Mengapa Kita Tidak Bunuh Diri?

“Mengapa kita tidak bunuh diri?” Sekilas pertanyaan ini terdengar cukup aneh. Orang biasanya akan bertanya, “Mengapa orang bunuh diri?”, “Apa sebab orang bunuh diri?”, atau “Untuk apa orang bunuh diri?”. Semua pertanyaan ini sangat mudah dijawab dan telah menjadi konsumsi sehari-hari para psikolog. Orang akan bunuh diri ketika ia mulai menyadari bahwa kehidupannya tidak lagi berarti. Namun, bukankah kehidupan memang tidak berarti? Oleh karena itu, sekali lagi, mengapa kita tidak bunuh diri?

Perlu dipertegas sejak awal bahwa tulisan singkat ini bukanlah upaya untuk menjawab pertanyaan yang sedang kita ajukan, melainkan upaya untuk membuktikan betapa problematiknya pertanyaan tersebut.

Meminjam teori Richard Dawkins, Bapak Novian Widiadharma, dalam salah satu sesi Sekolah Filsafat Klasik, berusaha memberikan jawaban atas pertanyaan “mengapa kita tidak bunuh diri?”. Dia mengatakan bahwa gen-lah yang membuat kita tidak melakukan praktik bunuh diri karena, sebagaimana teori seleksi alamnya Darwin, gen akan berjuang sekuat mungkin untuk bertahan hidup. Selain itu, doktrin agama juga berperan penting mencegah manusia dari praktik bunuh diri.

Sebagaimana kita ketahui bersama, bunuh diri adalah salah satu dosa besar dalam agama. Dengan menggantung diri anda sendiri, berarti anda telah merampas hak prerogatif Tuhan. Kepercayaan seperti ini sebenarnya tidak hanya kita temukan dalam doktrin agama-agama formal, melainkan juga dapat ditemukan dalam kepercayaan masyarakat pagan.

Pertanyaannya, apakah jawaban yang diberikan Bapak Novian Widiadharma keliru? Tentu tidak. Secara umum saya justru sepakat dengan jawaban yang ia berikan. Jika demikian, lalu di mana letak problematiknya? Pertanyaan “Mengapa kita tidak bunuh diri” akan menjadi problematik jika ia dipikirkan sebagai pertanyaan praktis. Bapak Novian Widiadharma memikirkan pertanyaan itu sebagai pertanyaan teoritis sehingga ia pun menjawabnya berdasarkan apa yang senyatanya terjadi.

Memikirkan pertanyaan itu sebagai pertanyaan praktis berarti anda sedang bertanya, terlepas dari apakah agama melarangnya atau tidak, “Mengapa seharusnya kita tidak bunuh diri?”. Lebih jelasnya, “Mengapa kita tidak boleh bunuh diri?”. Pertanyaan praktis inilah yang muncul dalam karya Plato yang berjudul Matinya Socrates (Phaedo).

Dalam karyanya itu, Plato memuat memuat dialog Socrates dengan murid-muridnya di penjara Athena menjelang dieksekusi mati. Mereka yang dijatuhi hukuman mati, karena ia tahu kapan dan bagaimana ia akan mati, tentu akan selalu dihampiri rasa cemas. Namun tidak dengan Socrates. Alih-alih memperlihatkan gelagat cemas, Socrates justru berkata kepada murid-muridnya, “Siapa pun yang memiliki jiwa filsafat akan rela mati meskipun ia tidak akan mengakhiri hidupnya sendiri karena itu dianggap tidak benar”. Di bagian lain dari dialog tersebut Socrates bahkan mengeluarkan pernyataan yang lebih radikal bahwa seorang filsuf selalu mendambakan dan memburu kematian. Pernyataan-pernyataan Socrates ini tentu dapat dipahami setelah kita memahami doktrin filsafatnya yang memandang rendah hasrat duniawi.

Jika memang kematian adalah sesuatu yang seharusnya didambakan, bukankah orang bisa menentukan kapan dan dengan cara apa ia ingin mati? Dengan kata lain, kematian tidak harus ditunggu. Jika orang merasa bosan menunggunya, ia bisa menjemputnya kapan pun dia mau. Persis inilah yang ada dalam pikiran Cebes, salah satu murid Socrates, ketika dia bertanya pada gurunya tersebut, “Mengapa kita tidak boleh bunuh diri padahal kita bisa saja melakukannya?”. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Socrates mengatakan bahwa kita tidak boleh bunuh diri karena kita tidak berhak untuk melakukannya; jiwa kita adalah milik para dewa. Socrates mengibaratkan hubungan diri kita dengan para dewa seperti hubungan hewan ternak dengan pemiliknya. Jika hewan ternak memiliki kebebasan untuk bunuh diri dan ia pun melakukannya tanpa seizin pemilik, tentu si pemilik akan marah.

Jawaban Socrates ini mewakili pandangan umum masyarakat Athena pada waktu itu; masyarakat Athena menganggap bunuh diri sebagi perbuatan yang tercela. Aristoteles dalam Nicomachean Etics bahkan  menyebut bunuh diri sebagai tindakan pengecut yang menciderai prinsip keadilan masyarakat.

Satu lagi jawaban Socrates yang tidak bisa kita lewatkan begitu saja. Masih dalam konteks menjawab pertanyaan Cebes, Socrates berkata, “Manusia adalah narapidana yang tidak punya hak untuk membuka pintu penjaranya dan lari”. Prinsip ini juga yang membuat Socrates tidak melarikan diri dari penjara sekali pun dia memiliki kesempatan untuk itu. Namun, menganggap manusia sebagai narapidana dalam kehidupan sama artinya dengan menganggap kehidupan itu sendiri sebagai hukuman yang harus dijalani oleh manusia.

Anggapan seperti ini akan menjerumuskan kita pada problem yang cukup serius. Kesalahan apa yang telah dilakukan manusia di masa pra-eksistensinya sehingga ia layak dihukum dengan cara melahirkannya ke dunia? Jika pertanyaan ini tidak dapat dijawab, berarti kehidupan tidak lain dari hukuman yang semena-mena, dan mereka yang lari darinya tidak bisa dinilai pengecut dan tercela.

Kembali kepada pertanyaan awal kita. “Mengapa kita tidak bunuh diri?” Memikirkan pertanyaan ini sebagai pertanyaan praktis akan menggiring kita pada realitas yang sangat sulit untuk diterima. Walau bagaimana pun, pertanyaan “Mengapa kita tidak bunuh diri?” Sama artinya dengan bertanya pada diri sendiri, “Mengapa kita harus hidup?” atau “Mengapa kita harus tetap eksis di dunia?”. Pada akhirnya orang harus menemukan arti dan tujuan hidup.

Bagi mereka yang berlindung di balik doktrin kitab suci, problem ini tidaklah rumit. Mereka akan menjawab bahwa kita ada di sini atas dasar kehendak Tuhan dan untuk menjalankan perintahNya. Baiklah, namun bagaimana kita bisa tahu itu? Satu-satunya fakta yang bisa kita ketahui tentang kehidupan adalah bahwa kita ada di sini secara kebetulan dan, meminjam ungkapan Martin Heidegger, sedang menuju pada kematian. Realitas ini cukup sederhana namun sangat sulit untuk diterima.

Memang, tidak ada yang lebih menakutkan selain dari pada apa yang kita sebut sebagai “kebetulan”. Kebetulan mengindikasikan kekacauan, kabur, tidak bermakna, dan tidak masuk akal. Sebagian orang memang dapat dengan mudah menyebut peristiwa partikular yang tidak bisa mereka jelaskan dengan nalar sebagai peristiwa “kebetulan”, namun akan sulit menyebut peristiwa keberadaannya di dunia dengan sebutan yang sama karena itu dapat berujung pada kegilaan. Seluruh tafsir atas kehidupan adalah upaya untuk menghindari kegilaan ini.

Sumber ilustrasi: artmajeur.com

 

About Minrahadi Lubis

Pelajar Filsafat

View all posts by Minrahadi Lubis →

1,296 Comments on “Mengapa Kita Tidak Bunuh Diri?”

  1. Wow, superb blog layout! How long have you ever been blogging for?
    you made running a blog glance easy. The full look of your site is magnificent, as well as the content!
    You can see similar here najlepszy sklep

  2. Hello!

    This post was created with XRumer 23 StrongAI.

    Good luck 🙂

  3. Hello.

    This post was created with XRumer 23 StrongAI.

    Good luck 🙂

  4. I don’t think the title of your article matches the content lol. Just kidding, mainly because I had some doubts after reading the article.