Perihal Kebosanan

Apa tujuan semua pendidikan tinggi? Mengubah manusia menjadi mesin. Untuk apa? Agar mereka belajar bagaimana merasa bosan“.

(Nietzsche)

Film Symbol 2009 yang disutradarai sekaligus diperankan oleh Hitoshi Matsumoto adalah salah satu film dengan plot yang, menurut saya, cukup ganjil. Scene pertama memperlihatkan seorang pria yang terbangun dari tidurnya sembari mendapati dirinya berada dalam sebuah ruangan yang aneh. Dari gelagatnya, dapat dipahami bahwa si pria tidak pernah berada di tempat itu sebelumnya. Sepertinya ia juga tidak memahami sejak kapan dan mengapa ia ada di sana. Singkatnya, ruangan itu benar-benar asing baginya. Karena keberadaannya di sana bukanlah peristiwa yang ia inginkan, maka pria tersebut merasa bosan. Kebosanan inilah yang mendorongnya untuk keluar dari ruangan yang aneh itu dengan berbagai macam cara.

Sebagaimana penonton pada umumnya, siapa pun yang menyaksikan film ini cenderung akan melakukan identifikasi psikologis dengan apa yang dialami oleh si pria. Orang akan bertanya, “Apa jadinya jika saya mengalami apa yang dialami oleh si pria dalam film itu?” atau, “Apa jadinya jika saya adalah pria itu?”. Pertanyaan seperti ini hanya akan bermakna jika kita mengandaikan bahwa kita tidak pernah mengalami hal yang serupa dengan apa yang di alami si pria dalam film.

Celakanya, kita harus puas dengan fakta bahwa kita semua adalah pria itu di alam nyata; kita begitu saja ada dunia tanpa sedikit pun mengetahui alasan dari keberadaan kita. Anggaplah doktrin penciptaan yang dibawa oleh agama-agama itu benar, namun tidak satu pun dari kita yang mengetahui kapan dan bagaimana proses penciptaan itu terjadi. Itulah mengapa, pada dasarnya, manusia mendapati keberadaannya di dunia sebagai peristiwa yang arbitrer. Ia ada begitu saja tanpa melibatkan keinginannya.

Karena dunia adalah tempat di mana manusia tidak pernah benar-benar menginginkan agar dirinya berada di sana, maka kesehariannya selalu dirundung kebosanan. Seperti pria dalam film, manusia juga berhasrat meninggalkan dunia untuk mengatasi kebosanannya. Mengutip Jean-Bernard Abbe Le Blanc, Immanuel Kant dalam antropologinya mengatakan bahwa orang-orang kaya di Inggris, karena mereka telah menikmati segalanya, menggantung diri mereka sendiri untuk mengatasi kebosanan (Kant, 2006: 129).

Itu artinya, hasrat bunuh diri memiliki hubungan yang erat dengan kebosanan. Namun, apakah bunuh diri adalah satu-satunya untuk mengatasi kebosanan? Bunuh diri bukanlah satu-satunya cara. Bisa dibilang ia adalah cara yang paling efektif.

Dalam antropologinya, Kant juga menjelaskan bahwa kebosanan berhubungan dengan kemewaktuan manusia. Mereka yang dihampiri kebosanan akan merasakan watu bergulir begitu lama (Kant, 2006: 129). Hal seperti ini sering kita alami ketika kita sedang menanti kehadiran sesuatu. Kebosanan pun akan terasa semakin dalam ketika sesuatu yang dinanti ternyata adalah Godot yang tidak jelas kapan kehadirannya. Tentu bukan hal yang kebetulan jika istilah Jerman untuk kata “bosan” adalah “Langeweile” yang berarti “lama” (Inwood, 1999: 17).

Pertanyaannya kemudian adalah, apa yang harus dilakukan untuk mengatasi kebosanan selain dengan cara bunuh diri? Kebanyakan filsuf menyarankan untuk melakukan aktifitas yang disenangi, entah itu untuk mengatasi kebosanan akibat ketiadaan aktivitas (pure boredom) maupun untuk mengatasi kebosanan akibat aktivitas tertentu.

Tentu saja, pada akhirnya aktivitas yang pada mulanya disenangi lambat laun menjadi tidak disenangi. Anggaplah anda menyenangi buku dan anda pun membacanya. Namun, pada akhirnya anda membutuhkan aktivitas lain untuk mengatasi kebosanan akibat membaca buku, dan demikian seterusnya.

Peralihan dari satu aktivitas tertentu ke aktivitas yang lain inilah yang sulit untuk dilakukan oleh manusia modern, di mana hampir segala aktivitas telah terlembaga dan terspesialisasi. Tidak ada kata-kata yang lebih baik untuk menggambarkan kondisi ini selain dari apa yang disampaikan Karl Marx dalam The German Ideology, “Stiap orang memiliki aktivitas ekslusif yang dipaksakan kepadanya. Dia adalah seorang pemburu, nelayan, pengembala, kritikus, dan harus tetap demikian jika ia tidak ingin kehilangan sarana penghidupan” (Marx, 1974: 54). Itu artinya, aktivitas manusia lebih dimotivasi oleh keinginan bertahan hidup ketimbang merealisasikan kesenangan.

Aktivitas yang demikian, alih-alih mengatasi kebosanan, justru menceburkan manusia dalam kubang kebosanan yang berkepanjangan. Selanjutnya, Marx juga mengatakan, “Masyarakat komunis memungkinkan saya melakukan satu hal hari ini dan hal lainnya di esok hari; berburu di pagi hari, memancing di sore hari, beternak sapi di malam hari, dan mengkritik setelah makan malam, tanpa harus menjadi pemburu, nelayan, peternak, dan kritikus” (Marx, 1974: 54). Inilah kehidupan menyenangkan versi Marx yang sering dipandang sinis oleh kaum ultra kapitalis.

Perlu dipahami bahwa kebosanan bukanlah gejala khas manusia modern. Kebosanan akan selalu menghampiri manusia dari generasi ke generasi. Namun, dengan aktivitas yang terspesialisasi, kebosanan tentu lebih intens menghampiri kehidupan manusia modern. Sekalipun kebosanan dapat berujung pada praktik bunuh diri, namun ia juga dapat berujung pada kreativitas. Orang berhak memilih salah satu di antara keduanya. Ini bukan soal mana yang lebih baik, melainkan mana yang lebih anda suka.

Sumber Ilustrasi: Pinterest.com

About Minrahadi Lubis

Pelajar Filsafat

View all posts by Minrahadi Lubis →

300 Comments on “Perihal Kebosanan”

  1. Hello.

    This post was created with XRumer 23 StrongAI.

    Good luck 🙂

  2. Hello!

    This post was created with XRumer 23 StrongAI.

    Good luck 🙂

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *