Dalam komunikasi sehari-hari, orang sering menggunakan kata-kata seperti ini, “ini aku”, “ini bapakku”, “ini milikku”, dan seterusnya. Begitulah cara orang membedakan apa yang “aku” dan yang “bukan aku”. Tapi apa sebenarnya “aku” ini? Apa sebenarnya yang dirujuk oleh kata ini? Apakah tubuh? Jika memang demikian, bagian tubuh mana yang berhak mengatakan “aku”? Apakah kepala sehingga kepala kita berhak mengatakan “Ini aku dan tubuhku”? Atau bagian tubuh selain kepala sehingga bagian tubuh kita itu berhak mengatakan “ini aku dan kepalaku”.
Kita nyaris tidak pernah mempersoalkan itu karena kita menganggap telah memahami “aku” sejak awal. Risalah kecil Ibn Sina yang berjudul رسالة في معرفة النفس الناطقة و احوالها diawali dengan penyelidikan tentang apa sebenarnya yang dirujuk oleh kata “aku”.
Ibn Sina mengatakan kebanyakan orang, termasuk ahli kalam, menduga bahwa kata “aku” merujuk pada tubuh yang dapat dipersepsi oleh indera. Ibn Sina menyangkal dugaan ini dan menyebutnya sebagai dugaan yang keliru. Ada juga yang berpendapat bahwa kata “aku” tidak merujuk pada entitas fisik dan juga tidak bersifat fisik, melainkan merujuk pada entitas ruhani yang mengalir dalam tubuh setiap manusia. Entitas ruhani ini menjadikan tubuh sekedar alat untuk meraih kebajikan dan pengetahuan.
Pendapat seperti ini adalah pendapatnya para filsuf (حكماء الالهيين) dan kaum sufi (علماء الربانيين). Ibn sina sendiri berpihak pada pendapat dua kelompok ini dan menyiapkan tiga argumen untuk mendukungnya.
Pertama, semua manusia pasti menyadari bahwa tubuhnya selalu mengalami perubahan dan kehancuran. Itulah mengapa tubuh selalu membutuhkan suplai makanan untuk menggantikan bagian tubuhnya yang rusak. Jika manusia tidak mendapat suplai makanan dalam waktu yang sebentar saja, pada dasarnya manusia telah kehilangan 1/4 bagian tubuhnya. Lalu bagaimana jika manusia tidak mendapat suplai makanan selama dua puluh tahun? Tentu tubuhnya tidak akan tersisa.
Sekali pun tubuh selalu mengalami perubahan dan kehancuran, manusia tetap menyadari bahwa dirinya tetaplah sama seperti apa adanya. Dengan kata lain, “aku” tetaplah “aku” yang sama sekali pun tubuhku mengalami perubahan. Oleh karena itu, “aku” bukanlah tubuh, melainkan sesuatu yang berbeda dari tubuh.
Kedua, ketika orang dituduh melakukan sesuatu, anggaplah itu pencurian sekali pun Ibn Sina tidak memberikan kasus spesifik, ia akan menghadirkan dirinya dan mengatakan, “Aku tidak mencurinya, aku hanya melakukan hal ini”, atau, “Ya aku mencurinya”. Dalam kasus ini Si tertuduh lupa dengan anggota tubuhnya sehingga ia tidak mengatakan, “Tanganku tidak mencurinya”, atau, “Ya tanganku mengambilnya”. Ini salah satu bukti bahwa ada sesuatu yang bukan tubuh yang menggerakkan tubuh kita dan kepadanya-lah kita menyebut “aku”.
Ketiga, begitu pula ketika orang mengatakan, “Aku melihat dengan mataku, aku mengambil dengan tanganku, aku berjalan dengan kakiku, aku berbicara dengan mulutku, dan aku mendengar dengan telingaku”. Apa yang dapat menyatukan seluruh persepsi dan tindakan-tindakan ini? Setiap orang tahu dengan sendirinya bahwa yang menyatukan seluruh persepsi dan tindakan-tindakan ini bukanlah anggota tubuh.
Faktanya anggota tubuh kita memiliki kemampuan yang sangat terbatas; kita tidak bisa melihat dengan telinga, mendengar dengan mata, dan berjalan dengan tangan. Entitas yang bersifat ilahiah-lah yang mampu menyatukan seluruh persepsi dan tindakan-tindakan tersebut. Oleh karena itu, “aku” bukanlah anggota tubuh dan bukan pula jumlah keseluruhan dari anggota tubuh, melainkan sesuatu yang berbeda dari tubuh, mengalir dalam tubuh, dan tidak tunduk pada hukum alam.
Sepanjang sejarah filsafat, problem apakah sebenarnya “aku” menjadi problem yang cukup serius. Bapak filsafat Modern, Rene Descartes, disebut-sebut sebagai filsuf yang telah menemukan “aku”. Melalui metode skeptiknya, Descartes meragukan segala hal untuk meraih kebenaran yang tidak dapat digoyahkan. Descartes sampai pada kesimpulan, “Aku berpikir maka aku ada” (Descartes, 2004: 53). Tidak mungkin ada aktivitas berpikir tanpa ada “aku” yang berpikir. Begitu pula, tidak akan ada aktivitas meragukan tanpa ada “aku” yang meragukan. Inilah kebenaran yang tidak dapat digoyahkan. Baiklah, tapi apa persisnya “aku” ini? Sebagaimana Ibn Sina, Descartes mengatakan bahwa “aku” adalah jiwa.
Di sisi lain, David Hume membuat pernyataan yang cukup mengejutkan. Menurutnya, ketika kita berpikir, apa sesungguhnya yang kita pikirkan bukanlah diri kita sendiri, melainkan kesan-kesan dan pengalaman-pengalaman kita. Kita tidak pernah berhadapan dengan diri yang mengalami itu sendiri: kita tidak pernah berhadapan dengan “aku”. Konsekuensinya, kita tidak bisa mengatakan bahwa “aku” itu ada. Satu-satunya jawaban yang bisa diberikan atas pertanyaan “apakah aku?” adalah bahwa aku hanya sekumpulan kesan (Magee, 2008: 112-113).
Memang, upaya untuk mengidentifikasi apa sesungguhnya “aku” adalah upaya yang sulit jika tidak mustahil. Anggaplah bahwa “aku” adalah jiwa. Lalu apa artinya jika orang mengatakan “jiwaku”? Kata ini secara tidak langsung menegaskan bahwa jiwa tidak identik dengan “aku”; ia justru milik dari “aku”. Kata seperti ini sering kita temukan sekali pun dalam bahasa yang puitis.
Semakin kita mengidentifikasi “aku”, semakin “aku” itu menjauh dari kita. Namun, di satu sisi, kita sadar bahwa “aku” ada “di sini” dan “pada saat ini juga”. Alasan mengapa kita sulit mengidentifikasi “aku” karena proses identifikasi selalu membutuhkan jarak antara yang mengidentifikasi dan yang diidentifikasi. Tentu saja di sini Hume benar bahwa kita tidak pernah berhadapan dengan diri kita sendiri. Kita hanya bisa menyadari aku tanpa mengidentifikasinya. Dalam kesadaran yang tidak melibatkan proses identifikasi ini, jarak antara yang menyadari dan yang disadari tidak lagi diperlukan sehingga yang menyadari dan yang disadari adalah satu, yaitu “aku” yang menyadari dirinya sendiri.
Kembali pada risalah Ibn Sina. Jika memang “aku” adalah jiwa sementara jiwa sendiri independen dari pengaruh tubuh, apakah itu berarti bahwa jiwa juga tidak lenyap setelah tubuh mengalami kehancuran? Ibn Sina mengafirmasi pertanyaan ini dengan mengatakan bahwa jiwa kekal karena dikekalkan oleh Allah. Selain itu juga karena jiwa adalah substansi yang dapat berdiri sendiri. Sebaliknya, tubuh adalah aksiden yang tidak mampu berdiri tanpa adanya jiwa sebagai tempat berdiri.
Lalu bagaimana mungkin rusaknya aksiden mengakibatkan rusaknya substansi? Tentu saja hal ini tidak mungkin. Untuk memperkuat gagasannya, Ibn Sina kemudian menjadikan mimpi sebagai bukti bahwa jiwa dapat berdiri sendiri tanpa tubuh.
Sebagaimana yang umum diketahui, tidur adalah non-aktifnya seluruh indera sehingga kondisi orang yang tidur tidak jauh berbeda dengan kondisi orang mati. Inilah makna dari ungkapan Nabi bahwa tidur adalah saudaranya mati (النوم اخو الموت). Namun, orang yang tidur seringkali melihat dan mendengar sesuatu yang tidak pernah ia lihat dan dengar di saat tubuhnya terjaga. Dalam kasus ini, tentu saja orang yan tidur tidak melihat dengan mata juga tidak mendengar dengan telinga. Ibn sina ingin menegaskan bahwa jiwa mampu melihat sesuatu tanpa perantara indera. Sekali lagi, ini membuktikan bahwa jiwa independen dari pengaruh tubuh.
Sejauh ini, Ibn Sina telah memberikan kita beberapa argumen tentang keabadian jiwa. Salah satu tantangan berat bagi doktrin keabadian jiwa adalah bahwa mereka yang mendukung doktrin ini juga harus mampu menjelaskan kemana jiwa akan pergi dan apa yang akan dialami jiwa setelah berpisah dari tubuh. Tantangan ini tentu tidak berlaku bagi mereka yang berpendapat bahwa jiwa akan lenyap seiring hancurnya tubuh sebagaimana doktrin Epicurus.
Menurut Ibn Sina, apa yang akan dialami jiwa setelah mati tergantung dari apa yang mereka lakukan selama hidup di dunia. Secara umum jiwa manusia akan terbagi pada tiga golongan, yaitu jiwa orang-orang yang sempurna ilmu dan amal, jiwa orang-orang yang kurang ilmu dan amal, dan jiwa orang-orang yang sempurna pada salah satunya namun kurang pada yang lain; entah itu sempurna ilmu namun kurang amal atau sebaliknya. Pembagian ini sesuai dengan firman Allah, “Dan kamu menjadi tiga golongan. Golongan kanan (اصحاب الميمنة ) alangkah bahagianya golongan kanan itu. Dan golongan kiri (اصحاب المشاءمة) alangkah celakanya golongan kiri itu. Dan orang-orang yang lebih dahulu beriman (السابقون) merekalah orang-orang yang paling dekat dengan Tuhannya.
Orang-orang yang sempurna ilmu dan amal adalah السابقون. Mereka menempati derajat tertinggi dan bergabung dengan alam intelek (عالم العقول). Orang-orang yang sempurna ilmu dan kurang amal atau sebaliknya adalah اصحاب اليمين. Tingkatan mereka berada di posisi tengah. Kepada merekalah dijanjikan gambaran surga yang sering kita dengar; surga yang penuh dengan bidari, makanan-makanan yang lezat, dan pakaian-pakaian yang indah. Terakhir, orang-orang yang kurang ilmu dan amal adalah اصحاب المشاءمة. Mereka menempati posisi terendah. Mereka menghuni tempat kebinasaan (دار البوار). Kepada merekalah Allah berfirman, “Di tempat itu mereka meminta kebinasaan. Janganlah meminta kebinasaan sekali saja. Mintalah kebinasaan berkali-kali”.
Sekilas orang akan tergoda menafsirkan “ilmu” yang dimaksud Ibn Sina sebagai ilmu agama sebagaimana yang kita pahami hari ini. Tafsiran seperti ini justru sangat jauh dari maksud Ibn Sina sendiri. Di bagian akhir Risalah, Ibn Sina menjelaskan bahwa yang ia maksud ilmu adalah ilmu teoritis (حكمة النظرية) yang orientasinya adalah mengetahui hakikat-hakikat dari apa yang diketahui. Begitu pula yang dimaksud dengan “amal” bukanlah ibadah-ibadah formal yang cenderung kita pahami hari ini, melainkan kualitas moral yang baik.
Orang dengan kualitas moral yang baik adalah orang yang mampu menghimpun dalam dirinya sifat-sifat pengendalian diri (العفة), keberanian (الشجاعة), dan kebijaksanaan (الحكمة). Tidak tanggung-tanggung, Ibn Sina berani mengklaim bahwa orang yang sempurna ilmu dan amal dalam versi inilah yang akan mendapat kebahagiaan tertinggi setelah kematian.
Perlu digarisbawahi bahwa gagasan tentang kualitas moral yang baik ini bukanlah gagasan yang murni berasal dari Ibn Sina. Gagasan seperti ini juga dapat kita temukan dalam karya Plato yang berjudul Republik.
Adakah batas minimal pengetahuan teoritis sehingga orang layak disebut sempurna ilmunya dan kemudian bergabung dengan kelompok السابقون? Ibn Sina menjelaskan bahwa setidaknya orang mengetahui Tuhan sebagai yang wajib ada (واحب الوجود), mengetahui sifat-sifatNya, mengetahui bahwa Tuhan suci dari hal-hal yang menyerupaiNya, mengetahui bahwa Tuhan penuh kasih sayang pada semua makhluk dan pengetahuannya mencakup segala yang ada, mengetahui bahwa kekuasaan Tuhan tidak terbatas, mengetahui bahwa keberadaannya berasal dari Tuhan, dan mengetahui bahwa jiwanya bukanlah fisik, melainkan entitas ruhani yang kekal. Inilah batas pengetahuan teoritis yang apabila dicapai akan mengantarkan seseorang pada kebahagiaan tertinggi setelah mati.
Sementara itu, untuk orang-orang yang tingkatannya berada di bawah kelompok ini dalam hal kesempurnaan ilmu dan amal, mereka adalah kelompok menengah. Mereka terhalang naik ke tempat tertinggi dalam masa tertentu. Hal ini tidak lain karena mereka diselubungi oleh sifat-sifat dan amal-amal buruk yang pernah mereka lakukan selama di dunia. Namun, sedikit demi sedikit mereka mampu menapak ke alam kesucian untuk kemudian bergabung dengan kelompok السابقون.
Ada pun orang-orang yang sempurna ilmu tanpa amal (dalam teksnya tertulis الكاملون في العلم دون العمل، namun jika ditelaah berdasarkan penjelasannya seharusnya teks yang cocok justru sebaliknya, yaitu الكاملون في العمل دون العلم) adalah para ahli agama yang mensucikan diri, beramal saleh, beriman kepada Allah dan hari akhir, mengikuti seluruh perintah dan larangan Nabi, namun mereka tidak mengetahui hakikat ilmu dan tidak mengetahui rahasia-rahasia wahyu berikut takwil-takwilnya.
Setelah mati, jiwa mereka akan menyaksikan apa yang dikatakan pada mereka sewaktu di dunia tentang sifat-sifat surga. Namun mereka tidak ditawarkan pilihan untuk sampai pada tempat tertinggi, yaitu alam intelek (عالم العقول). Di bagian akhir ini, Ibn Sina tidak lagi menyinggung kondisi orang-orang yang kurang dalam hal ilmu dan amal, yaitu mereka yang menempati derajat paling rendah.
Nb: tulisan ini adalah rangkuman dari dan ulasan dari رسالة في معرفة النفس الناطقة و احوالها karya Ibn Sina yang menjadi bahan studi teks di komunitas ngaji warung ponpes Hidayatul Mubtadiin, Tajeman.