Pak Kiai dan Petani II

Para petani langsung bersorak. Pak Kiai pun berdiri bersama Wignya, Aini, dan seluruh petani, mengangkat kepalan tangan kanan ke udara sambil berteriak: “Hidup kaum tertindas! Hidup keadilan! Revolusi!”

….Pak Kiai yang sejak tadi mengamati dari balik semak-semak, mulai merasa seluruh dogma-dogma lamanya terancam ambruk. Dia mencoba menahan diri, bergumam pelan, “Aduh, Wignya sama Aini ini kok, ya, ngomongnya sampai masuk ke hati begini. Apakah mungkin… benar mereka? Apa saya yang keliru selama ini?”

Tepat saat itu, Wignya melihatnya, melambaikan tangan, dan berkata lantang, “Eh, Pak Kiai! Sini gabung, daripada ngintip di balik semak kayak pencuri malam.”

Kerumunan petani langsung tertawa, dan Pak Kiai terpaksa maju dengan kikuk, sedikit merapikan jenggotnya yang mulai kusut. Dengan suara pelan dia berkata, “Ah, ini cuma… pengawasan moral, Mas Wignya. Memastikan diskusi berjalan dengan tenang… tidak melanggar nilai-nilai agama, gitu.”

Aini tersenyum dan mendekat. “Pak Kiai, kita justru sedang bicara masalah keadilan sosial, hak-hak manusia. Apakah itu bukan bagian dari agama juga? Mengapa yang kaya bebas menindas yang miskin, sedangkan kita dilarang melawan?”

Pak Kiai tersentak. Dia terdiam, seolah lidahnya terjerat. Dalam pikirannya berkecamuk, “Benar juga, ya? Keadilan itu kan inti dari agama. Tapi, selama ini saya selalu membela pihak yang mempunyai kekuasaan demi mendapat sponsor (segepok uang bergambar Sukarno-Hatta), sedangkan kaum tertindas dan rakyat jelata hanya saya nasihati supaya ‘sabar’.”

Melihat kebingungan di wajah Pak Kiai, Wignya menyambung, “Pak Kiai, kalau memang keadilan adalah ajaran agama, bukankah tugas kita bersama untuk menciptakan masyarakat yang adil? Bukan, justru, menjadikan agama tameng bagi keserakahan kelas kapitalis.”

Pak Kiai mulai tergoyahkan. Jenggotnya dielus semakin pelan, lalu dia berseru tiba-tiba, “Kalau begitu, apakah saya juga harus menjadi bagian dari perlawanan ini?”

Aini dan Wignya tertawa. “Pak Kiai, agama itu bukan sekadar kumpulan fatwa yang tidak berdampak pada kehidupan nyata! Justru, ajaran agama yang paling sejati adalah yang berpihak kepada kaum tertindas. Jadi, ayo Pak Kiai, kalau ingin jadi pembela rakyat, mari bergabung di barisan perlawanan!”

Pak Kiai perlahan mengangguk, lalu dengan suara bergetar dia berkata, “Masyaallah, kalian benar. Selama ini saya keliru. Jika agama yang saya yakini memihak kepada kaum lemah, maka saya harus bersama kalian.”

Para petani langsung bersorak. Pak Kiai pun berdiri bersama Wignya, Aini, dan seluruh petani, mengangkat kepalan tangan kanan ke udara sambil berteriak: “Hidup kaum tertindas! Hidup keadilan! Revolusi!”

“Pak Kiai kepalan tangan kiri, bukan tangan kanan,” celetuk Aini Farikhah.

Pak Kiai pun mengatakan saya pernah ingin mengatakan kepada kalian, “Lihatlah dimana posisi kalian? Kalian melawan agama kalian sendiri, berjalan tanpa fatwa agama!” Namun, semua perkataan itu kini saya negasikan!

Aini menambahkan, “Pak Kiai, apakah anda pernah memikirkan bagaimana kita beribadah dibawah penindasan? Bagaimana kaum buruh bisa sholat dengan tenang jika mereka terus dikejar target dan jam kerja tak manusiawi? Bagaimana kaum tani bisa berdzikir khusyuk sedang anak mereka meraung kelaparan? Anda keliru! Justru Kamilah yang memperjuangkan nilai-nilai agama! Kalian membuat fatwa yang jauh membumbung di langit, dan Kamilah yang akan membuat hukum itu membumi!”

“Nah, rentetan kata-kata revolusioner hamba Allah, Aini, inilah yang menyadarkan saya,” seru Pak Kiai sambil mengepalkan tangan kirinya, bukan tangan kanannya lagi.

Sejak hari itu, Pak Kiai resmi menjadi bagian dari perlawanan, dan akhirnya dikenal sebagai Kiai Marxis, seorang kiai yang tidak hanya bicara masalah agama, tetapi juga berjuang demi keadilan rakyat, memimpin kaum tani dan buruh untuk merebut kehidupan yang layak dan merdeka. Dia bahkan belajar memasak telur ceplok bersama Pak Sobirin.

Dengan semangat yang baru, Pak Kiai, yang kini menjuluki dirinya “Kiai Marxis,” mulai merencanakan kampanye besar-besaran. Tujuannya jelas: menyadarkan para kiai lain yang selama ini terlena dengan fatwa dan khotbah di atas mimbar, bahwa agama bukan hanya soal khotbah manis atau lembaran ceramah yang menguap di udara, melainkan juga perjuangan nyata bersama kaum tertindas!

MISI RAHASIA DI PESANTREN AL-FATWAWI

Langkah pertama: menyusup ke Pesantren Al-Fatwawi, markas para kiai terpandang yang terkenal dengan khotbah-khotbahnya yang penuh kata-kata mutiara dan fatwa mengkilap.

Tepat pada suatu malam saat para kiai sedang sibuk membahas kitab kuning dengan secangkir kopi Arab, Pak Kiai beraksi. Dia berdiri di tengah ruangan, mengeluarkan buku Manifesto Partai Komunis yang ditutup sampul kitab kuning, lalu berkata lantang, “Para kiai, kitab ini mengajarkan bahwa kaum yang paling beriman adalah kaum yang berjuang untuk membebaskan sesamanya!”

Kiai Tohir yang berdampingan dengan kiai lainnya melongok penasaran. “Astaghfirullah, kitab apa itu, Kiai Marxis? Kok tidak pernah saya dengar di Madinah?”

“Ini,” kata Kiai Marxis sambil mengangkat kitabnya dengan dramatis, “kitab yang mengajarkan perjuangan hakiki! Bukan hanya berbicara masalah doa dan zakat, tetapi bagaimana membebaskan kaum lemah dari tirani orang-orang kaya.”

Salah satu kiai yang lain, Kiai Muslih, mulai mendekat dan memeriksa kitab tersebut. “Ini tulisan siapa, Kiai Marxis? Apa ada tanda tangan syekh besar?”

“Lebih dari sekadar syekh!” Kiai Marxis tersenyum lebar. “Penulisnya adalah… Karl Marx, seorang pejuang sejati! Beliau tidak pernah ke Madinah, tetapi pikirannya sampai ke mana-mana, bahkan ke kampung-kampung kecil! Coba, kiai-kiai yang terhormat, bukankah kita semua diwajibkan beramar makruf nahi munkar?”

Para kiai terdiam, kebingungan antara kagum dan heran.

MEMBAWA MARX KE PONDOK PESANTREN

Untuk menyempurnakan misinya, Pak Kiai mengundang Wignya dan Aini datang ke pesantren untuk memberikan “kuliah umum” yang, tentu saja, diberi judul “Keutamaan Amar Makruf dalam Mewujudkan Masyarakat Tanpa Kelas.”

Wignya Cahyana, dengan jaketnya yang lusuh dan palu-arit yang semakin memudar, berdiri di hadapan para kiai dengan tenang. “Bapak-bapak Kiai yang saya hormati, bukankah amar makruf itu artinya memerintahkan kebaikan dan nahi munkar itu mencegah keburukan? Kalau begitu, bukankah ketimpangan ekonomi dan kemiskinan adalah keburukan terbesar?”

Para kiai mulai mengangguk-angguk. Namun, Kiai Sahal, yang terkenal sebagai ahli tafsir, tiba-tiba berbisik, “Kalau begitu, apakah kapitalisme itu munkar?”

“Ya, Kiai!” jawab Aini dengan suara lantang, “Kapitalisme adalah sistem yang membuat yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin melarat! Bukankah kita semua tahu bahwa Rasulullah adalah pedagang, tetapi bukan pedagang yang menindas kaum lemah? Rasul pun pernah berkata, “Berikan upah buruh sebelum keringatnya mengering.” Maka, kalau kita mau mengikuti teladan Rasul, kita harus menghapus penindasan!”

Para kiai langsung terdiam, terharu, seolah-olah baru saja dibisiki malaikat Jibril. Mereka mulai bertukar pandangan, bahkan beberapa dari mereka mulai mengangkat tangan seperti mau bertanya. Tetapi Kiai Marxis segera menambahkan, “Saudara-saudaraku para kiai, mulai hari ini, mari kita bawa ajaran agama kita ke tingkat yang lebih revolusioner! Kita bukan sekadar imam, tetapi panglima bagi kaum miskin!”

Sontak para kiai berseru takbir, “Allahu Akbar!” tetapi kali ini dengan semangat yang berbeda. Ada api perjuangan yang berkobar dalam dada mereka. Salah satu kiai, dengan sangat mantap, bertanya, “Jadi, mulai hari ini kita harus menyampaikan khutbah tentang pentingnya menegakkan masyarakat tanpa kelas?”

“Betul sekali!” jawab Kiai Marxis, Toto Muryanto, yang kini mengubah namanya menjadi Toto Marx-yanto, sambil mengacungkan tangannya. “… dan kalau ada yang bertanya siapa sumbernya, katakan saja ‘seorang syekh bernama Karl Mohammad Marx dari negeri jauh, yang sangat mencintai kaum tertindas’.”

KISAH KHOTBAH DI HARI JUMAT

Hari Jumat berikutnya, seluruh kiai yang sudah “tercerahkan” berkhotbah dengan gaya yang lebih berani. Di setiap masjid terdengar khotbah yang berbeda dari biasanya.

“Saudara-saudara sekalian, di dunia ini ada dua macam manusia: yang kaya dan yang miskin. Lalu, kenapa yang miskin semakin melarat dan yang kaya semakin gemuk seperti unta di gurun?” teriak Kiai Tohir di depan jamaah yang terheran-heran.

Di masjid sebelah, Kiai Sahal pun tidak mau kalah. “Saudara-saudaraku, marilah kita menyadari bahwa keadilan sosial bukan sekadar slogan, tetapi perintah Allah! Sudah waktunya kita mengakhiri kapitalisme, karena kapitalisme adalah akar dari segala dosa struktural!”

Para jamaah mulai melirik-lirik, ada yang tersenyum, ada yang bingung, tetapi banyak yang berteriak, “Allahu Akbar!”

AKSI PROTES DI KOTA DAN PAK KIAI DI GARIS DEPAN

Semakin hari, semakin banyak kiai yang ikut bergabung dalam gerakan ini. Kini, Kiai Marxis dan para kiai lainnya bukan hanya berkhotbah di masjid, melainkan juga memimpin aksi massa di jalanan. Mereka datang dengan jubah dan sorban yang berkibar, sambil membawa poster yang bertuliskan, “Amar Makruf: Gulingkan Kapitalisme!” dan “Nahi Munkar: Turunkan Gulingkan Tuan Tanah, Tuan Kapitalis, kaum penindas lainnya!”

Pak Kiai bahkan membuat poster bergambar Karl Marx dengan tulisan, “Marxisme adalah Amar Makruf yang Sejati.”

Di tengah aksi, seorang petani menghampiri Kiai Marxis dan berbisik, “Pak Kiai, saya kira tadi kiai cuma bisa ceramah, ternyata bisa juga pimpin demo!”

Dengan gaya karismatiknya, Kiai Marxis menjawab, “Saudara, tidak ada ajaran yang lebih suci dari keadilan untuk kaum tertindas. Kalau kita hanya diam, maka kita mengkhianati amanah agama.”

Kerumunan langsung sorak-sorai, ibu-ibu mengibas-ngibaskan sapu tangan, para bapak mengangkat cangkul tinggi-tinggi, bahkan Pak Sobirin sampai menangis haru sambil berkata, “Masya Allah, Pak Kiai! Kalau begini, saya mau ikut revolusi tanpa ragu lagi!”

Aini pun, yang melihat betapa semua orang mulai bersatu, berteriak dengan lantang, “Inilah kebenaran amar makruf nahi munkar yang sebenarnya! Selama ini kita dibohongi, tetapi sekarang kita sadar. Perjuangan melawan kapitalisme adalah jihad yang paling hakiki!”

Sejak itu, Kiai Marxis menjadi legenda. Setiap khotbahnya ditunggu-tunggu oleh rakyat kecil, bahkan anak-anak desa yang biasanya hanya main layangan pun rela duduk manis mendengarkan. Para kiai lainnya mulai belajar mengutip kata-kata Karl Marx, Leinin, Leon Trotsky, dan Haji Misbach dalam bahasa Arab yang penuh gaya. Bahkan, mereka mulai menggunakan istilah-istilah revolusioner seperti mustad’afin (kaum tertindas) dan munafiqun kapitalis.

Pak Kiai yang dulunya hanya dikenal sebagai ulama sederhana di kampung, kini dikenal sebagai Kiai Marxis—kiai yang mengajarkan agama dengan mengangkat palu dan arit, bukan hanya untuk bekerja, tetapi sebagai simbol perjuangan yang suci–perjuangan kelas.

Di akhir setiap khotbahnya, Kiai Marxis selalu mengutip sebuah kalimat yang membuat semua orang tertawa sekaligus merasa terinspirasi: “Saudara-saudaraku, ingatlah, palu dan arit bukan sekadar alat kerja… melainkan alat pembebasan! Siapa yang setuju, angkat cangkulnya ke langit!”

Dan mereka semua pun berseru lantang, “Hidup Kiai Marxis! Hancurkan kapitalisme!”

Jadi, begitulah kisah Kiai Marxis, sang ulama yang berhasil membangunkan para kiai dari tidur panjang mereka, dan bersama-sama kaum tertindas, berjuang untuk dunia yang lebih adil, dunia tanpa penindasan—dunia tempat agama bukan hanya sekadar kata, tetapi tindakan revolusioner yang nyata.

Di tengah terik siang yang membakar dedaunan padi, tampaklah Kiai Toto Marx-yanto duduk di bale-bale bambu di pinggir sawah. Tubuhnya duduk bersila, janggutnya yang sudah memutih menjulur bak lumut tua. Dari jauh, orang-orang kampung sering salah sangka, mengira itu adalah Karl Marx yang sedang menikmati angin sepoi-sepoi di pedalaman Jawa. Padahal, kalau orang dengar omongannya, jelas itu bukan Marx, tetapi Kiai Toto Marx-yanto yang memang terkenal lincah mengolah kata.

“Eh, sampeyan tahu ndak?” katanya, sambil mengisap rokok kretek dan menggoyang-goyangkan cangkir kopi seperti sedang berpidato di hadapan buruh tani. “Ini kopi kapitalis, lho, ngene-ngene. Kopi ini dijual mahal di kota, padahal yang panen ibu-ibu di sini. Tapi, ndak papa, enak je!”

Penduduk desa, yang sudah terbiasa mendengar gaya bahasanya, hanya tertawa sambil mengangguk-angguk. Seperti biasa, Kiai Toto Marx-yanto terus mengoceh, menerangkan hubungan produksi kopi dengan harga BBM, lalu menyinggung soal distribusi pupuk yang malah bikin petani semakin tekor. Namun, dia melakukannya sambil tertawa—karena, baginya, humor adalah senjata revolusioner yang paling tajam.

“Sudah ngopi, Kiai?” tanya seorang petani dengan suara parau dari kejauhan.

“Ngopi? Ho’oh! Bukan cuma ngopi, sekarang ini saya lagi ngambil ‘hak surplus’ dari produksi kopi ini! Paham ndak? Ini hasil keringat orang-orang di desa ini, makanya saya nikmati!” katanya dengan ekspresi serius tapi matanya berkedip-kedip lucu.

Kata orang, Kiai Toto Marx-yanto pernah berangan-angan jadi Karl Marxnya desa: seorang revolusioner yang memimpin perubahan dari tengah sawah, dengan lumbung padi sebagai markas, dan mengintegrasikan dengan perjuangan kelas buruh perkotaan. Sayangnya, di antara segala teorinya, ada satu kelemahan: beliau sendiri lebih sering ketiduran di bale-bale ketimbang memimpin rapat-rapat. Di saat rapat besar dimulai, biasanya, Kiai Toto Marx-yanto sudah mendengkur dengan damai sambil memeluk tasbihnya.

“Sudah, sudah, sabar saja,” katanya suatu ketika saat ditegur karena sering ketiduran, “revolusi itu jalannya panjang, kayak babat alas buat sawah baru. Kalau buru-buru, nanti kehabisan tenaga, wong. Saya nih ‘ngirit energi revolusioner!’”

… dan itulah Kiai Marx-yanto, Karl Marx dari desa, yang setiap petani tahu: teori gabungan agama dan Marxis-nya cerdas, humornya ngena, tetapi rasa kantuknya tidak tertandingi!

Ilustrasi: theaestheticoftriumph.weebly.com

18 Comments on “Pak Kiai dan Petani II”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *