Perjumpaan Islam Ideologis dan Islam Kultural (Bagian 1)

Sebagaimana judulnya, buku ini melukiskan perkembangan Islam Indonesia modern dalam rumah besar Islam ideologis dan Islam kultural. Prof. Mediaa Zainul Bahri (setelah ini saya sebut Media saja, tanpa mengurangi hormat saya pada beliau) mengeksplorasi berbagai wacana Islam ideologis dan Islam kultural dengan puspa ragam tipologi turunannya yang kompleks dengan menggunakan data dan referensi paling mutakhir yang cukup kaya. Dimulai dari pengertian dan ruang lingkup Islam ideologis dan kultural, lalu Media menguraikan beragam tipologi dua ketegori besar tersebut secara luas dan detil.

Mulai dari tipologi pada NU sebagai tradisionalis, Islamis-konservatif, progresif, liberal, modernis, dan neo-modernis; pada Muhammadiyah yang merentang dari reformis-modernis-puritan hingga modernis-progresif-kosmopolitan; dan pada UIN dan IAIN dengan suatu tipologi yang melampaui tradisionalisme dan modernisme. Semuanya dipaparkan oleh Media secara terperinci dengan para tokoh-tokoh yang sesuai dua tipologi besar tersebut.

Meskipun demikian, Media dengan cukup hati-hati, mengingatkan para pembacanya bahwa beberapa tipologi tentang Islam ideologis dan Islam kultural sudah tidak tepat dan tidak relevan lagi. Sebab citra, label, dan tipologi adalah tiga hal menunjukkan konteks ruang-waktu dan semangat zaman (zeitgeist) saat itu dan model intelektual yang berkembang pada masa tipologi dan label itu dibuat.

Begitu pula hal yang harus diperhatikan dengan cermat adalah menghindari pelabelan yang cenderung pejoratif dan merendahkan. Mungkin penting untuk memunculkan istilah-istilah baru yang netral dan dapat diterima. Tipologi dan lebel itu juga harus disertai dengan klasifikasi yang ketat dan referensi yang objektif, bukan subjektif.

Pertanyaan besarnya adalah apakah faktor yang menyebabkan munculnya beragam tipologi tersebut? Media menurunkan empat faktor penyebab munculnya berbagai tipologi tentang Islam ideologis dan Islam kultural tersebut.

Pertama, respons atau reaksi terhadap konteks kultur dan sosiologis, seperti perubahan sosial, dan reaksi terhadap berbagai pemikiran dan ideologi yang berkembang di Barat, seperti sekularisme, komunisme, nasionalisme yang chauvinistik, ketidakadilan global, dan lain-lain. Kemunculan kaum pembaru yang modernis-reformis—baik di dunia Islam secara umum maupun Islam Indonesia—juga adalah reaksi terhadap, menurut mereka, umat Islam yang jumud, kolot, dan fatalistik. Respons ini, apakah bersifat intelektualistik-sistematis-strategis atau hanya pragmatis-taktis, sesungguhnya juga menunjukkan bentuk “fleksibilitas” atau “keluwesan” agama dalam bentuk penafsiran-penafsiran keagamaan—entah konservatif atau progresif—untuk tetap eksis dalam dunia yang sedang berubah.

Kedua, hal tak terpisahkan dan faktor pertama adalah bahwa agama-agama semitik, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, adalah agama yang agresif yang ingin “membuat sejarah” di atas panggung dunia. Tuhan agama Yahudi, Kristen, dan Islam adalah “Tuhan sejarah”, dan umatnya diperintahkan untuk mengelola bumi, “membuat sejarah” terus-menerus dengan cara mendorong perubahan-perubahan ke arah yang mereka anggap lebih relevan kontekstual, dan agamis.

Ketiga, faktor globalisasi dan paham keagamaan transnasional. Setelah kemerdekaan Indonesia, ide-ide modernisme Islam plus gagasan dan gerakan Islamis konservatif dan revivalis-puritan masih terus masuk secara langsung ke Indonesia dalam satu arah; dari Timur Tengah ke Indonesia, yang secara umum melalui gerbong jamaah haji dan mahasiswa Indonesia yang belajar di Timur Tengah. Selain Mesir dan negara Afrika lainnya, menurut Greg Fealy, Arab Saudi adalah negara yang sangat penting dalam mengirimkan ide-ide Islamisme konservatif yang tidak lagi dalam pengertian modernis reformis. Selain Universitas Islam Madinah, Universitas Ummul Quro Makkah, dan Universitas Al-Imam Muhammad bin Saud di Riyadh, Arab Saudi juga mendirikan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) di Jakarta pada 1980 sebagai cabang dari Universitas Muhammad bin Saud Riyadh. Tentu saja LIPIA adalah corong Wahhabi di Indonesia.

Setelah tumbang rezim Orde Baru 1998, segera banyak muncul partai politik dan ormas Islam, seperti FPI (1998), Forum Komunikasi Ahlusunnah Wal Jamm’ah (2000), Laskar Jihad (tahun 2000), Laskar Mujahidin Indonesia (tahun 2000), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (tahun 2000), dan lain-lain. Bersama-sama dengan PKS, ormas-ormas Islam itu mengampanyekan formalisasi syariat pada level negara, mendukung model NKRI Bersyariah, dan bahkan secara maksimal mendukung bentuk “Neo-Negara Islam.”

Kelompok-kelompok inilah yang disebut oleh Tim Peneliti PPIM (Pusat Penelitian Islam dan Masyarakat, 2004) UIN Jakarta sebagai “gerakan Salafi radikal”; M. Syafi’i Anwar menyebutnya sebagai “gerakan Salafi militan”; Haedar Nashir menyebutnya sebagai “Islam ideologis”, “Islam politik”, “Islam syariat”, dan “salafiyah ideologis”; Noorhaidi Hasan menyebutnya sebagai “Islamis-konservatif”, atau “Islam ideologis”, atau “Salafi Jihadis transnasional”, atau “Salafi kontemporer; Zuly Qodir menyebutnya sebagai “Wahhabi-Salafi” dan “Salaf Jihadis”; Rubaidi menyebutnya sebagai “konservatif-Islamis; dan lain-lain.

Istilah-istilah yang dibuat kaum akademisi tersebut, dalam beberapa hal, tidak bisa diterima oleh mereka yang tersinggung oleh istilah yang mereka anggap “pejoratif” dan “menghakimi.” Istilah dan tipologi tersebut seolah “meneror” dan membentuk “citra negatif” tentang mereka.

Menurut Media, dalam hal paham keislaman tentang pentingnya kembali “kepada Al-Qur’an dan Sunnah” keberatan dan ketersinggungan mereka dapat diterima dan dipahami. Tetapi, kategorisasi yang dibuat kaum akademisi tersebut, sesungguhnya lebih berfokus pada paham dan gerakan politik mereka, bukan semata teologis. Jadi, bagi para akademisi, tipologi itu menggambarkan paham keagamaan dan kegiatan politik sekaligus. Sayangnya, gerakan politik mereka berbenturan atau “tabrakan” dengan ideologi negara dan fakta pluralitas agama dan budaya masyarakat Indonesia.

Bagi kaum akademisi, para penganut tipologi itu sudah tidak lagi menghormati para pendiri bangsa yang sudah merumuskan secara sepakat tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, dan dianggap hendak “memusnahkan” kekayaan kebudayaan Indonesia yang sangat majemuk. Karena ini adalah problem teologi yang terkait erat dengan aktivitas politik, maka seiring dengan fakta kekalahan politik, minimnya dukungan masyarakat terhadap ide-ide teokrasi, dan berubahnya konstelasi politik, secara perlahan berubah pula sebagian pemahaman keagamaan dan politik mereka yang kelak menyebabkan perubahan kategorisasi dan tipologi.

Keempat, faktor internal. Kaum Nahdliyin, misalnya, membaca kitab-kitab kuning (klasik): tafsir, fiqh, dan tasawuf, lalu mereka menghubungkan bacaan itu dengan dunia sekitarnya. Begitu pula Muhammadiyah, Persis, atau akademisi UIN dan IAIN, mereka membaca al-Qur’an, hadits, dan khazanah keislaman, kemudian menghubungkan bacaan dan tafsir mereka dengan realitas dunia. Pembacaan dan penafsiran khazanah internal intelektual mereka—apakah konservatif atau progresif—juga turut melahirkan model-model pemahaman teologis-antropologis.
* * *

Secarag global, buku ini berisi delapan artikel dengan kajian yang beragam tentang wacana Islam ideologis dan Islam kultural. Seluruh wacana dalam buku ini berasal dari artikel ilmiah yang pernah di-publish dalam berbagai jurnal dalam negeri dan luar negeri. Karena itu, artikel-artikel yang ada dalam buku ini ditulis dengan cukup serius dengan durasi antara empat puluh sampai delapan puluh halaman. Apalagi Media menulis pengantar yang sangat komprehensif yang menjelaskan akar historis, berbagai tipologi, karakteristik, dan faktor-faktor yang menyebabkan munculnya beragam tipologi Islam ideologis dan Islam kultural. Jadi siapapun yang ingin mengetahui segala hal yang berhubungan dengan Islam ideologis dan Islam kultural dengan segala pernak-perniknya, kiranya perlu membaca buku ini.

PS: Resensi ini, akan saya bagi dalam tiga bagian. Ini bagian pertama, sebagai pengantar. Bagian kedua nanti, saya akan meringkas diskursus pluralisme teologi mendalam dan Islam mendalam Abraham J. Heschel dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Sedangkan bagian ketiga, mengenai wacana tentang peran intelektual Jaringan Islam liberal (JIL) dalam diskusi Islam Indonesia.

Sumber ilustrasi: divapress-online.com

About Zaprulkhan

Penulis

View all posts by Zaprulkhan →

42 Comments on “Perjumpaan Islam Ideologis dan Islam Kultural (Bagian 1)”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *