Menyoal Autentisitas Bank Syariah

Indonesia merupakan salah satu negara yang menerapkan double windows dalam sistem perbankan, yaitu sistem perbankan konvensional di satu sisi dan sistem perbankan syariah di sisi lain. Sejak kelahirannya, perbankan syariah mendapat respon yang  positif dari berbagai kalangan. Ada yang beranggapan bahwa sistem perbankan syariah merupakan sistem alternatif dari sistem perbankan konvensional yang selama ini mendominasi dan hanya berorientasi keuntungan belaka (profit oriented).

Tentunya respon semacam ini bisa dimaklumi karena kelahiran perbankan syariah sendiri- menurut Abdullah Saeed- dilandasi dengan kehadiran dua gerakan renaissance Islam: neo-revivalis dan modernis, yang meyakini bahwa Islam adalah agama yang syamil (lengkap) dan kamil (sempurna), di mana seluruh aspek dan lini kehidupan manusia sudah diatur dalam Islam (Saeed Abdullah, 2006: 06). Kalangan ini beranggapan bahwa Islam (baca: syariah) bukan saja menyeluruh atau komprehensif, tetapi juga universal.

Seiring dengan berjalannya waktu, melihat praktik yang ada selama ini, sebagian kalangan mulai meragukan, mempertanyakan, dan mengkritisi perbankan syariah karena dianggap menyimpang bahkan keluar dari koridor syariah itu sendiri. Ada yang mempertanyakan pelaksanaan  produk, transaksi-transaksi yang sering disiasati, ketidakpekaan bank syariah terhadap  permasalahan sosial, sampai kepada anggapan bahwa perbankan syariah sebenarnya hanya sekedar “ganti baju”. Kritikan-kritikan semacam ini tentunya sangat diperlukan untuk kemajuan perbankan syariah ke arah yang lebih baik.

Tulisan ini tidak bermaksud menolak bank Islam atau memvonis bahwa perbankan syariah selama ini “tidak Islami”, melainkan ingin melihat, memperjelas, dan mengkritisi beberapa klaim-klaim ke-syar’i-an lembaga yang kini diidentikkan dengan Islam dari berbagai sudut. Benarkah bank syariah sudah beroperasi sesuai dengan syariah?

Secara normatif bank syariah bisa didefinisikan sebagai perbankan yang mendasarkan dirinya kepada al-Quran dan Sunah. Ada beberapa perbedaan- menurut para toritis dan praktisi- antara bank syariah dan bank konvensional. Perbedaan itu adalah bahwa bank syariah non-ribawai (tidak menggunakan riba), bersifat kemitraan, akad produk-produk yang digunakan, dan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS). Dengan kata lain, meminjam pandangan Syafi’i Antonio, perbedaanya terletak pada aspek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja (Antonio Syafi’i, 2001: 2009).

Dari sinilah kemudian kita bisa melihat apakah bank syariah konsisten dengan klaim mereka. Dan dari sini juga kita melihat ke-syar’i-an  bank syariah sudah sesuai atau tidak dengan konsep awal dan nilai-nilai Islam itu sendiri yanh tidak hanya berorientasi kepada keuntungan materi semata, tetapi harus bisa masuk kepada keadilan, kebahagian (al-falah), kemaslahatan, dan kesejahteraan sosial.

Pertaman adalah klaim bahwa bank syariah itu non-ribawi. Para teoritisi dan praktisi bank syariah menyimpulkan bahwa bunga yang dipraktikkan perbankan konvensional itu adalah sama dengan riba yang diharamkan oleh al-Qur’an. Dengan alasan inilah kemudian, meraka berusaha mendirikan lembaga keuangan yang bebas riba  dan melahirkan produk-produk pengganti bunga seperti mudharabah dan musyarakah, dua produk yang diasumsikan berdasar pada sistem bagi hasil (profit and loss sharing). 

Dengan dua produk ini, bank bermaksud bagi hasil dengan nasabah bukan dengan sistem bunga. Kenyataanya, bank kemudian menyadari dua produk yang berbasis  profit and loss sharing sulit diterapkan karena resiko yang mungkin diterima oleh bank sangat tinggi hingga akhirnya bank syariah enggan menjalankan dua produk tersebut.

Oleh sebab itu, bank syariah kemudian mencari “jalan lain”, dan menemukan apa yang di dalam fikih di sebut dengan murabahah, suatu model jual beli di mana pihak pembeli- karena satu dan lain hal-  tidak bisa membeli langsung barang yang diperlukan dari pihak penjual sehingga ia memerlukan perantara untuk mendapatkannya. Dalam proses ini, si perantara yang dalam hal ini adalah bank, biasanya menaikkan harga sekian persen dari harga aslinya.

Mengapa bank syariah mengadopsi murobahah? Alasannya tidak lain karena dengan murabahah resiko nyaris tidak ada. Praktik ini menjadi bisnis yang paling populer dan disenangi oleh bank-bank syariah, yaitu menduduki 60-70 persen usaha bank. Sementara dua produk sebelumnya (musyarakah dan mudharabah) pemakaiannya sangat minimal, hanya 30 bahkan sampai 0 persen.

Di sinilah kelihatan ketidakkonsistenan dan pergeseran  dari bank syariah sebagai bank yang bersistem bagi hasil (sebagai pengganti dari sistem bunga) menjadi bank yang berorientasi mencari keuntungan (profit oriented). Wajar saja, kalau kemudian ada pihak-pihak tertentu yang mengatakan bahwa bank syriah lama-lama terjebak pada sistem kapitalisme.  

Kedua, terkaitproduk yang digunakan, bank syariah sering kali “pilih kasih”. Penggunaan produk-produk qord al-hasan (fasilitas kebajikan), musyarakah dan mudharabah yang berorientasi untuk pengembangan ekonomi masyarakat miskin dan pengusaha pemula sangat terbatas. Padahal dalam konsep awal bergulirnya, bank syariah tidak hanya berorientasi untuk mencari keuntungan (profit oriented), melainkan ikut serta dalam membangun pertumbuhan, stabilitas dan keadilan ekonomi. Justru pemakaian produk murabahah  menurut berbagai penelitian sangat maksimal, mencapai 60-70 persen.

Bank syariah memilih akad murabahah karena berbagai alasan rasional: (a) murabahah  merupakan natural certainty contracs sehingga keuntungannya pasti. Berbeda dengan musyarakah dan mudharabah yang masuk dalam ketegori natural uncertainty contracs; (b) murabahah adalah investasi jangka pendek dan resikonya hampir tidak ada; dan  (c) margin keuntungan bisa langsung ditetapkan.

 Ketiga, bank syariah dalam melakukan transaksi mudharabah belum sepenuhnya berani (baca: enggan) berbagi resiko dan kerugian (loss/risk sharing). Dalam konsepnya, bank syariah sesungguhnya bukan hanya berbagi keuntungan saja dengan nasabah, melainkan juga berbagi resiko dan kerugian. Sekalipun memang-sesuai dengan keterangan Prof. Syamsul Anwar- dana yang didapat dari shahibul mal itu sudah digabung di bank dan tidak bisa lagi dikatakan ini dana dari si A, B, C, dan seterusnya sehingga ketika terjadi kerugian, itu sudah bisa ditutupi dari keuntungan dana yang lain. Meskipun demikian,   akibat dari keengganan tersebut, maka dalam pembagian return, bank syariah biasanya tidak lagi berdasarkan bagi hasil dan rugi (profit and loss sharing), tetapi menggunakan sistem bagi pendapatan (reveneu sharing), sesuatu yang menyimpang dari konsep awal.

Keempat, bank syariah biasanya  selalu berkutat dan sibuk pada keabsahan sebuah produk dari aspek hukumnya. Sementara struktur, motif, dan batasan modal asing sering  kali terabaikan. Kondisi seperti ini tentunya sangat mengkhawatirkan. Seperti yang ditulis  M. Dawam Rahardjo dalam Harian Kompas (14/02/2014), bahwa adanya kekhawatiran akan jatuhnya bank syariah kepada pemodal asing sejalan dengan meningkatnya pangsa pasar bank syariah.

Selain empat poin di atas, tentunya masih banyak  masukan yang kita temukan yang diberikan oleh berbagai kalangan, baik itu berupa saran atau pun kritikan. Dalam hal menajemen promosi/periklanan yang dilakukan oleh para praktisi bank syariah di Indonesia, misalnya, pihak bank syariah seringkali memakai  istilah  yang itu sangat identik dengan Islam seperti “berkah”, “amanah”, “mendapat ridha Allah”, “riba sama dengan bunga, memakan bunga bisa masuk neraka” dan lain-lain sebagainya.

Promosi yang demikian mengakibatkan adanya anggapan bahwa perbankan syariah hanya diperuntukkan untuk orang Islam saja. Dalam konsep awalnya tentunya bank syariah itu bukan hanya diproyeksikan kepada muslim saja, melainkan juga kepada non-muslim. Hal ini bisa kita lihat, bagaiman non-muslim menjadi nasabah di beberapa negara minoritas muslim seperti Inggris, Denmark, Filipina, dan beberapa negara lainnya.  Saran dan kritikan seperti ini tentunya harus ditindaklanjuti oleh pihak bank syariah

About Hamka Husein Hasibuan

Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bidang Kajian Maqasid dan Analisis Strategik, Interdiciplinary Islamic Studies (IIS)

View all posts by Hamka Husein Hasibuan →

2 Comments on “Menyoal Autentisitas Bank Syariah”

  1. Thank you for your sharing. I am worried that I lack creative ideas. It is your article that makes me full of hope. Thank you. But, I have a question, can you help me?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *