Kant: Perihal Aneka Kepentingan Nalar Praktis

Dalam pengantar Critique of Practical Reason, Kant menjelaskan bahwa tujuan dari karyanya tersebut tidak lain untuk membuktikan keberadaan nalar praktis murni. Namun upaya tersebut tidak dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu mengkritik seluruh fakultas nalar praktis. Itulah mengapa, pada akhirnya, karya tersebut diberi judul Critique of Practical Reason (Kritik atas Nalar Praktis), bukan Critique of Pure Practical Reason (Kritik atas Nalar Praktis Murni).

Apa itu nalar praktis murni? Jika kita mengikuti alur pikiran Kant, pertanyaan ini tidak dapat dijawab tanpa terlebih dahulu menjelaskan apa itu nalar praktis. Selanjutnya, akan lebih mudah memahami apa yang dimaksud dengan nalar praktis berdasarkan perbedaanya dengan nalar teoritis. Apakah itu artinya bahwa manusia memiliki beragam nalar dalam dirinya? Tentu saja tidak. Apa yang sesungguhnya beragam bukanlah nalar, melainkan kepentingan (interest) dari nalar itu sendiri. Nalar memiliki kepentingan teoritis ketika berhubungan dengan fenomena alam. Dengan kata lain, nalar teoritis selalu ingin menjelaskan “apa yang senyatanya” terjadi. Nalar juga memiliki kepentingan praktis ketika berhubungan dengan tindakan. Oleh karena itu, wilayah nalar praktis adalah “apa yang seharusnya”.

Pertanyaan “apa yang seharusnya dilakukan?” adalah problem utama dari nalar praktis. Filsuf utilitarian, seperti David Hume, beranggapan bahwa jawaban atas problem tersebut selalu bersifat subjektif; tergantung pada apa yang anda inginkan. Jika anda menginginkan A, misalnya, maka anda harus melakukan sesuatu yang seefektif mungkin dapat meraih A. Inilah maksud dari diktum Hume bahwa nalar adalah budak hasrat. Layaknya sebagai budak, nalar selalu bertugas memenuhi kebutuhan tuannya.

Kant pada dasarnya tidak mengingkari diktum Hume sejauh nalar yang dimaksud adalah nalar praktis empiris (empirical practical reason). Namun, apa yang dimaksud dengan kata “empiris” di sini? Dalam kehidupan sehari-hari kita tentu sering mendengar perintah seperti ini, “Jika anda ingin pintar, belajarlah”. Apa benar dengan belajar dapat membuat seseorang menjadi pintar? Klaim kebenaranya hanya dapat dibuktikan melalui pengalaman empiris; entah itu melalui pengalaman orang-orang terdahulu maupun melalui pengalaman personal orang yang menjalankan perintah tersebut. Kant menyebut perintah seperti ini sebagai imperatif hipotesis yang akan kehilangan daya perintahnya ketika dinegasi. Anggaplah orang yang diperintah tadi mengatakan, “Tapi saya tidak ingin menjadi orang pintar dan saya cukup nyaman dengan kebodohan”. Pada saat itulah perintah untuk belajar menjadi tidak bermakna.

Menurut Kant, moralitas bukanlah kepentingan yang sesungguhnya dari nalar praktis empiris. Dalam karyanya yang berjudul Dasar-dasar Metafisika Moral, Kant mengidentifikasi dua kepentingan praktis dari nalar praktis empiris, yaitu kepentingan teknis dan kepentingan pragmatis. Sekedar untuk memudahkan pemahaman, selanjutnya kita akan menyebut nalar yang memiliki kepentingan teknis sebagai nalar teknis dan nalar yang memiliki kepentingan pragmatis sebagai nalar pragmatis.

Satu-satunya prioritas dari nalar teknis adalah bagaimana mencapai tujuan seefektif mungkin tanpa mempedulikan apakah tujuan yang akan dicapai tersebut baik atau buruk. Kant memberikan ilustrasi sebagai berikut; seorang dokter, yang meramu obat untuk kesembuhan pasien dan seseorang yang meramu racun untuk tujuan membunuh akan dinilai berdasarkan kemampuan mereka dalam merealisasikan tujuannya. Sedikit berbeda dengan nalar teknis, nalar pragmatis juga mensyaratkan adanya kebaikan dari tujuan yang harus dicapai.

Baik nalar teknis maupun nalar pragmatis sama-sama dideterminasi hasrat. Namun, jika yang pertama dideterminasi oleh hasrat aksidental (seperti hasrat untuk membunuh yang ada pada si pembuat racun maupun hasrat untuk mengobati yang ada pada diri seorang dokter), maka yang kedua dideterminasi oleh hasrat alamiah.

Itulah mengapa perintah nalar pragmatis selalu berhubungan dengan objek kesenangan hasrat alamiah manusia. Semua manusia pasti mendambakan kebahagiaan dan nalar pragmatis akan memerintahkan manusia untuk melakukan sesuatu yang dapat membuat mereka bahagia. Namun, sekali lagi, perintah nalar pragmatis tidak bisa dijadikan hukum moral universal. Hal ini tidak lain karena setiap manusia memiliki konsep kebahagiaan yang berbeda-beda dan tidak jarang pula konsep kebahagiaan seseorang berubah dari waktu ke waktu. Perintah nalar pragmatis, sebagaimana Kant mengatakan, hanyalah nasehat kebajikan yang tidak bersifat “memaksa”.

Jika memang moralitas yang bersifat absolut-universal bukanlah kepentingan dari nalar praktis empiris, lalu dari mana moralitas semacam itu berasal? Kant menjelaskan bahwa moralitas adalah kepentingan dari nalar praktis yang tidak dideterminasi hasrat, nalar praktis yang klaim kebenarannya tidak dapat dibuktikan berdasarkan pengalaman empiris, dan perintahnya tidak bersifat hipotesis. Kant menyebut nalar praktis yang demikian sebagai nalar praktis murni (pure practical reason).

Nalar praktis murni yang memerintahkan manusia untuk tidak berbohong, misalnya, sama sekali tidak mengharapkan manfaat pragmatis dari kejujuran, melainkan demi kejujuran itu sendiri yang dipandang sebagai kewajiban moral. Singkatnya, “Bersikap jujurlah terlepas kau menginginkannya atau tidak”. Kant menyebut perintah yang demikian sebagai imperatif kategoris atau imperatif moral.

Selanjutnya, bagaimana membuktikan kesahihan perintah nalar praktis murni sebagai imperatif moral jika upaya pembuktiannya tidak dapat dilakukan melalui pengalaman empiris? Menurut Kant, orang cukup bertanya pada dirinya sendiri apa jadinya jika berbohong diperbolehkan secara moral. Tentu tidak akan ada lagi omongan yang dapat dipercaya. Hukum moral tidak berasal dari dunia eksternal. Dengan nalarnya, manusia mampu menemukan hukum moral dari dalam dirinya sendiri. “Dua hal yang membuatku selalu merasa kagum, langit berbintang di atasku dan hukum moral dalam diriku.” Demikian Kant mengatakan.

Dari beragam kepentingan nalar praktis (teknis, pragmatis, dan moral) yang telah diuraikan di atas, tidak jarang kepentingan yang satu harus bertentangan dengan kepentingan yang lain. Pertentangan ini kemudian melahirkan kesadaran yang bersifat ambivalen dalam diri manusia, di mana ia menyadari bahwa sesuatu yang ingin ia lakukan pada saat yang sama bukanlah sesuatu yang seharusnya ia lakukan.

Pada dasarnya, kesadaran yang bersifat ambivalen inilah yang membuat manusia tetap berada di dalam wilayah “kemanusiaan”nya. Apa jadinya jika semua kepentingan tersebut melebur menjadi satu kepentingan tunggal? Apa jadinya jika sesuatu yang ingin dilakukan manusia selalu saja merupakan sesuatu yang seharusnya ia lakukan? Tentu manusia akan berubah menjadi malaikat jika makhluk yang seperti itu benar-benar ada.

Sumber ilustrasi: pinterest

Nb: Artikel ini telah diterbitkan sebelumnya di laman nalarpolitik.com

About Minrahadi Lubis

Pelajar Filsafat

View all posts by Minrahadi Lubis →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *