Perihal Hukuman Mati

Hukuman mati tetaplah pembunuhan, yang pada dasarnya jahat.

“Alasan mengapa manusia mampu menjalani hari-harinya dengan begitu nyaman adalah karena mereka tidak pernah tau kapan dan bagaimana mereka akan mati. Kenyamanan ini akan hilang begitu saja dari diri si terpidana mati sejak negara memberitahu kapan dan bagaimana ia akan dieksekusi.”

Hukuman mati, sekalipun benar-benar legal, apakah kemudian ia juga dapat dianggap sebagai tindakan moral? Artinya, apakah legalitas dari hukuman mati merupakan syarat agar hukuman seperti itu dapat dianggap bermoral? Selain menuntut jawaban, pertanyaan ini juga akan menggiring kita pada persoalan yang paling mendasar; apakah segala perintah dan larangan hukum negara pada saat yang sama juga merupakan perintah dan larangan hukum moral? Jika jawabannya positif, maka mengganggap hukum negara dan hukum moral sebagai dua hal yang berdiri sendiri akan menjadi tidak relevan, sama tidak relevannya dengan mempersoalkan apakah hukuman mati itu benar-benar bermoral dalam sebuah negara yang jelas-jelas melegalkannya. Sementara jika jawabannya negatif, bagaimana keduanya dapat dibedakan?

Filsuf kontemporer yang merasa terganggu dengan persoalan-persoalan di atas adalah Herbert Lionel Adholpus Hart (1907-1992), dan untuk mengatasinya, Hart pun berupaya membuat distingsi antara hukum negara dan hukum moral. Menurutnya, hukum negara tidak lebih dari sekedar hukum mengenai “apa yang berlaku”, sedangkan hukum moral adalah hukum mengenai “apa yang seharusnya berlaku”. Mengidentikkan keduanya tentu akan membawa kita pada kesimpulan yang begitu sulit untuk diterima, di mana serepresif dan sedestruktif apapun hukum negara akan dipandang baik secara moral. Padahal bukan tidak mungkin jika perintah dan larangan hukum negara harus berbenturan dengan perintah dan larangan hukum moral. Sebagai contoh, hukum yang memerintahkan pembunuhan orang-orang Yahudi Jerman ketika Nazi berkuasa tetap dianggap sebagai “apa yang berlaku” sampai hukum tersebut dihapuskan; kita tidak bisa mengatakan apa yang dipraktekkan Nazi tersebut bukan lagi hukum, apa yang bisa kita katakan hanyalah bahwa hukum itu buruk secara moral.

Bebeda dengan Hart, Lon Lovouis Fuller (1902-1978) berpendapat bahwa hukum negara tidak bisa begitu saja dibedakan dengan hukum moral. Menjadikan hukum negara sebagai data yang hanya mengarahkan dirinya untuk dikenali akan berujung pada pengesahan hukum sekalipun jahat. Apa yang ingin disampaikan Fuller adalah, hukum negara akan sah dianggap hukum hanya ketika ia sejalan dengan hukum moral. Itulah mengapa hukum yang dipraktekan Nazi bukan hanya buruk, melainkan juga tidak pantas disebut hukum; hukum tersebut immoral, karena itu ia pun ilegal.

Pada dasarnya pandangan Hart dan Fuller tidak bisa dianggap sebagai dua hal yang dikotomis. Hart berangkat dari “apa yang senyatanya”, sementara Fuller berangkat dari “apa yang seharusnya”. Hart memang keliru ketika ia mengatakan bahwa hukum negara hanyalah hukum mengenai “apa yang berlaku” karena, walau bagaimanapun, hukum negara tidaklah identik dengan hukum alam yang telah ada jauh sebelum manusia itu sendiri ada.  Hukum negara adalah hukum yang diupayakan manusia, dan karena itu ia juga merupakan hukum mengenai “apa yang seharusnya”. Namun, apa yang seharusnya berlaku bagi manusia sejauh manusia itu warga negara tentu berbeda dengan apa yang seharusnya berlaku bagi manusia sejauh manusia itu manusia. Yang pertama berada dalam koridor hukum negara, sedangkan yang kedua berada dalam koridor hukum moral.

Jika memang hukum negara tidak identik dengan hukum moral, kemudian bagaimana hukuman mati dapat dibenarkan secara bermoral? Setidaknya ada dua pandangan moral atas hukuman yang menjadi senjata kalangan retensionis untuk membenarkan hukuman mati, yaitu Hukuman sebagai Pencegahan (prevention) dan Hukuman sebagai Pembalasan (retribution). Penulis sengaja tidak memasukkan Hukuman sebagai Perbaikan (treatment) dengan alasan pandangan ini tidak akan pernah dapat membenarkan hukuman mati; menghukum mati seseorang dengan maksud memperbaikinya merupakan dua hal yang kontradiksi.

Hukuman sebagai Pencegahan, sesuai dengan namanya, megajarkan bahwa hukuman hanya dapat dibenarkan secara moral sejauh itu bertujuan untuk mencegah atau paling tidak meminimalisir tindak kejahatan. Dengan diminimalisirnya tindak kejahatan pembela pandangan ini, seperti Cesare Beccaria (1738-1794) dan Jeremy Bentham (1748-1832), berharap agar kesejahteraan umum pun tercapai. Selama itu demi kesejahteraan umum, tentu menghukum mati seseorang dapat dibenarkan, bahkan tanpa terlebih dahulu mempersoalkan apakah si-terhukum benar-benar layak atas hukuman yang diterimanya. Sebaliknya pun berlaku; jika menghukum mati seseorang justru melahirkan gejolak dalam masyarakat yang mengakibatkan terancamnya ketertiban umum, maka untuk orang seperti itu hukuman mati akan menjadi suatu kekeliruan. Dapat dipastikan, dalam justifikasi seperti ini tidak akan ditemukan apa yang disebut dengan keadilan.

Bertolak belakang secara prinsipil dengan pandangan di atas, Hukuman sebagai Pembalasan mengajarkan, sejauh itu demi keadilan, hukuman dapat dibenarkan tanpa harus menimbang manfaat yang dihasilkan darinya. Orang yang paling gigih membela pandangan ini adalah Immanuel Kant (1724-1804) di mana ia mengatakan, “Jika kau mengutuk orang lain, berarti kau mengutuk dirimu sendiri, jika kau mencuri milik orang lain, berarti kau mencuri milikmu sendiri, jika kau menampar orang lain, berarti kau menampar dirimu sendiri”. kemudian Kant melanjutkan, “Inilah prinsip dari hukuman yang adil”. Tidak dapat tidak, dibenarkannya hukuman mati akan menjadi konsekuensi logis, karena tidak ada hukuman yang dapat dianggap adil bagi seorang pembunuh selain bahwa ia pun harus dibunuh. Kekeliruan yang cukup fatal para pembela pandangan ini adalah, bahwa mereka mengidentikkan keadilan retributif dengan kebajikan (moralitas) yang pada dasarnya tidaklah identik. Selain tidak identik, keadilan yang demikian juga bukanlah bagian dari kebajikan itu sendiri. Tentu adil-lah membalas kejahatan denan kadar yang sama, namun yang demikian tidak pantas disebut kebajikan. Itulah mengapa pandangan ini pada akhirnya terjebak pada lingkaran setan, padahal fakta bahwa tindakan seseorang jahat, seharusnya menjadi alasan bagi kita untuk tidak memperlakukannya dengan cara yang sama. “Mata dibalas mata hanya melahirkan kebutaan”, demikian Gandhi mengatakan.

Sekalipun betolak belakang secara prinsil, dua pandangan yang telah diuraikan tidaklah membawa perbedaan dalam realita, karena hukuman mati tetaplah pembunuhan, yang pada dasarnya jahat, entah itu dilakukan untuk kesejahteraan umum maupun atas nama keadilan.

Kalangan retensionis kita bisa saja mengatakan bahwa tindak kejahatan pembunuhan harus dibedakan dengan hukuman mati. Tidak ada yang mengingkari hal itu. Sementara yang pertama merupakan pembunuhan atas individu oleh individu, sedangkan yang kedua pembunuhan atas individu oleh institusi. Sementara yang pertama bersifat ilegal, sedangkan yang kedua dilegalkan.

Selanjutnya, jika sudah jelas hukuman mati itu immoral dan legal pada saat yang sama, mana yang harus diutamakan; hukum yang seharusnya berlaku bagi warga negara atau hukum yang seharusnya berlaku bagi manusia sejauh manusia itu manusia? Jawaban Erich Fromm, bahwa hukum kemanusiaan-lah yang harus didahulukan merupakan jawaban yang tepat, dan itu artinya, kita memiliki kewajiban moral untuk menentang hukum negara selama hukum tersebut cenderung ke arah dehumanisasi. Setiap orang, dengan kebebasan yang dimilikinya, bisa saja mengutamakan hukum negara karena dengan begitu ia akan menjadi warga negara yang baik. Namun, dalam konteks ini, menjadi warga negara yang baik justru membuat orang menjadi pribadi yang buruk; Adolf Hitler, dengan segala yang ia berikan pada Jerman, mungkin adalah warga negara yang baik, namun ia adalah contoh paling baik dari pribadi yang buruk.

About Minrahadi Lubis

Pelajar Filsafat

View all posts by Minrahadi Lubis →

41 Comments on “Perihal Hukuman Mati”

  1. Thank you for your sharing. I am worried that I lack creative ideas. It is your article that makes me full of hope. Thank you. But, I have a question, can you help me?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *