Perihal Neo-Feodalisme

Sejarah dan wajah peradaban global saat ini mungkin akan sangat berbeda jika sekiranya tidak pernah terjadi gerakan revolusi yang meletus pada tahun 1789 di Perancis, sebuah gerakan yang dengan elegan menumpas feodalisme, sebuah isme — sebuah kepercayaan atau lebih tepatnya sebuah “tahayul” — yang dijunjung tinggi oleh kaum bangsawan yang membuatnya melenggang dengan tabiat gila hormat dan gila sembah hanya karena sejumput “nama gelar” dan atas nama “darah keturunan”.

Mereka para bangsawan pengukuh feodalisme itu merasa seakan dirinya adalah dewa yang melebihi manusia hanya karena mereka keturunan dari para raja. Tetapi fakta ironinya, kemewahan hidup dan gemerlap keserakahan kelas ningrat feodal itu pun ditopang hanya dari keringat demi keringat rakyat jelata — golongan yang dipandang rendah dan hina — yang dirampok sebagian besar penghasilannya atas nama pajak kerajaan.

Sungguh manusia modern yang mampu berpikir di abad 21 ini tentunya akan merasa “jijik” pada gaya hidup kaum feodal kerajaan yang kemampuan hebatnya hanya mengagung-agungkan gelar keningratan belaka untuk menjadi begal yang terhormat dan bergelar mulia, yang tidak pernah terbesit memunculkan rasa malu dan rasa terima kasih pada rakyat jelata yang menyokong kehidupannya dengan cuma-cuma.

Tetapi Revolusi Perancis yang sangat epik dan menjadi simbol “pencerahan peradaban” yang begitu berpengaruh ke seluruh penjuru dunia, serta yang menjadi ikon lahirnya negara-negara republik yang tidak mengistimewakan keturunan bangsawan — yang berakar pada sistem Republik Romawi — itu sudah 233 tahun berlalu, juga hari kemerdekaan Republik Indonesia yang merupakan bukti kemenangan telak terhadap kolonialisme Belanda dan feodalisme keraton/kesultanan juga sudah berlalu hampir 77 tahun, bahkan sayup-sayup perlawanan Siddhartha Gautama terhadap feodalisme peradaban Sindhu — sebuah peradaban India kuno yang diklaim tanpa cela — pun sudah berlalu lebih dari 2500 tahun yang lalu.

Lantas apakah kemudian tahayul feodalisme yang memuakkan dan menerbitkan ketidakadilan sosial itu sudah berhasil dibuat tumpas dan lenyap dari percaturan kehidupan kita saat ini? Ternyata tidak! Ia masih tetap eksis dan terus menitis dalam berbagai wajah dan bentuk.

Mungkin hari ini di Republik Indonesia sebuah gelar kebangsawanan ala keraton hanya tinggal seperti nama di Facebook yang bisa ditulis sesuka hati, tetapi toh jelas tidak akan mempunyai pengaruh politik atau sosial yang bisa seketika menerbitkan sungkem hormat dan tunduk sembah pada khalayak luas. Anda bisa saja menuliskan nama di Facebook anda dengan diberi imbuhan gelar Raden, Raden Mas, Ngabehi, dan sebagainya serta mengaku sebagai keturunan absah dari raja-raja masa silam, tetapi ya jangan dikira wibawa pribadi anda akan otomatis melejit naik membumbung ke angkasa — jika tidak disertai sepetak jasa kebaikan atau kecakapan terhadap suatu keilmuan.

Di abad 21 ini jasa kebaikan dan ilmu pengetahuan yang dapat dibuktikan secara riil yang akan lebih ditenggok manusia-manusia tercerahkan daripada klaim-klaim ilusif yang mengukuhi warisan pola pikir feodalistik.

Secara faktual gelar keningratan di mata Republik Indonesia ini sudah tidak lagi mempunyai tuah, meski begitu jangan dikira tahayul feodalisme warisan dari dunia lama itu sudah benar-benar tumpas, melainkan sekarang tahayul feodalisme itu malah menitis dalam bentuk wajah yang lain — sebuah wajah yang agak modern — yang bernama “gelar akademik”. Ya, gelar akademik yang konon katanya diperjuangkan dengan berdarah-darah — sebuah ungkapan hiperbolis — itu menjelma menjadi deretan gelar keningratan baru.

Maka janganlah heran, jika di masyarakat dalam sebuah negeri republik yang katanya sudah menumpas total kolonialisme dan feodalisme ini, ternyata masih banyak dijumpai juga titisan-titisan mental feodal lama dalam bentuk kebanggaan — atau kepameran — akan deretan gelar-gelar akademik, yang orang dengan memakainya seketika meluap-luapkan perasaan “lebih tinggi”, “lebih hebat”, “lebih intelek” daripada manusia-manusia yang di depan atau di belakang namanya tanpa dibubuhi imbuhan gelar dari dunia pendidikan.

Yah, benar-benar sebuah kenyataan yang miris, mereka yang katanya berpendidikan tinggi, terpelajar, berpengetahuan, tetapi malah terbukti belaka semakin bermental feodal, primitif pikir, dan norak. Apa gunanya pendidikan apa gunanya keterpelajaran jika malah membuat seseorang semakin kental terbelenggu oleh kabut bodoh “Neo-Feodalisme” (feodalisme baru) yang bertabiat diskriminatif dan tidak sanggup berbuat adil sejak dalam pikiran, yang hanya bisa congkak memandang remeh — pribadinya, argumen dan pendapat-pendapatnya — manusia-manusia lain yang tidak memiliki gelar akademik seperti dirinya.

Lantas jika begitu, apa bedanya kaum terpelajar dengan feodalisme bangsawan keraton pada masa silam yang memandang rakyatnya tidak setara dengan dirinya, yang harus ngesot merangkak seperti cacing dan berbahasa sehalus dewa jika ingin berkomunikasi dengan dirinya?

Ah ya, mungkin para kalangan yang konon terpelajar itu belum sempat belajar tentang “rasa malu” pada sosok-sosok intelektual besar yang nihil gelar akademik — di luar gelar kehormatan — seperti Pramoedya Ananta Toer dan Gus Dur.
Dua musuh besar Soeharto a.k.a “Bapak Jagal Indonesia” ini bukan sarjana lulusan kampus, tidak pernah tergabung dalam organisasi pergerakan mahasiswa seperti GMNI, HMI, IMM, dan PMII, meski demikian siapakah orang terpelajar yang meragukan ketinggian intelektualitas dan mutu karya-karya intelektual mereka berdua? Bahkan seakan-akan nama mereka berdua yang menjadi alamat rujukan bagi para sarjana dan peneliti luar negeri untuk mengenali Ke-Indonesiaan dan Ke-Islaman di Republik Indonesia ini.

Buku-buku karya Bung Pram diterjemahkan dalam 45 bahasa asing dan pemikiran-pemikiran Gus Dur pun dibedah dan dipelajari oleh cendekiawan asing.

Mereka yang suka memajang gelar akademiknya dalam undangan pernikahan atau yang gemar memandang receh dan menghina calon menantu yang tidak memiliki gelar akademik, sudahkah kualitas otak dan karya intelektual anda sehebat — atau bahkan lebih hebat — dari Bung Pram dan Gus Dur, manusia-manusia yang tidak pernah diwisuda oleh suatu kampus itu?

Sungguh suatu kecermelangan dan kegemilangan intelektual itu sejatinya tidak mutlak lahir dari monopoli deretan bangku-bangku dan kotak-kotak papan tulis sebuah institusi formal yang mana bisa menerbitkan kertas ijazah.

Di desa kecil di seberang Fort de Kock Sumatera Barat pada akhir tahun 1884 pernah terlahir seorang perempuan hebat yang tidak pernah dilahirkan dari rahim institusi sekolah formal, meski begitu dia adalah “pembelajar otodidak sejati” yang gigih belajar berbagai hal yang lalu membuatnya tumbuh menjadi pribadi terpelajar yang begitu mengagumkan, yang bahkan mampu menjadi guru pengajar di beberapa sekolahan, mampu menjadi inisiator beberapa usaha industri kreatif untuk pemberdayaan perempuan Minang, bahkan menjadi jurnalis dan pelopor koran pertama perempuan yang tulisan penanya begitu tajam dalam menikam kolonialisme, feodalisme, dan patriarkis tengik yang suka menindas dan menista perempuan dengan dalil-dalil agama.

Perempuan luar biasa itu bernama Rohana Kudus, dan sungguh akan lebih hebat sepuluh kali jika dibandingkan dengan perempuan muda cerdas dari Jepara yang banyak dielu-elukan, tetapi yang akhirnya hanya takluk menjadi korban poligami tengik dari seorang priyayi feodal dan pegawai pemerintahan kolonial.

Membaca keterpelajaran otodidak dari Rohana Kudus, membaca kejeniusan alami dari Pramoedya Ananta Toer dan Gus Dur, saya kira semua itu adalah kiat-kiat jitu dalam menumpas neo-feodalisme tengik yang dengan mudahnya diidap para pemberhala pendidikan formal atau mereka yang bermental elitis priyayi di negeri ini.

Sumber ilustrasi: Study Breaks Magazine

About Alvian Fachrurrozi

Pemuda Marhaenis

View all posts by Alvian Fachrurrozi →

1,614 Comments on “Perihal Neo-Feodalisme”

  1. Hello!

    This post was created with XRumer 23 StrongAI.

    Good luck 🙂

  2. Hello.

    This post was created with XRumer 23 StrongAI.

    Good luck 🙂