Komunisme dan Islamisme: Dua Hantu bagi Demokrasi

Setelah komunisme runtuh, bisa dikatakan bahwa islamisme adalah satunya-satunya gerakan yang jadi pesaing demokrasi di abad 21. Tragedi 11 September setidaknya telah menegaskan hal tersebut.

Mengapa islamisme? Francis Fukuyama dalam The End of History mengatakan bahwa hanya islamisme-lah satu-satunya gerakan yang mengusung sistem politik alternatif yang dikenal dengan sebutan khilafah.

Dalam skop global, gerakan islamisme tentu tidak akan berjalan dengan mulus karena sistem yang mereka usung sulit terima, bukan saja oleh masyarakat non-muslim, bahkan oleh masyarakat muslim sendiri. Oleh karena itu, bukan sesuatu yang berlebihan jika dikatakan bahwa dalam waktu yang tidak dapat ditentukan, khilafah akan selalu menjadi sistem politik yang abnormal.

Kemudian sistem pemerintahan seperti apakah khilafah itu?

Salah satu slogan para pembela khilafah adalah, “Kekuasaan berada di tangan Tuhan, bukan di tangan rakyat”. Tentu tidak ada yang berani membantah bahwa Tuhan berkuasa atas segala sesuatu. Namun mampukah Tuhan menjalankan kekuasaannya dalam suatu negara?

Alih-alih memberikan jawaban negatif, para pembela sistem khilafah justru berpendapat bahwa Tuhan pasti memandatkan kekuasaannya pada seorang penguasa yang nantinya akan mengatur kehidupan bernegara. Dengan khilafah, kita akan dibawa kembali pada teokrasi khas Abad Pertengahan yang jelas-jelas telah kehilangan pesonanya sebagai sistem pemerintahan.

Di Indonesia, keberadaan gerakan islamisme bukanlah sesuatu yang sama sekali baru. Ia telah ada bahkan sejak pra-kemerdekaan dan kemudian muncul kembali pasca-reformasi.

Menerima keberadaan gerakan ini di tengah-tengah masyarakat demokratis akan membawa dampak yang cukup problematik. Hal ini bukan saja karena tujuan mereka yang ingin menggantikan sistem demokrasi dengan khilafah, terlebih mereka juga mampu sebaik mungkin memanfaatkan demokrasi untuk mencapai tujuan tersebut. Artinya, hanya dalam demokrasilah kaum islamis berani menyuarakan gagasan-gagasan mereka yang anti-demokrasi.

Khilafah kontra demokrasi, dalam konteks perpolitikan Indonesia hari ini, jika bukan terpengaruh, juga memiliki latar belakang yang hampir sama dengan situasi politik global.

Soekarno pernah membagi tiga ideologi politik yang sangat berpengaruh di Indonesia, yaitu nasionalisme, islamisme, dan komunisme. Ketiganya sama-sama mengidealkan sistem pemerintahan tertentu.

Kalangan nasionalis mengidealkan sistem pemerintahan demokrasi, islamis mengidealkan sistem khilafah, sedangkan komunis mengidealkan sistem negara komunis. Pasca 1965, mendahului komunisme Soviet, komunisme dalam negeri runtuh dan hingga hari ini ditetapkan sebagai ideologi terlarang.

Jika kita konsisten menjadikan tipologi Soekarno tentang ideologi politik sebagai acuan untuk melihat situasi perpolitikan di Indonesia, maka seharusnya hari ini kita sedang menghadapi pertarungan antara kalangan nasionalis di satu sisi dan islamis di sisi lain.

Namun ada kesulitan tertentu dalam mencari garis batas antara kalangan islamis dan nasionalis, karena tidak sedikit ormas islam yang ideologi politiknya justru berafiliasi dengan kalangan nasionalis.

Sebut saja misalnya NU dan Muhammadiyah; keduanya secara sadar menerima keberadaan nation state, menerima Pancasila sebagai ideologi negara, dan secara sadar pula menerima demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang ideal.

Oleh karena itu, pertarungan ideologi politik yang sangat kentara hari ini bukan lagi antara nasionalis kontra islamis, melainkan antara islam nasionalis kontra islam transnasional atau, dengan kata lain, antara fundamentalisme islam (islamisme) kontra islam moderat.

Islamisme sendiri pada dasarnya memiliki misi yang hampir sama dengan komunisme selaku musuh ideologinya. Hanya saja, dalam praktiknya, yang pertama tidak segan-segan menyeret agama ke dalam arena politik, sedangkan komunisme berupaya sejauh mungkin menyingkirkannya.

Lalu bagaimana mungkin misi keduanya bisa dianggap hampir sama?

Sebelum itu, perlu untuk terlebih dahulu mengetahui mengapa negara selalu menganggap komunisme sebagai hantu yang begitu menakutkan. Alasannya tentu bukan karena komunisme mengajarkan ateisme sebagaimana yang sering jadi propaganda rezim Orde Baru.

Walau bagaimanapun, berTuhan atau tidaknya seseorang tidak akan pernah merusak stabilitas negara. Artinya, negara akan tetap berjalan sebagaimana mestinya sekalipun warganya adalah orang-orang yang tidak berTuhan.

Alasan yang lebih rasional adalah bahwa komunisme tidak menganggap demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang ideal. Selebihnya, di bawah komunisme internasional, komunisme ingin mewujudkan negara komunis dunia yang dengan sendirinya dapat mengancam keberadaan nation state.

Pun demikian dengan islamisme. Ia selalu menganggap demokrasi sebagai produk Barat yang tidak cocok dengan kebudayaan Islam. Untuk mengganti demokrasi, kalangan islamis menawarkan khilafah yang tidak lain juga merupakan sistem negara dunia.

Sekalipun komunisme dan islamisme memiliki misi yang hampir sama, namun keberadaan kaum islamis sendiri sedikit diuntungkan dalam sejarah perpolitikan Indonesia.

Kalangan islamis, setidaknya pada hari ini, tidak akan mengalami apa yang pernah dialami oleh orang-orang komunis, yaitu pembantaian massal oleh negara. Hal itu tidak lain karena kalangan islamis hidup dalam negara yang benar-benar demokratis, suatu negara thoghut yang jelas-jelas selalu mereka kutuk.

Ilustrasi: voicesoncentralasia

*** Tulisan ini sebelumnya telah diterbitkan di laman nalarpolitik

About Minrahadi Lubis

Pelajar Filsafat

View all posts by Minrahadi Lubis →

338 Comments on “Komunisme dan Islamisme: Dua Hantu bagi Demokrasi”

  1. Hello!

    This post was created with XRumer 23 StrongAI.

    Good luck 🙂

  2. Hello.

    This post was created with XRumer 23 StrongAI.

    Good luck 🙂

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *