Naturalisme Sebagai Akidah Sains

Sudah sewajarnya sains memiliki pandangan naturalisme. Kenapa? Karena sains hanya bicara apa yang bisa tangkap dengan indera kita. Bagaimana dengan realitas supranatural/adikodrati yang tidak bisa ditangkap oleh indera? Itu bukan urusan dari sains. Ia tidak memiliki kapasitas untuk mendukung atau menyanggahnya.

Untuk mendapatkan gambaran tentang hal ini ada baiknya kita hubungkan dengan kenyataan aktual yang sedang kita hadapi. Saya mengambil ilustrasi Pandemi COVID-19 saat ini.

Jika sains ditanya, berapa jumlah orang yang positif COVID-19 di daerah A? Jawaban dari sains ditentukan oleh instrumen yang digunakan untuk mendeteksi virus ini. Semisal instrumen yang kita miliki adalah tes, maka berapa orang yang positif adalah sejumlah orang yang terjaring dalam tes tersebut. Katakanlah 100 orang terdeteksi positif oleh tes yang kita lakukan. Jawaban yang disediakan oleh sains untuk pertanyaan berapa orang yang positif COVID-19 adalah 100 orang.

Apakah 100 orang ini benar-benar mencerminkan kenyataan yang sebenarnya? Kita tidak tahu pasti. Namun jumlah ini bisa dipertanggungjawabkan karena ia berasal dari instrumen yang kita miliki. Kita bisa menjelaskan kasus 1, kasus 2, sampai kasus 100 berdasarkan tes yang kita lakukan. Setidaknya ini adalah data empirik yang kita punya untuk persoalan yang kita hadapi.

Bagaimana dengan asumsi yang menyatakan bahwa kasus yang sebenarnya lebih besar dari yang terdeteksi oleh instrumen tes yang kita miliki? Ada yang menyatakan 2x lipat, ada menyatakan 5x lipat, bahkan sampai 10x lipat dari kasus yang terdeteksi. Bagaimana menyikapi ini?

Yang kita miliki adalah data empirik dan asumsi-asumsi yang menyertai. Jika menggunakan parameter ilmiah, maka setiap asumsi yang ada itu harus diuji. Jumlah 100 yang kita miliki ini bisa jadi salah. Ia selalu terbuka untuk koreksi. Namun 100 ini hanya bisa dikoreksi dengan data empirik yang baru. Jumlah 100 yang empirik ini masih lebih baik dari 200 atau 500 yang berupa asumsi.

Jika kita menyatakan bahwa orang yang positif COVID-19 di daerah A adalah 200 orang dengan penjelasan bahwa 100 orang terjaring tes ditambah dengan keyakinan bahwa jumlah sesungguhnya adalah 2x lipat dari yang terdeksi. Kita bisa menyatakan bahwa pernyataan ini tidak saintifik atau tidak ilmiah. Mengapa? Karena ia mencampurkan antara temuan empirik dengan keyakinan personal kita. Jumlah 200 ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Kita bisa saja secara personal berpendapat bahwa jumlah orang yang positif adalah 200 berdasarkan keyakinan pribadi kita. Namun ketika diminta untuk membuat laporan secara ilmiah, kita harus setia pada temuan empirik yang kita dapatkan. Sains bisa jadi keliru karena kesimpulan yang dihasilkannya berangkat dari instrumen yang digunakan. Namun ia terbuka untuk dikoreksi.

Apa pun temuan yang kita dapatkan dari instrumen yang kita miliki, kita harus setia pada temuan empirik itu. Seterbatas apa pun itu, ia adalah hal terbaik yang kita miliki. Jika kita membuat kekeliruan, orang lain dapat belajar dari kekeliruan kita. Ini bisa terjadi karena sains bersifat terbuka. Inilah kelebihan sains, yakni sikap terbuka dan selalu siap untuk disalahkan.

Secara personal, kita bisa saja berpendapat ada kenyataan yang bersifat adikodrati/supranatural. Terdapat hal-hal yang berada di luar jangkauan sains. Sains memang bukan segalanya. Namun ketika kita masuk ke dalam sains, maka kita harus membatasi diri dalam hal-hal yang bersifat natural, terbatas pada hal-hal yang ditangkap oleh indera karena ini adalah instrumen dari sains. Ia tidak dapat dicampurkan oleh keyakinan pribadi kita yang tidak ada hubungannya dengan sains. Ini adalah prinsip. Naturalisme adalah akidah sains.

Sumber Ilustrasi: nps.gov

About Novian Widiadharma

Dosen Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

View all posts by Novian Widiadharma →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *