Perihal Postulat Akal Budi Praktis Murni

Salah satu proyek Kritik atas Akal Budi Praktis pada dasarnya ingin menjelaskan bahwa manusia, dengan nalarnya sendiri, mampu membuktikan keberadaan hukum moral tanpa harus meminjam doktrin-doktrin agama.

Metafisikawan Jerman, Christian Wolff, membagi metafisika pada dua bidang. Pertama adalah metafisika umum yang kemudian dikenal dengan sebutan ontologi. Kedua metafisika khusus yang terdiri dari tiga disiplin pengetahuan, yaitu psikologi, kosmologi, dan teologi. Pada hari ini, psikologi telah berkembang menjadi disiplin ilmu pengetahuan yang mandiri pun demikian dengan kosmologi yang berkembang menjadi fisika. Berbeda dengan nasib rekan-rekannya, teologi tidak mengalami kemajuan selangkah pun.

Dapatkah pengetahuan teoritis membuktikan keberadaan wujud yang Maha Tinggi seperti yang dicita-citakan oleh teologi atau, pertanyaan yang lebih umum, dapatkah pengetahuan teoritis mampu membuktikan keberadaan substansi-substansi? Inilah problem yang diajukan Kant di awal Kritik atas Akal Budi Murninya. Kant mengatakan bahwa nalar teoritis manusia selalu dituntut untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa ditolak, namun, pada saat yang sama, pertanyaan-pertanyaan tersebut juga tidak mampu dijawab karena berada di luar lingkup pengalaman.

Berbekal nalar teoritis, manusia hanya mampu mengkonsepsikan keberadaan wujud yang Maha Tinggi dan tidak sedikit pun mampu membuktikan realitasnya. Fakta bahwa kita memiliki gagasan tentang sesuatu tidak membuktikan bahwa sesuatu itu benar-benar ada dalam realita. “Seratus keping logam yang ada di dalam kepala saya tidak serta merta menjamin bahwa ia ada di kantong saya”, demikian Kant mengatakan.

Ketika Kant mendeklarasikan kegagalan nalar teoritis dalam membuktikan keberadaan wujud yang Maha Tinggi, ia tidak bermaksud membuang diskursus tentang Tuhan dari filsafat. Kant hanya menggeser diskursus tersebut dari yang semula berada dalam ranah teoritis ke ranah praktis. Menurut Kant, sangat perlu mengasumsikan keberadaan Tuhan agar manusia tetap setia dengan hukum moral. Tanpa mengasumsikan keberadaan Tuhan yang dapat menjamin kebahagiaan dalam kehidupan setelah kematian, pengalaman terhadap fakta banyaknya ketidakadilan di dunia, seperti penjahat yang selalu bernasib baik atau orang baik yang selalu bernasib buruk, akan cenderung membuat manusia meninggalkan hukum moral.

Tidak sedikit yang mengkritik pemikiran Kant ketika ia memasukkan kebahagiaan dalam doktrin moralnya. Beberapa komentator bahkan menyebut doktrin moral Kant sebagai “utilitarianisme yang samar”. Kant sepertinya telah mengantisipasi hal ini dengan berulang-ulang kali menegaskan bahwa hukum moral bukan soal bagaimana menjadikan diri anda bahagia, melainkan soal bagaimana menjadikan diri anda layak mendapatkan kebahagiaan sekalipun anda tidak benar-benar mendapatkannya.

Selain keberadaan Tuhan, adalah sangat penting juga untuk mengasumsikan imortalitas jiwa. Tanpa mengasumsikan imortalitas jiwa, kita tidak bisa membayangkan bagaimana kebaikan tertinggi (summum bonum) yang menjadi cita-cita hukum moral dapat dicapai. Lalu apa kebaikan tertinggi versi Kant? Dalam hal ini Kant lebih condong pada mazhab Stoa yang menjadikan kebajikan, alih-alih kebahagiaan, sebagai kebaikan tertinggi. Namun, Kant juga mengkritik gagasan mazhab Stoa yang mengklaim bahwa kabajikan sejati sepenuhnya dapat diraih dalam kehidupan duniawi. Kebajikan sejati, yaitu hilangnya distingsi antara apa yang selalu ingin saya lakukan dengan apa yang seharusnya saya lakukan, menurut Kant hanya dapat direalisasikan dalam kehidupan yang abadi.

Perlu untuk digarisbawahi bahwa keberadaan Tuhan dan imortalitas jiwa bukanlah syarat mutlak bagi keberadaan hukum moral. Dengan kata lain, tanpa mengasumsikan keduanya keberadaan hukum moral pun tetap dapat dibayangkan. Keduanya hanya sekedar postulat nalar praktis murni yang dapat menjamin komitmen seseorang pada hukum moral. Jika ada postulat yang keberadaannya sekaligus menjadi syarat mutlak bagi hukum moral, maka postulat tersebut adalah kebebasan.

Sama dengan dua postulat sebelumnya, kebebasan bukanlah sesuatu yang dapat dibuktikan keberadaanya oleh nalar teoritis. Oleh karena itu, ketika Kant berbicara tentang kebebasan itu bukan berarti ia mengklaim bahwa kebebasan benar-benar ada dan inhern dalam diri manusia, melainkan hanya sekedar asumsi yang harus diterima sebagai syarat dari keberadaan hukum moral. Kebebasan adalah penyebab atau dasar dari keberadaan hukum moral (ratio essendi). Di sisi lain, hukum moral merupakan sesuatu yang tanpanya kebebasan tidak dapat dipahami (ratio cognoscendi). Kebebasan dan hukum moral memiliki hubungan dialektis yang tidak dapat dipisahkan.

Salah satu proyek Kritik atas Akal Budi Praktis pada dasarnya ingin menjelaskan bahwa manusia, dengan nalarnya sendiri, mampu membuktikan keberadaan hukum moral tanpa harus meminjam doktrin-doktrin agama. Hal ini tentu membuat gusar orang-orang yang mengklaim tidak adanya kebaikan di luar agama seperti kegusaran Lampe, si pembantu Kant.

Penyair Jerman, Heinrich Heine, menceritakan bahwa suatu ketika Lampe merasa gusar ketika mengetahui tuannya menolak argumen teoritis tentang keberadaan Tuhan dan imortalitas jiwa. Untuk menghibur lelaki tua itu, Kant membuktikan melalui Kritik atas Akal Budi Praktisnya bahwa ia sendiri adalah orang baik tanpa harus berpegang pada argumen-argumen teoritis seperti itu.

Sumber ilustrasi: wallpaper better

Nb: Artikel ini telah diterbitkan sebelumnya di laman nalarpolitik.com

About Minrahadi Lubis

Pelajar Filsafat

View all posts by Minrahadi Lubis →

347 Comments on “Perihal Postulat Akal Budi Praktis Murni”

  1. Hello!

    This post was created with XRumer 23 StrongAI.

    Good luck 🙂

  2. Hello.

    This post was created with XRumer 23 StrongAI.

    Good luck 🙂

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *