Mempelajari pemikiran posmodern memang sangatlah mearik. Penghargaan mereka terhadap keunikan individu, budaya, ras, dsb menurut saya membuat hidup dalam perbedaan itu indah. Pola pikir kaum modernis yang cenderung mengeneralisasi segala hal, bagi saya, kurang tepat. Bagaimana pun juga, setiap manusia, setiap budaya, negara, maupun bangsa memiliki sejarah yang unik, khas, dan tak ada duanya. Karenanya, pemikiran para posmodernis ini menarik dan penting untuk dipelajari karena ia menawarkan sudut pandang yang berbeda dalam menanggapi keberagaman.
Michel Foucault adalah tokoh posmodern yang akan saya bahas dalam tulisan ini. Karena keterbatasan pengetahuan, secara singkat saya akan memaparkan biografi dan latar belakang pemikiran Foucault, pemikiran pokoknya, relevansi pemikirannya dengan situasi saat ini, evaluasi kritis, baik positif maupun negatif, dan kesimpulan.
Foucault lahir di Poitiers, Perancis, pada tahun 1926 dan meninggal pada tahun 1984. Ayahnya, Paul Foucault, adalah seorang ahli bedah di Pointier sekaligus profesor di bidang anatomi. Ibunya yang bernama Anne Malapert adalah anak seorang ahli bedah. Foucault sendiri merupakan anak kedua dari tiga bersaudara (Suyono, 2001: 113).
Setelah menyelesaikan pendidikannya di sebuah kolese Jesuit pada tahun 1936, Foucault pindah ke kolese Saint-Stanislaus. Pada mulanya Foucault merupakan putra altar dan aktif di gereja, tetapi di kemudian hari ia menjadi seseorang yang anti klerus.
Pada usia 16 tahun, ia mulai berkenalan dengan filsafat. Foucault pernah ditawari untuk studi kedokteran, tetapi karena lebih tertarik pada bidang filsafat, sejarah, dan psikologi, ia menolak tawaran tersebut. Pada tahun 1945, Foucault belajar Filsafat di Universitas Sorbonne, Paris, khususnya di Ecole Normale Superieure (ENS), tempat terbaik untuk studi filsafat di Perancis.
Pada tahun 1948, Foucault berhasil meraih Licence de Philosophie. Dua tahun setelah memperoleh Licence dalam bidang filsafat, Foucault menerima juga Licence dalam bidang psikologi. Pada tahun 1952, Foucault juga meraih Diploma de Psychopathologie. Selanjutnya, Foucault giat meneliti, mempublikasikan aneka tulisan, mengajar di berbagai universitas terkemuka baik di Eropa, Amerika, bahkan sampai ke Afrika (Hardiyanta, 1997: 2-21).
Michel Foucault merupakan seorang pemikir posmodernis terkemuka di abad ke-20 yang selalu disandingkan dengan Jean-Paul Sartre (1905-1980), pemikir eksistensialisme-ateistis Perancis. Selain itu, Foucault disebut sebagai seorang yang berlatar belakang strukturalis. Namun, karena kritiknya yang tajam terhadap gagasan para pemikir strukturalis, ia bersama teman-temannya seperti Lyotard, Deleuze, dan Derrida disebut juga sebagai pemikir posstrukturalis.
Foucault sebenarnya menolak pelabelan seperti ini karena jika demikian, maka namanya akan dikategorikan ke dalam sistem pemikiran tertentu, sesuatu yang tentunya tidak pernah diinginkan oleh Foucault. Baginya, sistem seperti itu membatasi kebebasan pemikiran seorang manusia yang senantiasa terarah kepada realitas yang tak terbatas (totalitas) (Kebung, Jurnal Ledarelo, 2017: 56).
Sebagai filsuf dan sejarawan yang berbakat, Foucault sangat dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Friedrich Nietzsche dan Martin Heidegger. Ia terpengaruh oleh ide kedua filsuf tersebut yang kemudian menghantarkannya untuk mendalami hubungan antara gagasan tentang kebenaran, kekuasaan, dan subjektivitas dalam penyelidikan genealogisnya (Peters, 2003: 209).
Terdapat tiga tema utama dalam pemikiran Foucault. Tiga tema besar ini menjelaskan seluruh jalan pemikiran filosofisnya yang berubah-ubah dengan adanya penekanan tertentu terhadap suatu persoalan seiring dengan perkembangan pribadinya (Kebung, 2008: 209-216).
Salah satu tema dominan dalam studi Foucault adalah pengetahuan. Foucault membuat banyak studi historis dan kultural. Melalui metode arkeologi dan genealogi, ia mencoba mengidentifikasi berbagai isu dan melihat seluruh peristiwa atau masa lalu sebagai cermin pola pikir manusia. Ia melihat pengetahuan sebagai cara kekuasaan memaksakan diri kepada subjek tanpa memberi kesan bahwa ia datang dari subjek tertentu. Hal ini tidak lain karena kriteria keilmiahan seakan-akan mandiri terhadap subjek (Haryatmoko, 2016: 17).
Bagi Foucault, selain berasal dari akal dan argumentasi, pengetahuan juga ada dalam hidup, karya, percakapan, dan peristiwa. Ia melihat ini sebagai probabilitas yang terarah kepada pengetahuan. Inilah yang disebut sebagai wacana atau diskursus. Sebagai contoh, melalui proses penelitian akan peristiwa historis klasik, Foucault memberi kesimpulan bahwa jika ada reason (akal), maka harus ada juga unreason; jikalau ada hal yang dapat dipikirkan (thought), harus ada juga yang tak dapat dipikirkan (unthought); kalau ada sesuatu yang dikenal sebagai “sehat”, harus ada juga sesuatu yang disebut “sakit”; kalau ada orang bebas pasti juga ada orang yang tidak bebas (Kebung, 2008: 210).
Berawal dari sinilah Foucault mulai membuat studi tentang kegilaan (illness), sakit mental, penjara, klinik, dan sejenisnya. Menurutnya kegilaan dan sakit mental lah yang secara institusional membentuk disiplin seperti pengetahuan tentang pengobatan dan psikiatri. Sementara, seksualitaslah yang memunculkan sebuah kesadaran baru akan nafsu dan keinginan sendiri, bioetika, kontrol kelahiran, dan lainnya.
Foucault menyebut segala bentuk pengetahuan yang lahir dari wacana-wacana tersebut sebagai “pengetahuan formatif dan diskursif.” Ia membuat studi tentang pelbagai peristiwa dalam berbagai tahapan sejarah dan menemukan aneka macam pengetahuan khusus yang ia sebut sebagai episteme. Karena ada begitu banyak jenis wacana, pola hidup dan pola pikir dalam sekian banyak epos sejarah, maka terdapat pula banyak episteme. Di dalamnya, lahir banyak ilmu pengetahuan, dan melaluinya manusia menyadari dirinya sebagai subjek pengetahuan (Kebung, 2008: 2011).
Selain tentang pengetahuan, hampir di seluruh karya Foucault juga ditemukan pembahasan tentang kebenaran dan kuasa. Dua karya monumentalnya, Surveiller et Punir: Naissance de la Prison (Discipline and Punish: The Birth of the Prison) dan Histoire de la sexualite I: La volonte de savoir (The History of Sexuality: An Introduction), merupakan karya-karya dominan tentang pembahasan ini. Seluruh karya Foucault memberi kesan sepintas bahwa politik, kuasa, dan otoritas merupakan fokus perhatian utama. Kendati demikian, analisis Foucault akan kuasa amat kompleks dan kritis (Kebung, 2008: 2011).
Ketika berdiskusi tentang kuasa, fokus perhatian Foucault adalah mekanisme dan strategi kuasa; bagaimana kuasa itu dipraktikan, diterima, dan dilihat sebagai kebenaran yang berfungsi dalam bidang-bidang tertentu. Ia menegaskan bahwa kuasa harus dilaksanakan dalam banyak posisi yang dapat dihubungkan secara strategis antara satu dengan yang lain. Kuasa seperti ini baginya ada di mana-mana. Di mana ada struktur dan relasi-relasi manusiawi, di sana ada kuasa. Hubungan aturan ditentukan dari dalam, bukan dari luar.
Kuasa, Foucault melanjutkan, tidak selalu bekerja melalui represi dan intimidasi, melainkan pertama-tema bekerja melalui aturan-aturan dan normalisasi. Kuasa juga tidak dilihat secara dialektis (menindas), melainkan haruslah dilihat secara positif dan produktif. Itulah mengapa menurutnya kekuasaan bukanlah sesuatu yang bersifat represif, melainkan kreatif (Gutting, 2005: 282-283). Foucault menganalisis relasi-relasi kuasa dan melihat bagaimana kuasa itu diterapkan dalam setiap wacana. Kuasa ini ada dalam setiap disiplin yang dihubungkan dengan sejumlah jaringan (Haryatmoko, 2016: 15).
Kuasa seperti ini bagi Foucault erat kaitannya dengan pengetahuan. Pengetahuan muncul dari relasi-relasi kuasa yang menandai subjek dan bukannya dari seorang subjek yang mengenal. Relasi kuasa dan pengetahuan itu saling tergantung satu sama lain (Gutting, 2005: 280). Kendati demikian, pelaksanaan kuasa ini tidak mungkin terjadi apabila tidak ada yang namanya rezim wacana (dan kebenaran) yang esensial dalam setiap kebudayaan dan masyarakat.
Dalam peristiwa sejarah, rezim wacana terlihat dalam apa yang dinamakan Foucault sebagai truth games (permainan-permainan kebenaran). Semua suku dan bangsa memiliki sejarah dan cara hidupnya sendiri. Ketika cara hidup dan segala bentuk relasi itu berpadu, terbentuklah wacana yang kemudian memungkinkan adanya pelaksanaan kuasa. Melalui wacana dan pelaksanaan lahirlah kebenaran. Kebenaran di sini adalah kombinasi formasi diskursif (teori, diskusi filosofis, dan ilmu pengetahuan) dan formasi non-diskursif (kuasa). Karena sejarah manusia selalu berubah, wacana pun selalu berubah. Begitu pula dengan kuasa yang tergantung pada wacana pun ikut berubah dan adanya perubahan ini mengandaikan adanya transformasi kebenaran (Kebung, 2008: 212-213).
Kebenaran itu pada akhirnya ada dalam sejarah dan karena itu ia bukanlah sesuatu yang stabil dan tetap, melainkan sesuatu yang harus selalu dicari dan ditemukan. Kuasa ditunjuk dalam setiap wacana ilmiah di mana kuasa strategis dipraktikkan. Kebenaran itu selalu ada dalam kuasa. Karena kuasa ada di mana-mana, maka demikian pula dengan kebenaran; ia ada di mana-mana.
Sejak tahun 1980-an Foucault mulai memusatkan perhatiannya pada subjek. Target utamanya menciptakan suatu sejarah tentang pelbagai model di mana manusia dijadikan subjek. Ia mengidentifikasi tiga cara objektivasi subjek. Pertama, objektivasi subjek melalui model-model penelitian yang menyingkapkan status sains seperti gramatika, filologi dan linguistik. Kedua, objektivasi subjek dalam praktik-praktik memisahkan. Subjek dipisah-pisahkan dalam diri atau terpisah dari orang lain. Sakit dipisahkan dari sehat, normal dari yang abnormal, dan lainnya. Ketiga, studi tentang cara manusia membentuk subjek (Kebug, 2008: 214-216).
Di sini terlihat jelas bahwa pemikiran Foucault menyingkapkan suatu pandangan etis, yaitu suatu proses subjektivasi, terutama dalam kuliahnya tentang parrhesia, di mana hal ini berkaitan erat dengan seluruh pemikirannya yang terarah pada pembentukan diri sebagai subjek. Tema ini sebenarnya terkandung dalam dua tema sebelumnya. Dalam diskusi, wacana, dan pembentukan episteme, dapat dilihat bahwa manusia sebagai subjek pengetahuan seringkali dijadikan objek. Dalam relasi dan praktik kuasa hal yang sama pun terjadi. Di sini Foucault hadir untuk mengkritisi sikap pengobjekan subjek sembari menyadari bahwa diri sendirilah yang mempraktikkan kuasa ini.
Dalam karyanya berjudul History of Sexuality, Foucault berbicara banyak tentang etika. Hal ini dilakukannya melalui studi-studi yang teliti dan luas tentang tingkah laku seksual, praktik-praktik seksualitas dalam sejarah yang memunculkan kesadaran tentang diri sendiri. Di sini ditemukan hubungan erat antara seksualitas, moralitas, dan personalitas (Kebung, 2008: 164).
Foucault ingin menyadarkan setiap orang bahwa tingkah laku seksual adalah sesuatu yang personal dan privat. Studinya yang mendalam tentang tingkah laku seksual, praktik-praktik seksual masa lampau, khususnya Yunani dan Romawi, menumbuhkan kesadaran tentang diri sendiri.
Bagi Foucault, kesadaran diri manusia akan keberadaanya sebagai subjek seksual terlihat dalam keinginan, nafsu, dan apa yang ia lakukan sebagai makhluk etis. Oleh karena itu, orang tidak perlu malu mengungkapkan perilaku seksualnya. Di titik ini Foucault berbicara tentang parrhesia, yaitu keberanian menyampaikan kebenaran kepada diri sendiri dan orang lain dengan pelbagai risiko dalam aktivitas ini.
Foucault amat menekankan tema ini di kuliah terakhirnya sebagai cara manusia membentuk diri lewat sekian banyak praktik yang melihat diri sebagai suatu karya indah yang harus senantiasa dikembangkan. Menurut Foucault, melalui semua latihan itu subjek diperlakukan sebagai objek yang harus dibentuk dan diperbaharui agar membentuk suatu model keberadaaan diri (Kebung, 2008: 216-217). Oleh karena itu, segala tindakan, termasuk seksualitas, seharusnya diarahkan untuk memperhatikan diri sebagai telos atau tujuan (care of the self) karena, bila seseorang dapat memberi perhatian kepada dirinya sendiri secara benar, maka orang tersebut juga dapat memberi perhatian selayaknya kepada orang lain (care for others).
Ketiga tema utama pemikiran Foucault di atas masih relevan hingga kini. Dalam praktik, misalnya, kekuasaan yang dilihat Foucault dilaksanakan secara formatif dan terstruktur kini makin jelas terlihat. Sebagai contoh, di bidang ekonomi, para pemodal atau kaum kapitalis bermain di balik undang-undang yang dibuat PBB untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Negara-negara miskin dibuat tergantung pada negara-negara kapitalis. Akibatnya, negara miskin dan berkembang susah untuk maju. Ini hanyalah salah satu contoh, dan masih banyak contoh lainnya. Di situasi seperti ini, kekritisan ala Foucault penting untuk diterapkan, baik itu untuk mengkritisi kekuasaan, pengetahuan, maupun etika.
Poin positif yang menarik dari seorang Foucault, bagi saya pribadi, adalah kegigihannya dalam menelusuri literatur kuno untuk memahami fenomena yang ada di dunia sekitarnya. Penelusuran itu membuatnya mampu menangkap pola dan hal mendasar apa dari setiap perubahan yang ada dalam kehidupan masyarakat.
Ternyata apa yang terjadi saat ini tidak terlepas dari apa yang terjadi di masa lampau dan masa depan pun tergantung pada apa yang dilakukan saat ini. Semuanya memiliki keterkaitan satu sama lain.
Poin lain yang kiranya, menurut hemat saya, perlu dikritisi adalah pandangannya tentang kekuasaan. Memang, Foucault sendiri dengan cukup jelas menunjukkan bahwa yang ia kritisi dan analisis adalah mekanisme dan strategi kekuasaan, tetapi ia tidak memberikan penjelasan yang memadai akan arti atau konsep kekuasaan/kuasa yang jelas seperti apa yang ia pahami dan pakai sebagai dasar untuk menganalisis. Bagi saya pribadi, sikap ini bisa menimbulkan kebingungan karena dasar dari apa yang dikritik dan dianalisis tidak jelas. Akibatnya orang bisa saja lari dari satu konsep ke konsep yang lain hanya untuk membenarkan analisisnya yang mungkin saja keliru.
Sebagai orang yang ahli dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, Foucault adalah pemikir yang sulit untuk dipahami. Namun, melalui tulisan ini, setidaknya ada tiga hal penting dari pemikiran Foucault yang bisa diambil. Pertama, pengetahuan itu luas dan beraneka ragam. Ada pengetahuan yang bisa dijelaskan secara rasional menggunakan akal budi dan ada juga yang tidak. Kedua, kekuasaan itu erat kaitannya dengan pengetahuan dan begitu juga sebaliknya. Artinya dengan mengetahui sesuatu selalu ada peluang bagi setiap orang untuk masuk pada sistem-sistem kekuasaan tertentu. Ketiga, memahami etika/subjek itu penting dalam kehidupan manusia, baik dalam relasinya dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri.
Pemahaman diri dan perilaku yang baik, entah itu terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, sangat menentukan seberapa bermartabat dan berkualitasnya kepribadian seseorang. Dengan demikian, diharapkan orang akan semakin mampu memahami realitas secara lebih tanggap dan kritis serta dapat menjadi manusia yang berkualitas di tengah zaman yang tak pasti dan penuh goncangan.
Referensi
Gary Gutting. 2005. The Shorter Routledge Encyclopedia of philosophy, edited by Edward Craig. New York: Routledge.
Michael, A. Peters. 2003. Truth telling as an Educational Practice of the Self: Foucault, Parrhesia and the ethics of subjectivity. Oxford Review of Education. Vol. 29, No. 2.
Suyono, Seno Joko. 2001. Tubuh Yang Rasis, telaah Kritis Michel Foucault atas Dasar-dasar Pembentukan Diri Kelas Menengah Eropa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hardiyanta, Petrus, Sunu.1997. Bagian Pengantar Michel Foucault; Disiplin Tubuh Bengkel Individu Modern, oleh Widyarsono. Provokasi: Emmanuel Subangun. Yogyakarta: LKiS.
Kebung, Konrad, SVD. 2008. Michel Foucault: Nabi dan Sejarawan Masa Kini, dalam Rasionalisasi dan Penemuan Ide-Ide. Jakarta Penerbit Prestasi Pustaka.
Kebung, Konrad, SVD. 2017. Michel Foucault: Kuasa Versus Rasionalitas Modernis (Revaluasi Diri Secara Kontinu). Jurnal Ledalero, Vol.16, No.1.
Haryatmoko. 2016. Membongkar Rezim Kepastian: Pemikiran Kritis Post-Strukturalis. Yogyakarta: Kanisius.
Sumber Ilustrasi: larousse.fr