Menalar Tuhan yang Imanen

Abad ke-18 adalah era di mana pemikiran manusia disandarkan pada rasionalisme yang mengafirmasi ke-aku-an (sentralitas-subjektif). Geliat dan gelombang pemikiran di abad ini berangkat dari keyakinan epistemologis bahwa segala sesuatu disangsikan kecuali dari hasil kesimpulan berpikir yang matang. Sebagaimana ungkapan yang terkenal dari Rene Descartes di abad sebelumnya, “cogito ergo sum”. Selanjutnya, segala kebenaran yang diserahkan ke pangkuan hukum akal budi yang bersifat universal ini kemudian dipertimbangkan kembali oleh Voltaire yang membawa tajuk empirisme ke dalam diskursus pemikiran di Perancis kala itu (Betrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, 2001).

Meski tidak senaif kaum Folly (orang yang belum berpengalaman) di masa Yunani dulu, yang mengatakan, bahwa kebijaksanaan tidak selalu bergantung pada hukum-hukum penalaran, setidaknya Voltaire tidak mengabaikan instrumen unsur fisikal yang menggerakkan manusia untuk bertindak. Dari aspek kesejarahan ini, tidak salah bila dikatakan abad ini sebagai abad yang menandai berakhirnya cengkraman mistis dan magis di bawah altar pemikiran kosmos yang suci, yang secara umum telah di mulai sejak abad ke-16 di belahan dunia Barat sebagai embrio dari lahirnya kemegahan positivistik.

Pencerahan pemikiran di Barat yang pada mulanya bangkit untuk keluar dari cengkeraman mistis dan magis lambat laun masuk ke dalam segala ruang kehidupan, termasuk interpretasi ketuhanan (agama). Itu sebabnya, di era dunia positivistik saat ini, ilmu pengetahuan menawarkan pembacaan terhadap realitas menggunakan berbagai perspektif.

Artinya, segala realitas, termasuk agama, tidak bisa membatasi pembacaannya hanya pada satu titik saja karena hal tersebut akan menghasilkan kesimpulan sepihak (Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi, 2012).

Akibatnya, sulit untuk merumuskan dan memecahkan misteri yang terjadi di balik fenomena keberagamaan. Pendek kata, penyelidikan akan suatu fenomena, penyebab utamanya tidak lagi hanya dicari dalam Tuhan (Theo sentris) melainkan penyebab utama juga harus dicari di luar Tuhan. Urgensi mengkaji penyebab utama di luar Tuhan adalah agar manusia menemukan kepastian dalam dirinya sebagai manusia yang berpikir.

Mengkaji Tuhan lewat pengandaian yang berdimensi ilahiah dan sakral hanya tiba pada kesimpulan yang melangit dan berjarak dari kehidupan manusia dan biasanya hanya berhenti pada diskursus ontologis saja, seperti Tuhan itu ada, suci, maha esa dan maha kuasa.

Menalar Tuhan di luar doktrin dan dogma keimanan atau menalar Tuhan secara rasional-empiris dengan mengkaji manusia sebagai subjek dan objek penelitiannya adalah penyelidikan yang berangkat dari segala aspek tindakan dan penghayatan manusia di alam nyata, yang lebih dikenal dengan penyelidikan sosiologis-antropologis.

Sumber Ilustrasi: cargocollective.com

Penyelidikan ini memberi gambaran nyata tentang Tuhan yang sepadan dengan pengalaman manusia dan lebih mampu memutus jarak antara konsepsi ketuhanan dengan apa yang dirasakan oleh manusia itu sendiri. Tentu, penyelidikan dengan model ini menghasilkan konklusi yang berbeda dari konsep-konsep ketuhanan yang dikaji berdasarkan kepercayaan dogmatis.

Ibn Khaldun, misalnya, menggambarkan Tuhan kaum kontemplatif sebagai Tuhan yang membenci dunia. Relasi kedekatan antara Tuhan dengan manusia ditentukan oleh kemampuan manusia menghindari ketergantungan terhadap dunia (Ibn Khaldun, The Muqaddimah, 1958). Makin jauh jarak manusia dengan dunia maka makin dekat ia dengan Tuhannya. Berbeda dengan Durkheim yang berpandangan bahwa agama sebagai interpretasi zat yang suci dan Tuhan itu sendiri merupakan kualitas-kualitas sakral yang dijaga guna menghadapi setiap kondisi eksistensi manusia. (Durkheim, The Elemntary Forms of Religius Life, 1961).

Lebih radikal, Russel berpandangan bahwaTuhan merupakan hasil dari interpretasi yang mengandung teror dan harapan yang diwujudkan dalam bentuk agama. Baginya, pangkal dari segala konsepsi tentang Tuhan adalah ketakutan yang difatwakan dari orang-orang yang ceroboh di masa lalu. (Betrand Russell, Why I am Not a Christian, 1927).

Kajian tentang Tuhan di atas, adalah kajian yang membawa penyelidikan tentang Tuhan dari wilayah transenden ke wilayah imanen. Kajian seperti ini tidak berimbas pada keyakinan sama sekali. Penyelidikan yang menjadikan manusia sebagai jalan menemukan Tuhan yang empiris memudahkan kita untuk merambah hubungan interpretasi tentang Tuhan (agama) dengan ruang-ruang kehidupan manusia yang lain seperti, politik, hukum, ekonomi, dll.

Kajian yang demikiqn dapat menggambarkan secara utuh pola kebertuhanan dalam kehidupan manusia yang senyatanya. Capaian tertinggi dari penyelidikan semacam ini bagi pegiat ilmu sosial setidaknya mampu mengakhiri kevakuman pembacaan terhadap fenomena yang dialami manusia mengenai kebertuhanan dan melahirkan kritik sosiologis yang membantu memecahkan masalah teologi.

Sayangnya, kaum konservatif enggan menyelidiki Tuhan yang empirik. Akibatnya, interpretasi ketuhanan yang tendensius sering luput dari pengamatan kaum konservatif. Adanya batasan dalam menyelidiki Tuhan yang diajarkan setiap agama dan anjuran agama untuk menggeluti Tuhan dalam wilayah transenden, membuat takut pemeluknya karena kerap disangkakan sebagai orang yang menciderai kesucian Tuhan. Itu sebabnya, atas nama Tuhan sering kali kaum beriman diperalat demi memuluskan syahwat kekuasaan. Atas nama Tuhan juga, kaum beriman digiring untuk terlibat dalam mata rantai ekonomi yang menguntungkan pemilik modal.

Relasi interpretasi ketuhanan terhadap fenomena yang mengepung manusia mustahil bisa dimengerti bila Tuhan diselidiki dari kehendak dogma saja. Padahal, sebenarnya, wilayah keyakinan dan wilayah yang murni pengetahuan adalah dua hal yang berbeda. Penyelidikan Tuhan yang empiris dengan membebaskannya dari belenggu transenden sewaktu memahami fenomena sosial adalah sebuah upaya untuk mendudukkan kenyataan yang dialami manusia meski di ruang-ruang keimanan, Tuhan tetap diyakini sebagai dasar dan jaminan atas kehidupan.

Perlu digaris bawahi bahwa menalar Tuhan yang empiris tidaklah bertujuan untuk menggugat otoritas Tuhan yang transenden. Justru sebaliknya, untuk kembali memposisikan Tuhan pada hakikatnya yang sakral dan membersihkan nama Tuhan dari debu kepentingan.
Mengakhiri tulisan ini, saya teringat akan gagasan Heidegger, tokoh besar fenomenologi, yang mengatakan bahwa relasi yang berjejaring dalam fenomena kehidupan manusia bukanlah sesuatu yang abstrak. Bukan pula sekedar ontologi metafisis. Yang ontologis mesti menjadi yang konkrit-etis. (Sugiharto, Humanisme dan Humaniora, 2008).

About Suheri Rangkuti

Alumni Pascasarjana bidang Pemikiran Pendidikan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

View all posts by Suheri Rangkuti →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *