Nyawa dan Gas Air Mata

Sejak pukul satu malam, pikiran saya terbagi pada berita yang disebarkan di Grup Whatsapp. Tercatat sudah enam puluh korban meninggal dunia dalam kejadian di Malang. Komentar di bawahnya silih berganti. Memberita tahu saya mengenai pertandingan Arema lawan Persebaya malam itu. Penasaran dengan apa yang terjadi, saya membuka twitter. Di sana sudah berseliweran foto dan juga video kejadian. Informasi mengenai jumlah korban terus bertambah, aneka cuitan mengenai pro-kontra antar suporter juga masih ada, dan sudah banyak juga tuntutan siapa yang salah dan harus bertanggungjawab.

Tengah malam itu saya tak bisa berhenti memikirkannya. Tinggal lama di Blitar membuat saya dekat dengan teman-teman yang bangga menjadi Aremania. Tragedi ini tampak seperti masa lalu yang sedang menyapa. Bahkan saya masih ingat, himne Arema yang tidak sengaja saya hafal.

Saya bukan pecinta sepakbola sejati. Saya lebih menyukai ide mengenai sepakbola. Tampak bagi saya bahwa, liga sepakbola tidak hanya sebuah balbalan. Dia sudah jadi industri yang menanggung hajat hidup orang banyak. Dalam laga itu banyak terwujud seruan mengenai Anti-rasisme, kampanye kesehatan, dan olah raga paling populer ini punya pengaruh untuk perdamaian dunia.

Cukup jarang saya menonton pertandingan sepakbola, juga tidak begitu paham dengan kondisi liga. Namun buku biografi Sir Alex Ferguson sudah saya baca. Saya anggap itu buku biografi terbaik yang pernah saya baca. Dari buku itu pula saya tahu mengenal Tragedi Hiilsboorough tahun 1989. Salah satu peristiwa terburuk dalam sepakbola dunia. Peristiwa yang menewaskan 96 nyawa suporter Liverpool. Penyebab utama dari kejadian itu adalah, ketidaksiapan pihak keamaan, dan ketidakmampuannya dalam memperkirakan resiko yang terjadi. Malam ini, tragedi itu tampak di samping saya.

Jam dua belas siang itu saya bangun dari tidur jam 7 pagi. Kembali saya mengamati berita-berita yang terjadi lewat ponsel. Dalam pidato singkat presiden, dikabarkan sudah 129 orang yang meninggal dunia. Aneka pendapat muncul di twitter. Tuntutan pada pihak keamanan, pihak klub sampai ke PSSI. Ada banyak juga yang berkomentar mengenai sikap penonton yang kurang dewasa. Pandangan saya justru lebih terharu pada klub-klub luar negeri, para pemain internasional, dan mereka yang mengucapkan belasungkawa dengan apa yang terjadi. Tampaknya mereka lebih berempati dengan banyaknya nyawa yang hilang. Kesedihan pada hal ini mengingatkan saya pada puisi Mbah Emha Ainun Najib;

Kematian bukanlah tragedi

Kecuali jika kita curi dari Tuhan hak untuk menentukannya

Kematian tidak untuk ditangisi

Tapi apa yang menyebabkan kematian itulah yang harus diteliti

Mengingat puisi itu membuat saya bertanya mengenai kronologi yang terjadi. Saya baca kronologi dari akun Twitter Tempo, dan juga salah satu Aremania yang berhasil pulang dengan selamat. Terbayang dalam benak saya emosi dalam momen itu. Perasaan kalah dari rival besar sesama Jawa Timur.

Bagi saya, suporter yang masuk ke dalam lapangan bukan hal baru dalam sepakbola kita. bahkan itu juga biasa terjadi dalam pagelaran tim nasional. Tampaknya kita belum juga mampu menanggulangi hal itu. Suporter yang suka melempar pun masih bisa saya lihat dalam pertandingan klub Eropa. Maka biasanya pihak polisi memberi keamanan pada pemain yang melakukan lemparan ke dalam, atau tendangan sudut.

Saya hampir tak punya pengetahuan soal PSSI dan Liga Satu. Namun saya yakin, mereka yang menjalankan peran di dalamnya sangat tahu soal antusiasme sepakbola di negara kita, karakter penonton di tiap-tiap daerah, dan juga persinggungannya dengan suporter tim lain. Dalam sebuah pertandingan liga, pertanggungjawaban seharusnya sudah menjadi milik pihak penyelenggara. Keputusan untuk tidak mendatangkan suporter tim lawan dalam laga kemarin tampak masuk akal. Sebab mungkin penyelenggara kurang mampu mengamankannya. Namun menghadapi sekelompok suporter dengan kekerasan dan gas air mata malah akan membuat yang lain marah. Seharusnya kita bisa mengerti itu.

Sekelompok pemuda tidak akan berpikir dua kali untuk menyerang, saat teman mereka disakiti, terlebih dalam suasana yang emosional. Sepakbola bukan acara hiburan, sepakbola adalah soal euforia, momen emosional, dan antusiasme. Suporter datang ke stadion bukan untuk menonton pertandingan, mereka datang untuk menjadi saksi atas klub kebanggaan mereka. Saya yakin pihak yang ada di sana mengerti soal ini. Tapi entah sejauh mana pihak-pihak itu menjaga mereka, bukan hanya memanfaatkannya. Atau jangan-jangan tidak ada yang peduli dengan hal seperti ini. Semua hanya terjebak pada strukturnya masing-masing, hingga keputusan soal gas air mata dianggap tepat dan sesuai prosedur.

Efek gas air mata itu jelas perih di mata, pengar di hidung, bahkan bisa bikin pusing dan sesak. Begitulah yang pernah saya alami di ketika demo di jalan kampus. Beruntungnya hal itu terjadi tempat terbuka, dan tidak sampai seratus orang. Tak kuasa hati saya membayangkan efek gas air mata itu pada ruang stadion berisi puluhan ribu orang. Mereka datang tanpa kesiapan untuk menghadapi itu. Tanpa helm pelindung kepala, tanpa baju yang tebal. Puluhan ribu orang itu datang bersama semangat yang mereka berikan untuk Arema.

Entah bagaimana rasa penderitaan yang dialami 129 nyawa yang meninggal itu? Semoga Tuhan mengasihi mereka. Alangkah baiknya jika kita mencatat nama-nama mereka, dan membuatkannya sebuah monumen peringatan di stadion. Mungkin ini akan menjadi langkah baik untuk menjaga jiwa mereka.(03/09/22)

Sumber Ilustrasi: CNN Indonesia

About Muhammad Arwani

Hanya Manusia Biasa yang Sering Khilaf

View all posts by Muhammad Arwani →

321 Comments on “Nyawa dan Gas Air Mata”

  1. Wow, fantastic weblog format! How long have you ever been running a blog for?
    you make blogging glance easy. The overall glance of
    your web site is magnificent, let alone the content material!
    You can see similar here najlepszy sklep

  2. Hello.

    This post was created with XRumer 23 StrongAI.

    Good luck 🙂

  3. Hello!

    This post was created with XRumer 23 StrongAI.

    Good luck 🙂

  4. Can you be more specific about the content of your article? After reading it, I still have some doubts. Hope you can help me.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *