Masalah Tuhan dalam Kesusasteraan

Soal Tuhan adalah soal yang tiada habis-habisnya sejak dahulu. Untuk mendapat Tuhan terlebih dahulu orang menyiapkan diri dengan kepercayaan sebagai konsesi. Dengan tiada ini ia akan lenyap. Kepercayaan adalah pula hal yang sangat luas, yang mana dengan tiada kejujuran akal sifatnya sebagai kepercayaan hilang lenyap.

Dan apabila kepercayaan bukan buah hasil akal yang mencari, sehingga dengannya seseorang tak perlu mencari lagi, dan akalnya terlepas dari suatu beban tersebut untuk mengambil beban yang baru, maka ia akan berubah roman bersama sendi-sendinya: kefanatikan.

Dan sepanjang sejarah, orang-orang fanatik inilah yang dijadikan umpan dalam medan pertempuran untuk mereka yang berpikir, mereka yang sanggup menggerakkan massa dan akhirnya pula yang mengecap nikmat buah amal massa yang fanatik. Dan kefanatikan itu yang membuat orang jadi buta akal, yang cuma melihat satu sinar saja, dan itu pula yang ditujunya, hendak direguknya habis-habis, dan sebagaimana halnya laron mencari api, dia terbakar kena apinya—kematian yang romantis. Dan kematian-kematian yang romantis ini tiap selalu datang dan pergi sepanjang zaman, juga dalam buku-buku dalam zaman.

Bagi mereka yang tidak atau tidak mau mengikuti perkembangan alam pikiran individu, memang merasa janggal rasanya bila membaca buku-buku yang antara lain dalamnya termaktub kalimat-kalimat yang seakan atau memang dengan sengaja meniadakan, mengejek atau mengingkari adanya Tuhan. Perkataan janggal adalah terlampau lunak untuk itu. Sebaiknya perkataan itu diganti dengan marah. Dan ini adalah soal yang gampang dimaklumi. Diktator Kebiasaan yang turun-temurun itu memang menghendaki agar semua dapat terangkum dalam kekuasaannya. Tapi sebagaimana juga dalam segala macam ketertiban kemasyarakatan, maka dalam hal ini pun ada brandal-brandal yang menentang kediktatoran Kebiasaan. Dan sepanjang sejarah mereka ini adalah perintis jalan baru atau dia yang terkutuk dalam pengertian yang luas atau sempit, atau dia adalah kedua-duanya sekaligus.

Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan kestatisan kepercayaan, maka Tuhan seakan-akan mendapat dua macam dalam jiwa manusia. Tuhan di satu tempat adalah Tuhan yang dikehendaki agar dipercaya, dianut, dipatuhi. Tuhan di tempat yang lain lagi adalah Tuhan sebagai objek, sebagai sesuatu yang dikehendaki agar diurai, dipahami.

Jadi kita mengenal Tuhan di dua tempat: Yang harus dipercayai dan Yang harus dipahami. Yang Pertama adalah akibat—atau hendaknya sebagai akibat—dari yang kedua. Bila yang ada pada seseorang hanya Yang Pertama belaka, ini tidaklah mengherankan. Ini adalah suatu soal tukang sulap yang mana seluruh jawatan sudah tersedia. Yang kedua adalah soal pencarian, pengertian, perjuangan jiwa—tak ubahnya dengan seseorang yang dengan tekunnya mencari unsur-unsur baru yang belum pernah dikenal orang, atau mendapatkan obat baru yang belum pernah didapatkan orang, untuk kelangsungan sejarah kemanusiaan. Kebimbangan atau kesangsian yang sehat adalah lebih baik daripada kepercayaan atau keyakinan yang buta, dan yang hanya baik bagi golongan yang kehilangan akalnya.

Mereka yang memandang Tuhan sebagai titikmati yang tak boleh disinggung-singgung, sesungguhnya tidak benar mengutuki demokrasi yang mengakui hak-hak asasi pada manusia, yang mana dengan hak-hak ini pula Sokrates (dalam demokrasi antiknya) mengejek demokrasi yang memberinya hak untuk mengejeknya, tapi yang juga telah mempergunakan hak-haknya untuk meruntuhkan kekuasaan sophisme, dan jadi perintis baru dalam lapangan filsafat, dan sebagai konsekuensi dari keberandalannya ia harus kehilangan nyawanya sendiri. Dan dengan tiada perintis-perintis sebagai ini, lapangan pemikiran—juga di lapangan keTuhanan—hanya terbatas pada selingkungan kata-kata belaka, dan kemudian pengertian akan tersepak kian-kemari. Orang akan terjerat dalam kekuasaan dogma-dogma melulu. Dan sesungguhnyalah. Kematian di selingkungan kata-kata belaka adalah kematian yang selamanya mengikuti di belakang tiap perkembangan atau kemajuan. Dan kemampuan ini selamanya menjadi bahaya yang mengancam kedewasaan pikir manusia dari abad ke abad.

Keberanian menghadapi yang baru sangat diperlukan dalam masa perubahan: keberanian yang terbit dari hati yang jujur. Juga keberanian mengaji asas-asas yang sesungguhnya jadi jalan untuk mengerti, memahami. Dengan tiada keberanian ini, jalan ke arah penindasan hak-hak asasi terbuka luas-luas.

Kemampusan di selingkungan kata-kata belaka ini sesungguhnya adalah kemampusan yang dimulai dari alam pikir manusia sendiri. Hanya keberanian yang sanggup menghindarkan kemampusan ini. Orang tahu, bahwa tiap istilah bergeser-geser pengertiannya sepanjang waktu dan keadaan untuk mendapatkan kemasakannya sendiri. Tiap istilah, tiap pengertian, juga tiap pengertian tentang Tuhan.

Kesusasteraan sebagai pencerminan kehidupan kemasyarakatan, tentu saja mau tak mau membawa-bawa masalah Tuhan ini di dalamnya. Di lapangan ini terdapat juga dua tempat untuk Tuhan, yang mana seperti disebutkan di atas: Yang harus dipercayai dan kedua Yang harus dipahami. Tuhan di tempat yang pertama, yang dianggap sebagai pemecah dari segala masalah, adalah yang paling biasa dalam kesusasteraan seperti halnya dalam kehidupan kemasyarakatan. Tuhan di tempat kedua lambat-laun tapi pasti kini mulai merayap dalam kesusasteraan Indonesia. Suatu hal yang mesti dan harus terjadi. Dalam kehidupan masyarakat Indonesia pun Tuhan yang harus dipercayai, disembah dan dimohoni, dalam kebimbangan orang terhadapnya. Ia menjadi sesuatu yang harus dipahami. Pengertian manusia terhadap sesuatu mendekatkan dia pada sesuatu itu sendiri sekalipun sesuatu itu ada dalam berbagai nama. Dan pemujaan selamanya memberikan kesan, bahwa ada suatu penidasan rohani yang sebenarnya tidak perlu diperkuat dalam suatu ketertiban tertentu.

Pemujaan adalah sahabat karib kefanatikan yang biasanya bergandengan tangan dan tiap kesempatan dipergunakan mereka untuk membunuh akal: malakulmaut kemerdekaan berpikir dan kemajuan. Kedua-duanya akan mengakibatkan pembakaran hati mereka yang dihinggapi bila kedua-duanya itu tersinggung oleh barang keras atau lunak—barang yang tak dikehendaki. Tetapi keadaan dan waktu selamanya memberikan kemungkinan baru untuk tiap perkembangan, dan dalam hal ini rintangan dari pemuja-pemujanya akan membangkitkan konflik kemasyarakatan yang berpangkal pada konflik pemikiran. Dan konflik-konflik semacam itu akan ada terus-menerus selama dalam masyarakat itu sendiri masih ada semangat hidup pada anggota-anggota masyarakatnya. Jumlah tidaklah jadi faktor yang menentukan, tapi pembuatan jalan ke arah keinsafan baru yang jadi pokok soal.

Tentu saja perintisan jalan ke arah keinsafan baru itu membutuhkan tunjangan dari keberanian yang berpangkal pada kejujuran; dan kejujuran yang disebabkan karena pemilihan pribadi sendiri kembali. Dengan tiada ini bahaya kematian di selingkungan kata-kata belaka sudah lama menerkamnya jadi korban. Dan dalam masyarakat ini telah begitu banyak mereka yang kehilangan kepribadiannya, kehilangan diri, telah menderita sakit keras dimakan kuman-kuman kefanatikan dan pemujaan.

Dalam kesangsiang sehat yang mesti ditimbulkan oleh alampikrian yang dinamis, orang mencari pengetian-pengetian baru yang lebih berisi, yang lebih besar dan lebih sesuai dengan kehendak jiwanya buat diisikan pada kata-kata abstrak yang telah dibuat mati. Dan dalam hal ini masalah Tuhan termasuk di dalamnya. Dan pengertian-pengertian baru—termasuk juga tentang Tuhan—dengan sendirinya akan jauh berlainan sifatnya daripada pengertian-pengertian usang atau yang telah diusangkan yang diberikan oleh Kebiasaan.

Kalau suatu golongan telah mencemooh Tuhan ini bukanlah karena Tuhan itu sendiri, justru tiap orang yang berpikir ke arah itu tidaklah akan mendapat penjelasan yang memungkinkan ia berpuas hati. Cemoohan ini adalah cemoohan yang dilemparkan oleh golongan itu kepada pengertian-pengertian yang diisikan pada nama itu oleh sang Kebiasaan. Dan bukan kejadian baru hal demikian. Pada waktu-waktu yang tertentu ada saja golongan baru yang berbuat demikian.

Sudah jadi kemestian bahwa orang mengertikan kata-kata abstrak dengan kemampuan rohaninya masing-masing. Dan buat suatu golongan masyarakat yang masih banyak lagi membutuhkan kemampuan rohani ini mengertikan Tuhan sesuai dengan kebutuhannya yang ia sendiri tak mungkin dapat memenuhinya di dunia ini. Mereka mengertikan Tuhan menurut nafsunya masing-masing yang tak dapat dipuaskan di dunia ini. Dan tidaklah mengherankan mengapa kadang-kadang Tuhan diartikan sesuatu yang maha-maha-kuasa, yang sanggup memuaskan segala nafsu kebinatangan mereka, nafsu yang takkan mungkin dipuaskan di dunia ini dalam seluruh hidup seseorang makhluk, nafsu yang tak lagi terangkum dengan kekuatan jasmani terutama. Dan karena itu bukanlah hal yang mengagumkan lagi bila golongan demikian menganggap Tuhan yang dipujanya sebagai kepala harem besar (atau sebutlah yang lebih ekstrem lagi: bordeel) dengan sorganya yang penuh bidadari, ideal hawa nafsu sejati—sebagai komandan kempel (dengan nerakanya lengkap dengan siksa-siksanya)—sebagai diktator, (karena tak ada di antara keputusannya yang diambil secara parlementer, yang mana seluruh kekuasaan mutlak ada padanya).

Teranglah bawah golongan yang mengingkari Tuhan pada hakekatnya mengingkari pengertian yang diberikan pada nama tersebut. Pengertian seperti tersebut di atas terbit dari jiwa yang masih harus banyak lagi mengisi diri dengan kejujuran. Dan ini tak dapat diharapkan dapat terlaksana dari kalangan besar. Ini hanya bisa terjadi bila seseorang telah memiliki dirinya kembali, setelah dapat merenggutkan dirinya dari pegadaian Kebiasaan.

Dalam kesusasteraan, konflik pemahaman tentang Tuhan ini telah dimulai sejak dahulu dan tidaklah merupakan kejadian setempat, tetapi yang sesungguhnya adalah suatu pemberontakan seorang pengarang terhadap anggapan-anggapan biadab tentang Tuhan. Malahan seorang pujangga Islam Omar Kayyam di antara begitu banyak rubayyat-rubayyatnya ada pula menyinggung-nyinggung anggapan biadab itu. Juga dalam kesusasteraan Indonesia dewasa ini konflik pemahaman itu telah terbawa ke dalamnya. Dan pada suatu waktu tertulis juga oleh Hariadi S. Hartowardojo:

Aku jumpa Tuhan di tikungan.

Kucabut keris terus kutikam.

Atau juga oleh Idrus:

Tuhan lama sudah bertukar dengan Tuhan baru.

Keingkaran terhadap pengertian Tuhan yang diakibatkan oleh hawa nafsu rendah, tidaklah patut dikuatirkan. Juga buku-buku kesusasteraan yang membawakan sekelumit dari kehidupan kemasyarakatan semacam itu di dalamnya tak perlu benar dinamai buku-buku cabul atau buku yang merusak moral, atau yang lazim di waktu ini: hasil moral yang diamuk krisis. Kesusasteraan sebagai senjata yang utama untuk mereka yang tak punya kekuasaan sebagai kaum politisi, yang tidak punya uang sebagai kaum plutokrat, yang tak punya bedil sebagai kaum militer, yang tak punya japamantra sebagai kaum tenung, adalah yang paling baik untuk memerangi nafsu-nafsu biadab dari massa. Dan ini bukanlah kejahatan. Bahwa ada golongan yang bertahan pada segala macam perbaikan memang ada dan tetap ada dalam masyarakat manapun jua. Dan itu tak patut mendapat perhatian.

Dengan demikian mengapa di masa ini banyak pengarang yang mencemooh Tuhan dapat disimpan kembali. Dan bila seseorang telah menyadari bahwa di hadapan diri sendiri dan alam tiap manusia adalah telanjang-bulat, ia tidak akan kaget pabila pada suatu waktu nama Tuhan berpindah jadi Alam atau Kebenaran, justru yang jadi pokok soal adalah kepercayaan dan kepercayaan pada pendapat dan kebenaran pengertiannya bahwa dengan itu ia bisa menolong kemanusiaan atau setidak-tidaknya kepribadiannya sendiri. Perpindahan atau pengertian nama ini tidaklah mengganggu rasanya, karena seseorang akan tetap sebagaimana dirinya sekalipun berganti nama seribu kali sehari.

Masalah Tuhan sesungguhnya tidaklah baru buat Indonesia. Konflik pemahaman terhadapNya sudah lama ada, juga dalam kesusasteraan. Hamzah Fansuri terpaksa memberikan jiwanya karena ini, berhubung kuatnya diktator Kebiasaan dalam menindas hak-hak asasi manusia. Syekh Siti Djenar di masa parawali giat menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, dan yang harus menebus pemahamannya tentang Tuhan dengan jiwanya sendiri.

Lama setelah masalah ini macet, tiba-tiba pada tahun 1949 muncul buku Ahdiat K. Mihardja Atheist, yang karena keadaan masa yang menguntungkan, tidak perlu lagi mengorbankan jiwa pengarangnya, tapi cukup menggemparkan terutama di kalangan kaum agama. Bukan mengherankan lagi bila buku ini di beberapa keluarga dianggap tabu—keluarga yang takut kehilangan janji-janji muluk dari Tuhannya, Tuhan yang dianggapnya sebagai sesuatu yang kelak akan memenuhi segala nafsu kebinatangan dan kebiadabannya. Tak ubahnya dengan orang dahulu kehilangan ajimantra, kehilangan dewa-dewanya juga sekarang dikeram di museum.

Catatan:

Sumber Tulisan: Majalah Siasat Nomor 273 Tahun ke-VI hal. 19 (27 Juli 1952)

Sumber Gambar: pinterest.com

Pentranskip (dengan penyesuaian ejaan): M.S. Arifin

Lihat juga: bukurasi

55 Comments on “Masalah Tuhan dalam Kesusasteraan”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *