Natal dan Spirit Revolusioner

Kata salah seorang teman Kristen saya yang agak ‘mbeling’ “sebenarnya mengucapkan selamat natal atau tidak itu tidak begitu penting”. Bahkan katanya lagi “merayakan seremonial natal atau tidak itu pun juga tidak begitu penting”.

Berdasarkan wejangannya saat itu yang amat panjang lebar, dapat saya ringkaskan:
Katanya yang paling penting dan esensial dari momen natal itu sesungguhnya adalah bagaimana kita secara rasional dan spiritual bisa meneladani laku hidup revolusioner progresif dari Yesus yang membaktikan hidupnya sebagai sang pembebas dan pembela kemanusiaan, yang begitu gigih dan sangat berani dalam melawan setiap kezaliman yang ada di depan matanya.

Jadi bahkan jauh sebelum kelahiran Karl Marx dan orang-orang Kiri, Yesus sudah menjadi teladan revolusioner dalam mengadvokasi orang-orang lemah, orang-orang miskin yang ditindas oleh imperialisme Roma maupun ditindas oleh imperialisme institusi agama Yahudi.

Sebagaimana yang tertulis dalam dalam tinta sejarah, sosok yang diagungkan dalam agama Kristen dan Islam ini ia begitu total dan tanpa pandang bulu dalam membela kemanusiaan, sekalipun itu terhadap pelacur yang begitu dibenci oleh kaum “munafik patriarki” (meski golongannya juga yang mengeksploitasi kenikmatan tubuhnya).

Dan sebagai sosok revolusioner maka tentu saja Yesus sangat menyadari jika upah pembelaannya terhadap orang-orang yang ditindas adalah mendapatkan siksa oleh rezim penguasa. Bahkan Yesus telah siap kehilangan nyawa sebagai konsekuensi sikapnya yang berani dalam melawan sistem tirani para penguasa agama dan kekaisaran Roma.

Baginya, berani membela manusia yang teraniaya dan menderita tetaplah prioritas utama yang meski sekalipun itu harus melawan dogma lama agama yang mentradisi dan peraturan-peraturan rigid suatu rezim imperialis.

Dan berkaca dari jalan revolusioner Yesus itu, saya seketika menjadi termenung dan melontarkan pertanyaan yang lebih ditujukan kepada diri saya sendiri.

Dalam laku hidup ini, sudah beranikah saya berlaku seperti Yesus yang begitu total dalam membela kemanusiaan sekalipun itu harus dimusuhi oleh orang-orang munafik se-negara?Atau jangan-jangan saya hanyalah manusia fasis, manusia yang hanya berani menjadi front pembela kelompok primordial saya sendiri, suatu entitas kebanggan kelompok kecil yang malah seringkali rawan bergesekan dengan kelompok manusia yang lain?

Dan jika berbicara soal Indonesia yang merupakan sebuah negara yang konon katanya negeri pluralis dan demokrasi ini, maka batin saya kok juga agak ngilu dan secara pahit harus jujur mengakui, jika nilai pancasila dan kesadaran bhinneka tunggal ika yang selama ini digembar-gemborkan nyatanya hanya eksis dalam teori dan peryataan basa-basi belaka.

Nyatanya masih banyak peraturan daerah di negeri ini yang masih sangat diskriminatif pada kebebasan beragama kaum minoritas seperti saudara kita umat Kristiani dan saudara kita para penghayatan kepercayaan spiritual asli Nusantara tetapi itu toh dibiarkan saja oleh negara dan menteri keagamaannya.

Mulai dari mempersulit izin (baca: pelarangan) menjalankan ibadah sampai mempersulit izin (baca : pelarangan) mendirikan tempat ibadah.
Sungguh saya melihat umat Kristiani dan para Penghayat Kepercayaan di negeri ini seakan tidak lebih dari anak tiri.

Bayangkan, bahkan seperti saudara kita umat Kristiani dalam momen perayaan tahunan yang paling sakral seperti natal ini pun, mereka juga masih selalui dihantui rasa takut dan was-was pada teror bom para ekstrimis yang setiap saat bisa saja meluluh lantakkan nyawa mereka bersama keluarga yang dicintainya.

Untuk itu saya menjadi agak memahami mengapa waktu saya sebagai Banser menjalankan tugas dalam pengamanan natal di Gereja Katolik Santo Yosef Ngawi, mendapati banyak bapak-bapak dan ibu-ibu umat Kristiani setelah kebaktian ramai menyalami, mengucapkan rasa terima kasih yang tulus (bahkan dengan mata berkaca-kaca) pada kami, anggota Banser yang dengan panggilan hati turut menjamin keberlangsungan ibadah saudara-saudara Kristiani dengan hikmat dan aman.
Bahkan setelah selesai peribadatan itu Romo Pastor juga langsung menjumpai kami untuk ramah tamah dan sejenak berkelakar. Beliau Romo Pastor yang belakangan saya ketahui bernama Romo Gusti itu juga bercerita, meaki dirinya sebagai romo pastor namun juga suka ngudud (merokok) sama seperti kebanyakan dari kami.
Dan menawari kami kalau sempat untuk mampir sejenak di gereja tempatnya untuk sekedar ngopi dan ngudud bersama beliau.

Yah, suatu perjumpaan lintas iman yang sangat indah! Sungguh deretan pengalaman malam itu takkan pernah terlupakan dalam hidup saya, dimana saat itu adalah tugas pertama kali saya PAM pengamanan natal sekaligus pengalaman perdana saya meresapi bhinneka tunggal ika dalam kerangka dimensi lintas iman secara langsung.

Maka untuk itu logika saya selalu tak pernah sampai atau menemukan jalan buntu ketika memikirkan kebiadaban para teroris otak cingkrang yang selalu berusaha mengacau siapapun umat manusia yang mempunyai identitas keagamaan yang lain.

Apakah para Muslim yang bangga semena-mena atas nama agama itu, tak pernah sekalipun dalam hidupnya berpikir bagaimana jika perlakuan buruk seperti itu berbalik kepada umat Islam sendiri? Apa mereka masih bisa khusyuk beribadah dan menjalankan ritual agama, jika setiap saat nyawanya dan nyawa keluarganya selalu dalam ancaman bahaya? Dan apakah mereka juga “rela” hanya karena berbeda agama diperlakukan sebegitu buruk oleh sesama manusia? Serta apakah kehidupan mereka sebegitu menyedihkannya, sehingga tidak pernah merasakan indahnya ruh persaudaraan dalam bingkai perbedaan?

Yah, sepertinya semua deret pertanyaan saya itu terjawab juga dalam pertanyaan saya yang terakhir itu.

Jika tidak, maka kubu mereka setiap tahunnya juga setidaknya tidak gencar menyebarkan logical fallacy (sesat pikir) yang menghubungkan setiap orang Muslim yang mengucapkan selamat natal, auto berubah mengimani agama Kristen.

Sungguh ini sebuah sesat pikir berlandaskan kedengkian yang sangat konyol sekali, sama juga konyolnya dengan orang yang berpikir mengucapkan selamat makan, auto berubah jadi kenyang, mengucapkan selamat hari pahlawan, auto berubah jadi spiderman.

Selain itu, mereka juga menganggap redaksi kalimat “selamat hari natal” bertentangan dengan redaksi “kalimat syahadat”. Redaksi kalimat “selamat natal” itu akan cocok jika disejajarkan dengan redaksi kalimat “selamat hari idul fitri”. Kedua-duanya sama sekali tidak mengandung pengakuan keimanan, melainkan semata wujud kita punya solidaritas sebagai sesama manusia, maka kita bisa turut berbahagia atas kebahagiaan sesama. Sedangkan kalimat syahadat itu cocoknya disejajarkan dengan pengakuan iman trinitas. Dan dalam redaksi pengucapan selamat natal atau selamat idul fitri, itu sama sekali tidak ada tukar pertukaran aqidah (iman) antara syahadat dengan iman trinitas. Semuanya tentu saja murni bentuk solidaritas yang baik pada sesama manusia.

Maka, besar kemungkinan hanya manusia yang telah mati rasa kemanusiannya saja, yang mati-matian melarang manusia menebarkan rasa guyub rukun dalam bentuk solidaritas dan toleransi.

Dan jika dulu saya mengucapkan maulid Nabi Isa hanya melalui lisan, sekarang sebagai anggota Banser saya juga berkewajiban mengucapkannya melalui tindakan. Semua itu semata-mata untuk mengikuti teladan solidaritas dari sang guru bangsa Gus Dur sang dan almarhum Riyanto senior saya di Banser yang telah rela mati sebagai martir kemanusiaan dengan memeluk bom untuk menyelamatkan nyawa saudara-saudara sebangsanya umat Kristiani.

Serta jika dulu saya bertahun-tahun mempelajari wacana toleransi dan sesanti luhur bhinneka tunggal ika hanya dalam teks-teks bacaan, sekarang saya telah mengalaminya secara langsung dalam realitas kenyataan. Sekali lagi terima kasih jabat kasihnya Romo Pastor Gusti dan saudara-saudariku umat Kristiani pada malam natal waktu itu, pada akhirnya saya jadi merasakan benar kata Ali bin Abi Tholib: “Mereka yang bukan saudaramu seiman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan”.

Bahkan menurut saya, dalam konteks zaman ini sudah tidak relevan lagi kita mempertengkarkan identitas keagamaan, dan melupakan kenyataan bahwa hakikat agama itu lahir adalah untuk memerangi kejahatan kemanusiaan yang universal, seperti cengkraman penjajahan iblis kapitalisme yang menciptakan kelas penindas dan kelas tertindas dalam hal politik dan ekonomi lewat paham neoliberalisme dan sistem pasar bebasnya yang ugal-ugalan. Sehingga membuat disparitas kesenjangan sosial yang sangat tajam, manusia yang kaya dan kuat semakin bertambah kaya dan kuat sementara manusia yang miskin dan lemah semakin bertambah miskin dan lemah, juga membuat manusia menjadi semakin individualis dan hanya mementingkan isi perut dirinya sendiri tanpa peduli pada ratap pilu perut orang lain.

Tentu para nabi dan rasul tidak menghendaki lanskap kehidupan yang penuh penindasan dan penghisapan segolongan yang lain terhadap segolongan yang lain seperti itu. Yesus mengajarkan perlawanan terhadap penindasan kemanusiaan dengan contoh konkret menyelamatkan nyawa pelacur Maria Magdalena dari ancaman hukuman mati para patriarki munafik, Muhammad pun juga mengajarkan jihad perlawanan terhadap penindasan kemanusiaan dengan contoh yang konkret memerdekakan budak kulit hitam bernama Bilal yang disiksa dengan kejam oleh tuannya.

Ya, alangkah indahnya andai umat Kristen, umat Islam, dan umat-umat agama lain seiya sekata bersatu padu menjadi “kekuatan perlawanan” terhadap iblis-iblis kemanusiaan yang universal seperti fasisme, kapitalisme, dan imperialisme yang tiada henti menistakan manusia-manusia yang lemah itu. Maka seharusnya kita saat ini tidak hanya berhenti pada kerukunan atau dialog lintas agama dalam ruang-ruang elit saja, melainkan perlu meningkatkan terselanggaranya “kerjasama lintas iman” yang terjun langsung dalam upaya pembelaan terhadap nasib rakyat-rakyat kecil yang tertindas secara struktural oleh elit-elit pengusaha kapitalis dan para centeng-centengnya yang bahkan sebagian terdiri dari aparatur negara sendiri.

Sehingga berawal dari kesadaran “religius sosialis” itulah, pada akhirnya kelak semua umat agama bisa mematahkan seloroh-seloroh kritis dari Karl Marx mengenai agama, bahwa ternyata agama itu bukan candu yang melahirkan ketidakpedulian sosial, dan agama juga bukan matahari ilusi yang hanya berputar di sekitar dirinya sendiri dan tidak bisa berputar di kehidupan sosial yang lebih luas.

Dan kembali menyoal perkataan teman Kristen saya di awal tulisan ini yang menyatakan bahwa ucapan selamat natal itu tidak penting, tetapi karena menimbang sepertinya dia bukan Kristen yang taat dan bahkan punya pikiran yang agak mbeling, maka tentu saya tidak mau mengimani begitu saja kata-kata darinya dan akan tetap mengucapkan selamat natal.

Untuk kawan dan saudaraku umat Kristiani, wilujeng Natal, wilujeng semakin meresapi nilai-nilai spiritual, nilai-nilai sosialisme, dan nilai-nilai aktivisme perlawanan terhadap bentuk-bentuk penindasan kemanusiaan dari Sang Mesias, Yesus Al Masih.

Sumber ilustrasi: Juicyecumenism

About Alvian Fachrurrozi

Pemuda Marhaenis

View all posts by Alvian Fachrurrozi →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *