender (Sugihastuti, 2010: 123). Terjadinya ketidakdilan yang bersumber dari pelbagai manifestasi tersebut bukan untuk dilanggengkan, melainkan untuk dikritik.

Banyak perempuan dan laki-laki yang menganggap perbedaan gender, baik itu mengenai peran, fungsi, dan status, sebagai sesuatu yang tidak lagi perlu dipersoalkan dengan alasan, bahwa semua itu merupakan kodrat yang terberi bagi masing-masing jenis kelamin. Anggapan-anggapan seperti inilah yang mengakibatkan ketidakadilan gender tetap langgeng dari masa ke masa.

Salah satu tokoh perempuan yang berupaya mendobrak ketidakadilan gender adalah novelis Mesir, Nawal el-Sadawi. Melalui novelnya yang berjudul Perempuan di Titik Nol (Women at Point Zero), Nawal el Sadawi mengkonstruksi kembali pemahaman gender yang selama ini diamini oleh mayoritas masyarakat. Selain itu, Nawal el-Sadawi juga memberikan kesadaran bahwa ada kesenjangan yang begitu jauh antara laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan ketidakadilan gender.

Perempuan di Titik Nol menceritakan kehidupan perempuan yang bernama Firdaus. Firdaus sadar bahwa kehidupannya selama ini tidak dibentuk oleh dirinya sendiri, melainkan dibentuk oleh masyarakat patriarki. Dalam masyarakat patriarki ini, Firdaus selalu saja menjadi objek dan, karena itu, ia pun kehilangan eksistensinya. Pada akhirnya, dengan kesadaran yang dimilikinya, Firdaus keluar dari konstruksi masyarakat dengan membentuk kehidupannya sendiri. Dengan kesadarannya ini pula, Firdaus kembali menjadi subjek yang utuh. Untuk menganalisis novel ini lebih jauh, penulis akan menggunakan gagasan feminisme-eksisitensialis Simone de Beauvoir.

Feminisme adalah gerakan yang ditujukan untuk menentukan, membangun, dan mempertahankan hak-hak, baik itu di bidang politik, ekonomi, dan sosial, yang sama bagi perempuan. Feminisme diawali oleh gagasan mengenai adanya ketimpangan posisi perempuan di masyarakat (Gafur, 2015: 155). Sementara itu, eksistensialisme sendiri adalah pemikiran filosofis yang berpusat pada persoalan eksistensi manusia, seperti hubungan antar individu dengan individu, hubungan individu dengan dunianya, dan bagaimana membatasi pilihan serta kondisi.

Jean Paul Sartre, salah satu tokoh paling menonjol dalam filsafat eksistensialisme, dalam bukunya Existentialism is a Humanism mendefinisikan eksistensialisme sebagai aliran, ajaran, dan pemahaman yang menempatkan eksistensi mendahului esensi (Sartre, 1996: 40).
Filsafat eksistensialisme yang digagas Sartre kemudian memberi inspirasi bagi Simone de Beauvoir dalam menggagas aliran feminisme eksistensialis, yang berkonsentrasi pada kesadaran perempuan akan ketertindasannya dan cara bagaimana perempuan membebaskan diri dari konstruksi identitas yang disematkan oleh budaya patriarki.

Beauvoir, dalam bukunya
The Second Sex, memberikan pernyataan kontroversial bahwa, perempuan tidak dilahirkan sebagai perempuan tetapi untuk menjadi perempuan. Pernyataan ini bermaksud menjelaskan adanya perbedaan besar yang terjadi dalam relasi laki-laki dan perempuan, di mana laki-laki disebut sebagai “sang diri” dan perempuan disebut “Other” atau “liyan” (Tong, 2009: 262). Dalam hal ini, jika sang liyan adalah ancaman bagi sang diri “laki-laki”, maka laki-laki harus mensubordinasi perempuan agar tetap bebas (Beauvoir, 2003: 42).

Beauvoir mengklaim adanya esensi feminin yang tidak bisa diubah. Seorang perempuan adalah produk budaya dari sebuah peradaban sehingga ia tidak bisa dengan bebas mengkonstruksi diri dan identitasnya. Hal ini juga menunjukkan bahwa budaya menjadikan perempuan tidak punya hak atas dirinya sendiri. Beauvoir menetapkan tesis ini dengan menganalisa tahap perkembangan perempuan sejak dari anak-anak. Kepercayaan yang berkembang tentang dominasi laki-laki sebagai subjek (Sang Diri) dan subordinasi perempuan sebagai objek (Liyan), dalam relasi keduanya, secara tidak langsung menciptakan banyak jenis perempuan.

Simone de Beauvoir, dalam bukunya The Second Sex, membagi perempuan dalam tiga jenis yang masing-masing memainkan perannya, yaitu pelacur, narsis, dan mistis. Berkaitan dengan pelacur, Beauvoir memiliki penjelasan yang cukup rumit. Di satu sisi pelacur adalah peran yang menjadikan perempuan sebagai Liyan yang terksploitasi; pelacur hanya dijadikan objek oleh subjek dengan mengeksploitasi ketubuhannya untuk kesenangan subjek. Namun, di sisi lain, pelacur merupakan subjek, sang Diri, yang mengeksploitasi laki-laki dengan pelayanannya. Dalam hal ini, perempuan menjadikan profesi pelacur bukan hanya sebagai sarana mencari uang, tetapi juga untuk penghargaan yang didapatkannya dari laki-laki sebagai bayaran atas keliyanannya.

Meski begitu, Beauvoir juga membagi pelacur dalam dua golongan, yaitu pelacur kelas rendahan yang menjadikan profesinya semata-mata untuk mendapatkan uang dan pelacur kelas atas (hetaria) yang menjadikan profesinya bukan hanya sebagai sarana mencari uang, tetapi juga untuk mendapatkan kekuasaan. Pelacur jenis kedua ini sangat menyadari potensi dalam dirinya dan menjadikannya sebagai senjata untuk membuat dirinya layak diperhatikan dunia. Laki-laki, dalam berhubungan dengan pelacur, mungkin beranggapan bahwa dirinya telah memiliki dan menguasai si perempuan. Namun. jika ditilik lebih lanjut, si perempuanlah yang menguasai laki-laki. Pelacur jenis hetaria membuat batas yang jelas antara diri mereka dengan dunia. Mereka tidak membuka dunia pada semua orang melainkan hanya pada orang-orang tertentu saja yang berhasil membuatnya layak diperhatikan. Perempuan jenis ini tidak jarang jatuh dalam kecintaan berlebihan pada diri sendiri dan membenci segala apa yang di luar dirinya. Inilah yang sering disebut dengan narsisime (Tong, 2009: 418).

Di antara jenis-jenis perempuan yang disebut Beauvoir, jenis mistis adalah yang paling problematik. Perempuan jenis ini secara sadar mengalienasi diri mereka sendiri dengan kepercayaan bahwa perempuan sempurna adalah mereka yang bisa memberikan segalanya untuk laki-laki, termasuk penghargaan, tubuh, dan seluruh hidupnya. Mereka adalah objek sempurna untuk subjek sempurna. Beauvoir dalam hal ini berpendapat bahwa perempuan mistis tidak bisa membedakan antara Tuhan dengan laki-laki. Dalam pandangan mereka, penghambaan yang sebenarnya adalah ketika perempuan bisa memberikan seluruh hidupnya untuk melindungi dan menyenangkan laki-laki.

Selain menawarkan konsep perempuan sebagai the other (Liyan) untuk membongkar kejahatan patriarki, Beauvoir juga menawarkan tiga strategi yang harus dilakukan perempuan untuk memajukan hidup dan menegaskan eksistensi dirinya sebagai makhluk yang punya kedudukan sama dengan laki-laki. Pertama, perempuan harus bekerja. Dengan bekerja perempuan akan memiliki kesempatan untuk mengembangkan dan merasakan dirinya sebagai subjek, bukan sebagai objek yang selalu diliputi penilaian-penilaian. Kedua, perempuan harus terpelajar. Aktivitas intelektual membawa perempuan pada kebebasan serta memberi perempuan bekal untuk menghadapi masyarakat patriarki yang cenderung meremehkan kemampuan perempuan. Ketiga, perempuan harus terlibat aktif dalam transformasi sosial. Tiga strategi tersebut dapat dijadikan alat untuk keluar dari Liyan. Perempuan sejatinya dilahirkan menjadi perempuan, bukan sebagai perempuan.

Deskripsi dan Analisis Novel Perempuan di Titik Nol
Firdaus adalah anak perempuan yang lahir dari keluarga petani miskin (el-Saadawi, 1995: 16-17). Masa kecil disibukkan untuk membantu ibunya; mengambil air, ke ladang, membuat adonan roti, serta membersihkan rumah dan kandang ternak. Dari beban kerja saperti itu, Firdaus hampir tak pernah mendapatkan penghargaan (material dan spiritual) dari ayahnya. Hanya sekali saja ia merasakan diberi uang oleh ayahnya. Selebihnya, ia selalu menjadi korban kekerasan fisik. Untuk urusan makan pun Firdaus tidak pernah meperolehnya secara layak. Hanya ayahnyalah yang dapat menikmati kebutuhan tersebut secara teratur. Sekalipun lahir dari keluarga miskin, Firdaus masih tetap dapat mengenyam pendidikan sekolah dasar hingga ke sekolah menengah berkat bantuan pamannya.

Pada masa kecilnya, Firdaus pernah mendapatkan pengalaman seksual dari teman mainnya, Muhammadain, dan juga dari pamannya sendiri. Namun, bagi Firdaus pengalaman itu bukanlah sesuatu yang menakutkan karena ia sendiri dapat merasakan kenikmatan darinya. Di sini tampak Saadawi ingin menunjukkan anakronisme antara ketaatan beragama dengan perlakuan amoral; seorang paman tega menyetubuhi keponakannya sendiri di tengah masyarakat yang memiliki ketaatan agama.

Ketaatan beribadah tak menjamin kehidupan pribadi yang bersih. Demikian juga dengan kekerasan budaya patriarki yang telah menjadikan Firdaus dan perempuan lainnya sengsara. Agama ternyata tak dapat membendung perlakuan laki-laki terhadap perempuan untuk menomorduakan dan menekannya. Memukul istri adalah hal biasa bagi seorang suami dan kedudukan ayah di dalam keluarga bak raja di sebuah kerajaan. Semua anggota, termasuk istrinya, harus patuh dan mengabdikan diri untuk kepentingan suami. Karena perilaku seperti itu telah menjadi tradisi, maka anak perempuan pun harus dibiasakan bersikap dan berbuat seperti itu. Pengertian dan ukuran egois atau kejam menjadi tidak berlaku di tangan laki-laki. Kepatuhan buta terhadap suami memang sering diterapkan dalam masyarakat patriarki, begitu pula di mesir. Bahkan, dalam masyarakat Mesir, merupakan hal yang lumrah bagi suami jika ia membiarkan anak dan istrinya kelaparan sementara dirinya sendiri dengan lahap menyantap makanan. Kultur masyarakat Mesir juga mengharuskan istri memanggil suaminya dengan panggilan ‘yang mulia dan memberi suami wewenang untuk memukul istrinya hingga berdarah jika si istri dianggap bersalah.

Perempuan di Titik Nol merupakan kisah yang diceritakan oleh perempuan dari sel penjaranya, tempat menunggu pelaksanaan hukuman mati, karena dia membunuh seorang laki-laki. Dia membunuh bukan karena dia ingin menjadi pembunuh, tetapi karena kebebasannya sebagai subjek atau manusia dibatasi oleh laki-laki yang dibunuhnya. Novel ini menggambarkan bagaimana budaya patriarki benar-benar telah mendehumanisasi perempuan. Hal ini sejalan dengan apa yang diutaraan oleh de Beavoir bahwa dalam budaya patriarki laki-laki menjadi subyek absolut. Laki-laki membentuk kehidupannya sendiri dan, sebaliknya, perempuan menjadi objek yang dibentuk oleh laki-laki. Perempuan tidak mendefinisikan dirinya sendiri, melainkan didefinisikan oleh kaum laki-laki. Inilah maksud dari pernyataan de Beauvoir bahwa perempuan tidak dilahirkan sebagai perempuan, tetapi untuk menjadi perempuan.

Lebih lanjut Perempuan di Titik Nol menceritakan, “Jika salah satu anak perempuannya mati, ayah akan menyantap makan malamnya, ibu akan membasuh kakinya, dan kemudian ia akan pergi tidur seperti yang ia lakukan setiap malam. Apabila yang mati itu seorang anak laki-laki, ia akan memukul ibu, kemudian makan malam dan merebahkan diri untuk tidur” (el-Saadawi, 1995: 26). Dari ungkapan tersebut tergambar jelas kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Lagi-lagi, kesenjangan tersebut tidak lain karena perempuan dianggap sebagai obyek yang tidak memiliki peran penting dalam kehidupan. Berbeda dengan perempuan, laki-laki selalu digambarkan sebagai subyek yang memiliki wewenang dalam kehidupan.

Ketika Firdaus menjalani profesinya sebagai seorang pelacur, ia mengatakan, “Saya tahu bahwa profesiku ini telah diciptakan oleh lelaki, dan bahwa lelaki menguasai dua dunia kita, yang di bumi ini, dan yang di alam baka” (el-Saadawi, 1995: 133). Melalui ungkapannya tersebut terlihat bahwa Firdaus menyadari sepenuhnya bahwa selama ini hidupnya ditentukan oleh hegemoni budaya patriarki. Kemudian Firdaus juga mengatakan, “Saya mengatakan bahwa kamu semua adalah penjahat, kamu semua; para bapak, paman, suami, germo, pengacara, dokter, wartawan, dan semua lelaki dari semua profesi.”

Laki-laki dikatakan penjahat karena Firdaus merasa kehilangan kebebasannya, kebebasan yang mestinya dimiliki dirampas oleh para laki-laki. Sejak kecil, Firdaus mengalami perlakuan kekerasan dari ayahnya. Ketika Firdaus menikah dengan laki-laki yang umurnya jauh lebih tua, dia juga diperlakukan dengan cara yang tidak manusiawi oleh suaminya. Berangkat dari kesewenang-wenangan kaum laki-lakilah kemudian Firdaus sadar bahwa dia telah kehilangan dirinya. Kesadaran itu membuat Firdaus ingin keluar dari obyek atau liyan dengan cara mengandalkan profesinya sebagai pelacur. Memang, menjadi seorang pelacur pada awalnya bukanlah sesuatu yang diinginkan oleh Firdaus. Namun, lambat laun, Firdaus menyadari bahwa menjadi seorang pelacur adalah pilihan alternatif untuk menkjadi subjek yang utuh. Dengan kata lain, hanya dengan menjadi pelacurlah Firdaus menemukan kembali kebebasan yang selama ini dirampas darinya oleh budaya patriarki.

Situasi Firdaus tidak ubahnya seperti pelacur hetaria yang digambarkan oleh Simone de Beauvoir dalam The Second Sex. Lebih lanjut Firdaus mengatakan, “Saya tahu sekarang bahwa kita semua adalah pelacur yang menjual diri dengan macam-macam harga, dan bahwa seorang pelacur yang mahal jauh lebih baik daripada pelacur yang murahan” (el-Saadawi, 1995: 111).

Kesadaran atas eksploitasi membuat firdaus berupaya meraih kembali kebebasannya. Firdaus melihat bahwa dunia pelacuran adalah dunia yang nir-eksploitasi; dalam dunia pelacuran, seorang pelacur bebas menentukan dengan siapa dia akan berhubungan. Dalam dunia pelacuran pula, pelacur berhak menentukan harga dari pelayanan yang ia berikan. Kemudian Firdaus melanjutkan, “Saya tidak minta apa-apa, kecuali mungkin satu hal. Untuk diamankan oleh cinta dari segalanya. Untuk menemukan diri saya kembali, untuk mengenal diri sendiri yang telah hilang. Untuk menjadi makhluk manusia yang tidak dilihat orang dengan caci-makian, atau dengan pandangan rendah, tetapi dihormati, dan disukai dan dijadikan merasa utuh” (el-Saadawi, 1995: 125). Ungkapan ini secara ekplisit menyampaikan bahwa, bagi Firdaus, kebebasan adalah hal yang paling berharga. Ia hanya menginginkan agar subjektivitasnya kembali setelah sekian lama dirampas. Firdaus benar-benar telah menjadi pelacur hetaria. Ia menjadikan pelacur sebagai profesi dan sarana pembebasan. Dalam profesinya ini, Firdaus bebas mematok harga sesuai kebutuhannya. Dalam pelacuran, laki-laki tidak bisa lagi mengeksploitasi dirinya sebagaimana yang pernah ia rasakan dalam institusi keluarga.

About Isfaroh

Alumni Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

View all posts by Isfaroh →

335 Comments on “Problem Eksistensi Perempuan dalam Novel “Perempuan di Titik Nol” Karya Nawal el-Sadawi”

  1. Hello!

    This post was created with XRumer 23 StrongAI.

    Good luck 🙂

  2. Hello.

    This post was created with XRumer 23 StrongAI.

    Good luck 🙂

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *