Di bagian kitab تهذيب الاخلاق, Ibn Miskawaih membahas rasa takut atas kematian. Menurutnya, tidak ada hal yang lebih menakutkan bagi sebagian besar orang selain dari pada kematian. Namun, hal apa sebenarnya yang menakutkan dari kematian? Ibn Miskawaih memiliki jawaban yang cukup rasional atas pertanyaan ini. Hal yang menakut dari kematian tidaklah terletak pada peristiwa kematian itu sendiri, melainkan terletak pada ketidaktahuan tentang apa kematian itu sesungguhnya dan dugaan-dugaan keliru yang melingkupinya.
Kematian bagi Ibn Miskawaih tidak lebih dari sekedar peristiwa di mana jiwa berhenti menggunakan tubuh sebagaimana pengrajin yang berhenti menggunakan alat-alatnya.
Perlu digarisbawahi bahwa pemikiran Ibn Miskawaih tentang kematian tidak luput dari pengaruh doktrin Plato. Sebagaimana Plato, Ibn Miskawaih juga berpendapat bahwa jiwa adalah substansi ruhani yang tidak akan binasa. Sebaliknya, jiwa akan mencapai kemurnian dan kesempurnaannya setelah terpisah dari tubuh. Oleh karena itu, rasa takut atas kematian yang menghampiri sebagian besar orang bisa jadi juga berasal dari dugaan bahwa jiwa akan lenyap pasca kematian.
Untuk orang-orang yang menduga demikian, Ibn Miskawaih mengatakan bahwa sebenarnya mereka tidak takut pada kematian. Mereka hanya tidak mengetahui apa yang seharusnya mereka ketahui: mereka tidak tahu bahwa jiwa adalah substansi yang kekal. Lagi-lagi, ketidaktahuanlah yang menyebabkan rasa takut.
Pertanyaannya, apa yang dapat membebaskan seseorang dari rasa takut akibat ketidaktahuan? Jawaban Ibn Miskawaih cukup sederhana, yaitu pengetahuan. Itulah mengapa para filsuf selalu sibuk mencari pengetahuan sembari meninggalkan kenikmatan-kenikmatan jasmani. Bagi mereka, kenikmatan yang sesungguhnya adalah kondisi ketika seseorang bebas dari rasa takut.
Mereka para filsuf selalu memandang rendah hal-hal yang diagungkan oleh masyarakat pada umumnya seperti kekayaan dan kedudukan. Bagi mereka kenikmatan yang diperoleh dari kekayaan dan kedudukan akan cepat sirna. Selain itu, siapa pun yang memiliki keduanya akan selalu dihantui kekhawatiran jika suatu waktu apa yang ia miliki hilang, dan dia akan sedih ketika apa yang ia miliki benar-benar telah hilang. Pada intinya, para filsuf selalu berupaya membebaskan diri mereka dari hasrat duniawi karena hasrat yang seperti itu tidak akan pernah terpuaskan; seseorang yang berhasil memiliki sesuatu yang sebelumnya ia dambakan lambat laun akan bosan dan dia pun mulai mendambakan sesuatu yang lain, demikian seterusnya tampa akhir.
Berdasarkan penjelasan di atas, Ibn Miskawaih kemudian membagi kematian menjadi dua kategori, yaitu matinya kehendak (موت إرادي) dan kematian alami (موت طبيعي). Begitu pula dengan kehidupan yang juga dibagi menjadi dua kategori, yaitu hidupnya kehendak (حياة إرادية) dan kehidupan alami (حياة طبيعية).
Matinya kehendak (موت إرادي) berarti mematikan hasrat-hasrat duniawi yang tanpa batas. Sedangkan kematian alami (موت طبيعي) adalah berpisahnya jiwa dengan tubuh. Hidupnya kehendak (حياة إرادية) berarti mengumbar hasrat badani. Sedangkan kehidupan alami (حياة طبيعية) adalah aktifitas berpikir yang dapat membebaskan jiwa dari ketidaktahuan. Dengan mengutip Plato, Ibn Miskawaih kemudian berpesan, “matikanlah kehendak niscaya kau akan hidup alami”.
Di sini, Ibn Miskawaih sebenarnya ingin menegaskan bahwa mereka yang ketika hidup di dunia selalu berupaya mematikan kehendak dan hidup secara alami adalah orang-orang yang paling siap menghadapi kematian. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Plato dalam Phaedo bahwa berfilsafat sama artinya dengan mempersiapkan diri menuju kematian. Sebaliknya, mereka yang sibuk mengumbar hasrat duniawi dan menjauhi kehidupan alami adalah orang-orang yang paling takut atas kematian.
Singkatnya, semakin orang mematikan kehendak, semakin ia siap menuju kematian. Semakin orang mengumbar hasrat duniawi semakin takut pula ia atas kematian.
Namun, apa maksudnya ketika Ibn Miskawaih menyebut aktivitas berpikir atau apa yang kita sebut hari ini sebagai aktivitas ilmiah sebagai kehidupan alami? Ibn Miskawaih sendiri tidak memberikan penjelasan terkait hal ini. Cara berpikir kita hari ini yang terperangkap dalam dikotomi ilmiah-alamiah akan sulit menangkap apa yang dimaksud oleh ibn miskawaih. Jalan paling mudah untuk memahaminya adalah merujuk kembali pada filsafat Aristoteles. Dalam Metafisikanya, Aristoteles mengatakan bahwa aktivitas berpikir adalah proses aktualisasi potensi alamiah manusia. Aktivitas berpikir dan mengetahui inilah yang membedakan manusia dengan “alam”-“alam” lainnya; benda-benda mati, tumbuh-tumbuhan, dan hewan. Oleh karena itu, secara alami manusia selalu ingin mengetahui.
Takut mati bisa juga berasal dari dugaan bahwa kematian aadalah sesuatu yang sangat menyakitkan. Ibn Miskawaih berusaha menyanggah dugaan ini dengan jalan argumentasi sebagai berikut; rasa sakit adalah pengaruh jiwa pada tubuh. Sedangkan kematian adalah berpisahnya jiwa dari tubuh. Dalam keterpisahan ini, tentu saja jiwa tidak lagi memberi pengaruh apa pun pada tubuh. Oleh karena itu rasa sakit tidak ada dalam kematian. Rasa sakit hanya berlaku untuk sesuatu yang hidup.
Selanjutnya, tidak sedikit juga orang yang takut mati karena siksa yang menantinya setelah mati. Dalam kasus ini, bukan kematian, melainkan siksalah yang menjadi objek rasa takut. Orang yang takut siksaan setelah mati secara tidak langsung mengakui keberadaan tiga hal. Pertama, ia mengakui bahwa jiwanya kekal setelah terpisah dari tubuh karena, walau bagaimana pun, tidak mungkin ada siksa tanpa kehadiran objek yang disiksa. Kedua, ia mengakui keberadaan Hakim yang akan mengadili perbuatan-perbuatannya selama di dunia. Ketiga, ia mengakui telah banyak melakukan perbuatan tercela yang seharusnya tidak ia lakukan.
Ibn Miskawaih berpesan bahwa siapa pun yang takut atas siksa sebaiknya menjauhi perbuatan-perbuatan yang tercela. Perbuatan-perbuatan yang tercela pastilah berasal dari tabiat yang juga tercela, dan tentu saja tabiat dapat diubah melalui pendidikan.
Terakhir, salah satu sebab mengapa kematian begitu dibenci dan ditakuti tidak lain karena kematian akan memisahkan seseorang dari apa saja yang ia cintai; baik itu keluarga, harta, dan kesenangan-kesenangan duniawi. Sebagian besar orang pasti sedih meninggalkan semua itu. Itulah mengapa pada dasarnya, sebagian besar orang selalu mendambakan kehidupan dunia yang abadi. Namun, Ibn Miskawaih berusaha menyadarkan kita bahwa, walau bagaimana pun, sedih terhadap apa yang tidak bisa dihindari adalah sia-sia.
Faktanya, manusia adalah salah satu dari hal-hal yang menjadi (الكائنة) dan setiap yang menjadi (الكائنة) pasti akan binasa. Siapa yang ingin tidak binasa (لا يفسد) berarti ia ingin tidak menjadi (لا يكون), dan siapa yang ingin tidak menjadi (لا يكون) berarti dia menginginkan kehancuran esensinya sendiri. Seakan-akan ia ingin tidak binasa dan binasa pada saat yang. Ia juga menginginkan tidak menjadi dan menjadi pada saat yang sama. Tentu saja ini sangat mustahil.
Melalui pernyataan ini Ibn Miskawaih sebenarnya ingin menegaskan bahwa “kemenjadian” adalah sesuatu yang esensial bagi manusia. Siapa ingin hidup kekal selama-lamanya atau siapa yang ingin tidak mati berarti ia mengingkari atau bahkan mengharapakan kehancuran esensinya sendiri.
Anggaplah bahwa kehidupan manusia di dunia ini abadi, lalu apa yang akan terjadi? Pastinya penduduk bumi menjadi tidak terbatas sedangkan bumi tempat manusia tinggal adalah ruang yang terbatas. Lalu bagaimana mungkin ruang yang terbatas dapat menopang jumlah penduduk yang tidak terbatas? Oleh karena itu, kelahiran dan kematian adalah bagian dari keadilan ilahi; kematian seseorang berarti memberi ruang hidup bagi yang lain. Tidak ada alasan untuk takut pada kematian. Kematian bukanlah sesuatu yang buruk. Apa yang buruk adalah takut atas kematian.
Nb: Tulisan ini adalah ulasan singkat dari Risalah fi al-Khouf min al-Maut, bagian dari Tahzib al-Akhlak karya Ibn Miskawaih, yang menjadi bahan Studi Teks di Komunitas Ngaji Warung Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi’in, Tajeman.