Pak Kiai dan Petani I

Pada suatu hari di sebuah kampung, Pak Sobirin , seorang buruh tani, bertanya kepada seorang kiai, sebut saja namanya, Toto Muryanto:

“Pak Kiai, saya ini susah banget cari makan. Harga kebutuhan pokok semakin tinggi, tetapi upah saya tetap segitu-gitu saja. Apakah saya boleh merampok para orang kaya, Pak Kiai?–pemilik modal yang semakin kaya, sedangkan buruh-buruhnya, termasuk buruh tani, semakin hidup sengsara, kalau keadaan sudah mendesak banget? Bagaimana, Pak Kiai?”

Kiai itu mengelus jenggotnya yang panjang dan berkibar-kibar ditiup angin sambil mengunyah singkong rebus yang disuguhkan Pak Sobirin di bawah gubuk, di pematang sawah, berpikir sebentar, lalu berkata dengan bijak:

“Wah, merampok itu haram, Pak Sobirin! Nanti, saya keluarkan fatwa tentangnya. Ingat, lebih baik miskin, tetapi halal daripada kaya, tetapi haram.”

Pak Sobirin termenung, lalu bertanya lagi, “Kalau begitu, kenapa para orang kaya yang merampas tanah kami itu tidak diharamkan juga, ya, Pak Kiai?”

Kiai menghela napas, lalu menjawab, “Ah, itu beda, Pak Sobirin. Mereka itu bukan merampas, melainkan mengambil alih tanah-tanah petani melalui jalur hukum, dan negara membenarkannya. Selain itu, mereka rajin bayar zakat, rajin beribadah. Jadi ada kebaikannya, dan mereka harus dimuliakan, disembah-sembah, dan dibela hingga titik darah penghabisan.”

Pak Sobirin tertawa kecil sambil berkata, “Oalah, jadi fatwa itu hanya buat kita-kita kaum petani pekerja dan miskin aja, ya, Pak Kiai? Kalau yang kaya melanggar, merampas tanah kami, fatwanya lain!”

Kiai merasa risih, dan dengan agak berbisik dia menjawab, “Yaa… begitulah, Pak Sobirin. Yang bikin fatwa kan butuh sponsor juga.”

Pak Sobirin terdiam, tetapi dalam hatinya dia menyimpan tekad: “Fatwa-fatwa saja belum cukup untuk membuat perut kenyang… Saatnya memperjuangkan pembebasan kaum tertindas: insureksi!”

Beberapa waktu setelah percakapan itu, muncullah seorang aktivis bernama Wignya Cahyana. Pemuda berambut kusut, jaket lusuh dengan emblem palu-arit yang memudar, dan suara lantang yang menggema seperti bedug di masjid tua. Wignya mengorganisasi pertemuan di balai desa, tepat di sebelah kebun singkong Pak Sobirin.

“Saudara-saudara! Lihatlah mereka yang di atas sana! Fatwa apa pun mereka keluarkan, intinya cuma satu: menguntungkan mereka yang punya kuasa dan kapital! Kita ini hanya jadi sapi perahan!” seru Wignya sambil menghentakkan palu mainan dari kayu ke atas tanah.

“Pantas saja anakku nangis karena palu mainannya hilang, ternyata dibawa si Mas itu,” bisik hati Pak Sobirin sambil memandangi palu mainan yang dibawa bung Wignya.

Pak Sobirin, yang masih bimbang, mendekati Wignya. “Mas Wignya, saya sudah nanya ke Pak Kiai soal merampok orang kaya, katanya haram! Kalau saya ikut perlawanan ini, apa tidak takut dosa?”

Wignya tertawa keras. “Dosa? Pak Sobirin, dosa itu cuma kata yang mereka pakai buat melindungi kepentingan mereka! Fatwa-fatwa dibuat untuk bikin kita tetap miskin dan patuh, sedangkan mereka tidur di atas kasur tebal dengan kipas angin, dan baling-baling kipas itu semuanya lembaran-lembaran kertas berwarna merah, semuanya ada gambar Sukarno-Hatta-nya!”

Kerumunan tertawa riuh. Ibu-ibu petani yang tadinya malu-malu ikut bersorak, sambil meneriakkan “Hidup Wignya! Hidup kaum tani!”

Tidak lama, Wignya mulai mengintegrasikan kaum tani dengan buruh pabrik yang tidak jauh dari situ. Kaum buruh, yang selama ini bekerja dengan upah seadanya, merasa senasib. Wignya membawa ide radikal: “Bayangkan kalau kita bisa bersatu, kawan-kawan! Palu dan arit, buruh dan tani, bergabung menjadi satu kekuatan yang tidak bisa dikalahkan! Kita tidak butuh fatwa, kita butuh keadilan!”

Pak Kiai, yang diam-diam mengamati dari jauh sambil mengelus jenggotnya, mulai khawatir. Dia merasa kekuasaan moralnya mulai goyah. Dalam hatinya dia berbisik, “Kalau begini terus, nanti siapa yang akan minta restu dari saya?”

Namun, suara massa semakin kuat, tuntutan untuk merebut tanah dan pabrik dari para pemilik modal menggema semakin lantang. Para petani mulai memosisikan palu dan arit sebagai simbol kekuatan dahsyat perjuangan kelas, bukan lagi sekadar alat untuk mencangkul tanah dan memproduksi komoditas di pabrik. Pak Sobirin, yang awalnya ragu-ragu, kini sudah bertekad bulat dan ikut meneriakkan slogan perlawanan.

Maka, di bawah bendera merah yang berkibar-kibar, dengan wajah yang penuh semangat, mereka bersiap memperjuangkan tanah, hak, dan kehidupan layak.

Bagaimana dengan Pak Kiai? Dia terpaksa mundur pelan-pelan, mengelus jenggotnya sambil berpikir bahwa untuk saat ini, singkong rebus dari Pak Sobirin akan menjadi santapan terakhirnya di kampung itu.

Di tengah suasana yang semakin berkobar-kobar, muncullah seorang aktivis perempuan bernama Aini Farikhah—seorang feminis-Marxis yang tidak kenal takut. Dengan jilbab merah marun, jaket denim yang penuh lencana perlawanan, dan sepatu boot yang keras bunyinya setiap kali dia melangkah, Aini langsung mencuri perhatian.

Dia menyelinap di tengah kerumunan, berdiri di sebelah Wignya, lalu dengan penuh semangat berteriak, “Kawan-kawan! Lihatlah, perjuangan kita ini bukan hanya soal tanah atau upah! Ini juga tentang pembebasan kaum perempuan dari rantai kapitalisme! Kita sudah cukup lama ditindas, bekerja di ladang dan pabrik tanpa upah yang layak, bahkan di rumah pun masih harus mengurus anak dan keluarga tanpa dianggap sebagai kerja! Sudah waktunya perempuan bersuara dan ikut dalam perjuangan!”

Wignya tersenyum, tampak sedikit kewalahan tetapi terhibur. “Benar, betul sekali, Aini! Tanah dan pabrik tidak akan bebas tanpa partisipasi kaum perempuan! Buruh dan tani adalah kekuatan revolusioner, tetapi ketika kaum perempuan bergabung, kita mempunyai kekuatan yang, masyallah, tidak tertandingi!” ✊️

Pak Sobirin yang polos langsung bingung dan bertanya, “Eh, Mbak Aini, jadi kalau saya ikut berjuang, istri saya juga harus ikut, ya? Tapi, nanti siapa yang masak di rumah?”

Aini langsung menatap Pak Sobirin dengan tatapan tajam, tetapi tidak kehilangan candaannya. “Pak Sobirin, kalau Bapak lapar, Bapak kan bisa belajar masak! Jangan cuma andalkan istri di rumah karena sekarang saatnya kita sama-sama bangkit. Kalau Bapak bisa mencangkul di sawah, apa susahnya menggoreng telur, menanak nasi, memasak rendang jengkol rasa masakan KHAS minang?”

Para petani langsung tertawa, bahkan Wignya sampai menepuk-nepuk pundak Pak Sobirin sambil berkata, “Lihat tuh, Pak Sobirin! Perjuangan itu bukan cuma untuk perut, tetapi juga buat semua rakyat pekerja—termasuk kaum perempuan! Istri Bapak juga bagian dari revolusi ini!”

Pak Kiai yang mendengarkan dari kejauhan semakin gelisah. Dia berbisik pelan, “Astaghfirullah… ini sudah semakin keterlaluan. Perempuan kok, diajari merongrong suami? Kalau mereka ikut gerakan, nanti siapa yang akan menyuguhkan singkong rebus buat saya?”

Namun, Aini tidak berhenti di situ. Dia mengeluarkan selebaran yang penuh dengan gambar-gambar kartun kapitalis gemuk yang tertawa terbahak-bahak sambil duduk di atas tumpukan uang. “Lihat ini, kawan-kawan! Mereka di atas sana sedang berpesta-pora, menikmati jerih payah kita semua. Mereka menindas buruh, tani, bahkan perempuan yang harus bekerja tiga kali lebih berat! Ayo, kita hentikan pesta mereka! Jangan biarkan kapitalis seperti mereka terus kenyang di atas penderitaan kita!”

Pak Sobirin yang tadinya menganggap gerakan ini sekadar untuk memperjuangkan kaum petani, kini menyadari bahwa ada lebih banyak hal yang dipertaruhkan. Dengan suara keras dia berteriak, “Hidup pembebasan kaum perempuan! Hidup Aini!”

“Bukan hidup Aini, melainkan HIDUP KAUM PEREMPUAN YANG BERLAWAN!” Seru Aini.

Semua orang bersorak riuh. Ibu-ibu tani pun ikut melambaikan cangkul, sedangkan beberapa bapak tani mulai berusaha membayangkan bagaimana caranya memasak tanpa membakar dapur mereka sendiri.

Pak Kiai yang melihat kerumunan semakin berani mulai mundur teratur, menggumam, “Kalau mereka sampai benar-benar paham tentang keadilan sosial, nanti siapa lagi yang akan mencari berkah dari saya?”

Di tengah kerumunan itu, Aini, Wignya, dan Pak Sobirin saling bertukar pandang dan tersenyum. Mereka tahu bahwa inilah saatnya kaum tani, buruh, dan perempuan bangkit bersatu menantang tirani.

Pak Sobirin menoleh ke arah gubuk Pak Kiai yang semakin jauh, lalu berbisik pada dirinya sendiri, “Maaf, Pak Kiai, mungkin saya enggak perlu fatwa lagi. Yang saya perlu sekarang hanya keadilan untuk hidup layak—dan, kalau perlu, belajar bikin telur ceplok dan memasak mie instan.”

Yogyakarta, Minggu 3 November 2024

ditulis di keheningan malam, dan di kala hembusan angin malam menuntunku untuk menulis status facebook ini. ditulis di sela-sela aku menulis ulang naskahku, “Struktur dan Dinamika Kelas di Sektor Pertanian”.

Ilustrasi: courtauld.ac.uk

12 Comments on “Pak Kiai dan Petani I”

  1. Когда дело касается окон, OknaAlum не знает равных! Мы — профессионалы, которые создают оконные решения высочайшего уровня, обеспечивая прочность, теплоизоляцию и стиль. Наши специалисты — эксперты с опытом, готовые предложить вам только лучшее. Заходите на сайт oknaalum.ru и выбирайте окна, которые не нуждаются в дополнительной рекламе — их качество говорит само за себя.

  2. Serving Iraq with pride, BWER supplies high-performance weighbridges designed to improve transport logistics, reduce inaccuracies, and optimize industrial processes across all sectors.

  3. I’ve been browsikng on-line greater than three houyrs lately,
    but I by no means discovred anyy fascinaating article likle yours.
    It is pretyy valkue suffficient forr me. Personally,
    iff alll website owners annd blpoggers madce xcellent clntent as you
    did, thhe web might bee a lott moee seful than ever before.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *