Sejarah peradaban Islam pernah mengalami masa keemasan dan kemunduran. Di antara faktor yang menyebabkan kemunduran umat Islam adalah adanya fanatisme yang berlebihan terhadap suatu mazhab dan aliran-aliran tertentu, adanya kemerosotan moral para penguasa, dan diperparah lagi oleh penetrasi Barat, terutama Inggris dan Perancis ke dunia Islam. Pada tahun 1798, Napoleon menduduki Mesir yang menjadi salah satu pusat peradaban Islam (Nasir, 2010: V).
Merespon kondisi umat Islam yang menyedihkan, muncullah berbagai perhatian terhadap gagasan Islam sebagai ideologi yang memiliki kekuatan dan dorongan pembebas. Banyak tokoh-tokoh pembaru Islam yang lahir dengan ide-ide cemerlang menentang tradisi lama dan mengusung kemerdekaan individu demi terbentuknya kreatifitas.
Ali Rahnema mengetengahkan empat penyebab kemunduran umat yang selanjutnya merupakan titik awal pembaruan itu sendiri, yaitu erosi nilai Islam di mana para penguasa enggan untuk menerapkan peraturan sosio-ekonomi dan etika Islam, adanya afiliasi kaum intelektual Islam penguasa,korupsi dan kezaliman kelas penguasa, adanya kerjasama penguasa dengan pihak penjajah (Rahnema, 1996: 2).
Para pembaru Islam menginginkan agar spirit Islam, seperti kasih sayang, solidaritas, keadilan sosial, tidak hanya dinikmati oleh kelas penguasa, melainkan juga harus dirasakan oleh segenap masyarakat. Semangat ini dihubungkan dengan masa Nabi sehingga para pembaru merasa tertantang untuk menyusun dan mensintesiskan ajaran Islam dengan modernitas.
Di Mesir, gerakan pembaruan Islam dimulai dari pertemuan syeikh Muhammad Abduh (1849-1905) dengan Jamaluddin al-Afghani (1838- 1897). Keduanya mendalami studi filsafat dan ilmu politik setelah menyadari betapa pentingnya dua disiplin tersebut bagi perkembangan peradaban Islam. Jamaluddin al-Afghani sendiri sangat berperan penting dalam merubah cara berpikir umat Islam, di mana pengaruh tersebut juga dirasakan oleh muridnya, Muhammad Abduh.
Semangat dan udara baru yang ditiupkan oleh Jamaluddin Al-Afghani kepada muridnya membuat muridnya sadar akan tanggung jawab terhadap kemajuan umat Islam. Dalam tulisan ini, penulis akan melakukan kajian terhadap pemikiran Jamaluddin al-Afghani dalam mewujudkan pembaharuan pemikiran Islam, khususnya dalam bidang teologi Islam modern.
Al-Afghani dan Karya-karyanya
Sayid Jamaluddin al-Afghani lahir di Asadabad pada tahun 1838 dan wafat pada tahun 1897 di Istanbul. Gelar “Sayid” menunjukkan bahwa ia berasal dari keturunan Husain bin Ali bin Abi Thalib. Di samping “al-Afghani”, ia juga dikenal dengan nama “Asabadi”. Nama al-Afghani dinisbahkan kepada negeri kelahirannya yang sebagian besar masyarakatnya penganut Madzhab Hanafi (Hartono, 1986: 298).
Ada perdebatan mengenai di mana sebenarnya al-Afghani dilahirkan. Al-afghani sendiri mengaku bahwa ia dilahirkan di As’adabad, wilayah Kabul, Afghanistan. Menurut pendapat yang lain, al-Afghani lahir di As’adabad, dekat Hamadan, wilayah Persia. Menurut teori yang kedua, al- Afghani mengaku sebagai orang Afghanistan untuk menyelamatkan diri dari kesewenang-wenangan penguasa Persia (Sjadzali, 1993: 117).
Menurut Majid Fakhry, al-Afghani lahir di Asadabad, Persia, kemudian hijrah dengan keluargannya ke Qazwin dan kemudian ke Teheran. Di Teheran ia belajar di bawah asuhan Aqashid Shadiq, Teolog Syi’ah yang sangat terkemuka saat itu (Fakhry, 1997: 455). Ayahnya bernama Sayid Shaftar, satu di antara keturunan yang amat dihormati di negeri Afganistan. Silsilah keturunannya sampai ke perawi hadis yang masyhur, yaitu Sayid Ali al-Turmuzi dan bahkan sampai ke Husain bin Ali bin Abi Thalib (Hamka,1996: 16).
Sementara, Ali Rahnema berpendapat bahwa tak ada sumber primer yang mendukung bahwa tempat lahir atau besarnya al-Afghani, tetapi banyak sumber yang mengatakan ia lahir dan mendapat pendidikan syi’ah di Iran. Hal ini didukung dengan banyak tulisan tentang al-Afgani yang memperlihatkan bahwa ia mendapat pendidikan di Iran. Hal ini juga didukung oleh kepiawaian al-Afghani dalam menjabarkan filsafat Islam syi’ah dalam madzhab Syaikhi yang merupakan ragam Syi’ah yang sangat filosofis pada abad ke-18 dan ke-19 (Rahmena, 1996: 20).
Al-Afghani dikenal sebagai orang yang banyak melakukan pengembaraan. Dari Teheran ia pindah ke al-Najd di Irak, pusat studi keagamaan Syi’ah. Di situlah ia menghabiskan waktu selama empat puluh tahun sebagai murid Murtadha al- Anshari, seorang teolog dan sarjana yang terkenal. Pada tahun 1853, ia melawat ke India, di mana ia diperkenalkan dengan berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan Barat. Ada kalanya ia melakukan kunjungan ke berbagai negara di dunia, seperti Hijaz, Mesir, Yaman, Turki, Russia, Inggris, dan Perancis. Salah satu yang paling berkesan dari perjalanannya ini adalah kunjungannya ke Mesir pada tahun 1869. Di negeri inilah ia mulai menggagas pemikiran pembaruan (Fakhry, 1997: 456).
Selain dikenal sebagai reformis dan modernis, al-Afghani juga dikenal sebagai politikus. Hal ini dibuktikan pada tahun 1876 ketika ia bergabung dengan para politikus di Mesir. Bukan hanya itu, pada tahun 1879, al-Afghani juga membentuk suatu partai politik dengan nama Hizb al-Wathani (partai Kebangsaan). Dengan partai ini, al-Afghani berusaha menanamkan kesadaran nasionalisme dalam diri orang-orang mesir. Al- Afgani juga diakui sebagai seorang filosof, jurnalis, dan sufi, namun ia lebih sering disebut sebagai politikus.
Karena gagasannya tentang pembaruan, al-Afghani sering mendapat tekanan bahkan dipenjara oleh para penguasa yang tidak setuju dengan ide yang diperjuangkannya. Hal itu menimbulkan adanya mitos di seputar kematiannya, bahwa ia meninggal akibat diracun oleh penguasa. Namun, bukti yang terdokumentasi dengan baik menyatakan bahwa al-Afghani meninggal akibat penyakit kanker di dagunya (Rahmena, 1996: 28).
Pada tahun 1883, ketika berada di Paris, al-Afghani mendirikan suatu perkumpulan dengan nama al-‘Urwah al-Wusqa (Ikatan Yang Kuat) yang anggotanya terdiri dari orang-orang Islam India, Mesir, Suriah, Afrika Utara, dan lain-lain. Perkumpulan ini bertujuan untuk memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam, dan membawa umat Islam kepada kemajuan. Sebagai sarana untuk menyampaikan ide-ide dan kegiatannya, al-Afghani bersama Muhammad Abduh menerbitkan majalah berkala yang namanya sama dengan nama perkumpulan yang telah ia dirikan. Majalah ini hanya berumur delapan bulan karena dunia Barat melarang pengedarannya di negeri-negeri Islam. Majalah ini dinilai akan menimbulkan semangat dan persatuan orang- orang Islam.
Perihal Takdir
Takdir secara umum dipahami sebagai sesuatu yang telah ditentukan atau sesuatu yang tidak bisa diubah. Pemahaman seperti ini sangat digemari oleh masyarakat Arab.Secara alamiah, memang manusia memiliki takdir yang tidak dapat diubah, manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berbuat lain kecuali mengikuti hukum alam. Sebagai contoh, manusia ditakdirkan mempunyai kaki untuk berjalan dan tidak mempunyai sayap sebagaimana burung yang memang ditakdirkan untuk terbang. Begitu pula, manusia ditakdirkan untuk tidak mempunyai kekuatan seperti kekuatan gajah yang mampu mengangkat barang berat, namun manusia ditakdirkan untuk mempunyai daya pikir yang aktif dan kreatif.
Dengan daya pikir yang kreatif, anggota tubuh lainnya dapat dilatih terampil sehingga manusia mampu mengkreasi sesuatu; mampu meniru sesuatu yang dimiliki oleh kemampuan makhluk lain seperti terbang di udara layaknya burung, berenang di air seperti ikan, dan mampu membawa barang seberat barang yang dibawa gajah.
Untuk memberi pemahaman terkait takdir, al-Afghani terlebih dahulu membahas tentang Qadha dan Qadar. Menurut al-Afghani, Qadha dan Qadar mengandung pengertian bahwa segala sesuatu terjadi menurut sebab-akibat (kausalitas). Al-Afghani melanjutkan bahwa kehendak manusia sendiri merupakan salah satu mata rantai sebab-akibat itu (Nasution, 1996: 55).
Pemikiran tentang sebab-akibat diperjelas lagi dengan ungkapan kata “taqdir” dan “ikhtiyar”. Percaya pada kemutlakan takdir ilahi menyebabkan timbulnya rasa pasif dan menyerah begitu saja dengan keadaan; umat Islam menjadi pemalas dan menerima nasib malang dengan tidak berusaha untuk membebaskan diri dari kemalangan itu.
Al-Afghani sendiri mengamini bahwa seorang muslim memang semestinya percaya pada takdir mengingat kepercayaan seperti itu merupakan salah satu tonggak iman. Percaya kepada takdir adalah pengakuan adanya hukum sebab akibat serta adanya kesinambungan antara apa yang ada hari ini dengan apa yang akan terjadi di hari esok. Selain itu, al-Afghani juga menjelaskan bahwa manusia mempunyai kemauan sendiri, atau iradat yang bebas, dengan tidak melupakan hubungan kebebasan pribadi itu dalam lingkungan kebebasan Allah. Dengan kata lain, takdir kecil yang ada pada manusia tetap berada dalam lingkup takdir besar pada Allah, pengatur Maha Besar dan Maha Bijaksana.
Sebagai contoh, seseorang yang akan dirampas harta bendanya secara paksa, maka ia tidak dengan serta merta begitu saja menyerahkannya, tetapi berusaha untuk menyelamatkannya. Apabila seseorang diancam akan dibunuh maka ia tidak diam menyerah, tetapi berusaha menghindar atau lari sebagai ikhtiar melepaskan diri dari kematian (Nasution, 1996: 73).
Al Afghani juga dikenal sangat keras menentang paham taklid. Menurut al-Afghani, umat Islam mundur karena tidak mengikuti perkembangan zaman, gaung peradaban Islam klasik masih melenakan mereka, sehingga tidak menyadari bahwa peradaban baru timbul berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi inilah inilah sumber utama kemajuan Barat (Ali, 1993: 70).
Kritik atas Sufisme
Doktrin sufisme yang menjadi sasaran kritik al-Afghani adalah doktrin fana. Sebagian dari kaum sufi memahami hal itu sebagai peniadaan diri, penyatuan dengan Tuhan, atau yang ada sebenarnya hanya Tuhan. Pemahaman seperti itu membuat orang meninggalkan kehidupan duniawi, mengasingkan diri dari keramaian masyarakat, dan memfokuskan diri untuk beribadah kepada Allah.
Al-Afghani berkesimpulan bahwa pemahaman seperti itu bukan dari ajaran Islam sekaligus menimbulkan kemunduran umat Islam. Menurut al-Afghani, pengertian fana yang sebenarnya ialah berjuang di tengah masyarakat untuk kepentingan masyarakat itu sendiri dengan tidak menampakkan diri sendiri dan tidak merasa lebih ada. Fana adalah adanya hubungan dengan Allah dan hubungan dengan masyarakat. Diri yang diperkuat oleh hubungan dengan Allah akan mendapatkan nur ilahi. Jiwa inilah yang dibawa ketengah masyarakat dan ditiadakan (fana) di tengah masyarakat (Hamka, 1996: 74).
Perihal Pan Islamisme
Ide pembaruan dan pengembangan pemikiran kalam yang diperjuangkan oleh al-Afghani didasari atas keyakinan bahwa agama Islam sesuai untuk semua bangsa, zaman, dan keadaan. Tidak ada pertentangan antara ajaran Islam dan kondisi yang disebabkan perubahan zaman. Kalau kelihatan ada pertentangan antara keduanya, dilakukan penyesuaian dengan mengadakan interprestasi baru terhadap ajaran-ajaran Islam yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadis. Untuk mencapai hal itu dilakukan ijtihad di mana pintu ijtihad itu sendiri memang seharusnya tetap terbuka.
Ide yang lebih dahulu diperjuangkannya adalah mempersatukan dunia Islam; umat Islam di seluruh penjuru dunia harus bersatu dalam menghadapi serangan pihak Barat. Nikki R. Keddie memberikan komentar bahwa Sayyid Jamaluddin al-Afghani adalah perintis modernisme Islam khususnya aktivisme anti imperialis. Dia menganjurkan untuk memperjuangkan dan mempertahankan persatuan Pan-Islam karena hal itu merupakan sarana untuk memperkuat dunia muslim menghadapi Barat (Rahmena, 1996: 17).
Al-Afghani bersemangat untuk mewujudkan umat Islam yang kuat, dinamis, dan maju. Ide yang diajukan untuk bisa mewujudkan hal itu adalah dengan melenyapkan pengertian yang keliru terkait spirit Islam dan kembali pada ajaran Islam yang sebenarnya. Menurut al-Afghani, Islam mencakup segala aspek kehidupan, baik itu ibadah, hukum, maupun sosial. Corak pemerintahan autokrasi harus diubah dengan corak pemerintahan demokrasi, dan persatuan umat Islam harus diwujudkan kembali. Kekuatan dan kelanjutan hidup umat Islam tergantung kepada keberhasilan membina persatuan dan kerjasama.
Pada aspek lain, secara umum, al-Afghani memunculkan pemikiran untuk mengangkat peran al-Qur’an dan Hadis Nabi. Dia melihat bahwa umat Islam pada saat itu tidak banyak memahami al-Qur’an dan Hadis sehingga pemikiran dan perilaku mereka keluar dari garis-garis yang ditetapkan al-Qur’an. Karena tidak memahami al-Qur’an dengan benar, umat Islam kemudian mudah terjerumus ke dalam berbagai paham yang menyesatkan seperti paham jabariyah yang tidak percaya diri dan cenderung meninggalkan usaha, paham sofistik yang tidak mengakui dunia nyata, berbagai ajaran tasawuf yang mengerjakan khalwat, serta uzlah dan fana yang membawa kelemahan bagi umat Islam (Mansur, 1994: 40).
Sebagai seorang pemikir di bidang kalam atau teologi, al-Afghani, melalui karyannya Al-Radd ‘ala al-Dahriyyin (Penolakan Terhadap Kaum Materialis atau Naturalis), telah mengadakan penolakan terhadap filsafat materialis dan naturalis. Selanjutnya, ia mengajukan sumbangan pemikiran yang tidak ternilai harganya dalam usaha mencapai peradaban dan kemajuan.
Al-Afghani menjelaskan bahwa agama mengajarkan kepada manusia tiga kebenaran fundamental, yaitu sifat malaikat atau spiritual manusia yang merupakan tuan segala makhluk, kepercayaan setiap umat beragama kepada keunggulannya sendiri, dan kesadaran bahwa kehidupan manusia di dunia ini hanyalah suatu persiapan bagi kehidupan lain yang lebih tinggi (Fakhry, 1997: 458).
Ketiga kebenaran fundamental di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. Kebenaran pertama akan menimbulkan dorongan yang kuat dalam diri manusia untuk mengalahkan bermacam ragam kecendrungan hewani, dan mewujudkan hidup damai dan rukun sesama manusia. Kebenaran kedua akan membangkitkan semangat daya saing dalam rangka mewujudkan kehidupan individu dan masyarakat sesuai dengan kebenaran itu; mereka akan senantiasa berusaha memperbaiki nasib sendiri dalam berbagai aspek kehidupan hingga mencapai peradaban yang tinggi. Kebenaran ketiga akan membangkitkan suatu dorongan untuk menyempurnakan pandangan hidup ke dunia yang lebih tinggi, kemana akhirnya mereka akan kembali, untuk membersihkan diri sendiri dari segala kejahatan dan kebencian dan untuk hidup sejalan dengan aturan permainan, keadilan, dan cinta (Fakhry, 1997: 458).
Selain dari ketiga macam kebenaran yang dikemukakan di atas, al-Afghani menjelaskan juga bahwa agama telah menanamkan dalam diri pemeluknya tiga karakter, yaitu kerendahan hati, di mana hal ini dapat memelihara diri dari semua tindakan jahat, jujur, yang menjadi benteng bagi suatu negara hukum yang sehat, dan dapat dipercaya, tanpa sifat ini maka perhimpunan manusia pada hakikatnya tidak mungkin terjadi (Mansur, 1994: 93).
Kepercayaan agama yang sejati harus dibangun di atas demonstrasi yang kokoh dan pembuktian yang sah, bukan di atas angan-angan atau opini para pendahulu. Keunggulan Islam terletak pada kenyataan bahwa ia memerintahkan para pemeluknya untuk tidak menerima segala sesuatu tanpa pembuktian dan memperingatkan mereka agar tidak tersesat oleh angan-angan atau pikiran-pikiran spontan.
Salah satu statemen al-Afghani dalam Al-Radd ‘ala al-Dahriyyin yang dikutif oleh Majid Fakhry adalah sebagai berikut, “Agama ini memerintahkan para pemeluknya untuk mencari suatu dasar yang demonstratif bagi dasar-dasar kepercayaan. Oleh karena itu, ia selalu menyebut-nyebut akal dan mendasarkan aturan-aturannya padanya. Naskah-naskahnya dengan jelas menyatakan bahwa kebahagiaan manusia merupakan hasil (produk) akal dan pengetahuan dan bahwa penderitaan atau keterkutukan akibat kebodohan, tidak memperdulikan akal dan padanya cahaya pengetahuan” (Fakhry, 1997: 461).
Kemunduran umat Islam bukanlah karena Islam, sebagaimana dianggap, tidak sesuai dengan perubahan zaman dan kondisi baru. Ketertinggalan atau keterbelakangan umat Islam karena telah meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya dan mengikuti ajaran-ajaran yang datang dari luar lagi asing bagi Islam. Ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya hanya tinggal dalam ucapan dan di atas kertas. Sebagian dari ajaran-ajaran asing itu dibawa orang-orang yang berpura- pura besikap suci, sebagian dibawa orang-orang yang mempunyai keyakinan- keyakinan yang menyesatkan, dan sebagian lagi dari hadis-hadis buatan.
Rangkuman
Pemikiran kalam modern al-Afghani tidak mencakup semua term kalam yang diperbincangkan oleh para ahli kalam pada masa sebelumnya. Ia hanya menyorot dan merekonstruksi pemahaman Qadha dan Qadar (takdir) yang fatalistis dan statis menjadi bentuk pemahaman yang dinamis dan bersemangat modernis. Gagasan tentang takdir yang ditawarkan oleh al-Afghani bukanlah paham qadariyah yang berpendapat bahwa segala manusia berkuasa atas tindakannya. Al-Afghani juga tidak menawarkan gagasan takdir yang ada pada paham jabariyah, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu.
Bagi al-Afghani, manusia memang memiliki takdir yang tidak dapat diubah; manusia, dalam dimensi fisiknya, tidak dapat berbuat lain kecuali mengikuti hukum alam, namun manusia ditakdirkan mempunyai daya pikir yang kreatif dan inovatif sehingga manusia bisa berkembang maju, dinamis, aktif, dan kreatif.
Selain itu, bagi al-Afghani, hal yang tidak kalah pentingnya adalah mempersatukan dunia Islam; umat Islam di seluruh penjuru dunia harus bersatu dalam menghadapi serangan pihak Barat. Inilah inti dari gagasan Pan-Islamisme.
Pustaka
Ali, Mukti. 1993. Alam pikiran Islam Modern di India dan Pakistan. Bandung: Mizan.
Fakhry, Majid. 1997. A History Of Islamic Philosophy, terj. Mulyadi Kartanegara, Sejarah Dan Pemikiran, Filsafat Islam. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Hamka. 1996. Said Djamaluddin Al-Afghani. Jakarta: Bulan Bintang.
Hartono, Dick. 1986. Kamus Populer Filsafat. Jakarta: Rajawali Press.
Mansur, Muhammad Laily. 1994. Pemikiran Kalam Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Munir, A. dkk. 1994. Aliran Modern Dalam Islam. Jakarta: Rineka Cipta.
Nasir, Sihilun A. 2010. Pemikiran Kalam Teologi Islam; Sejarah Ajaran dan Perkembangannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nasution, Harun. 1996. Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran Dan Gerakannya. Jakarta: Bulan bintang.
Rahnema, Ali. 1996. Pioneers Of Islamic Revival, terj. Ilyas Hasan, Para Perintis Zaman Baru Islam. Bandung: Mizan.
Rozak, Abdul dan Rosihan Anwar. 2012. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia, 2012.
Sani, Abdul. 2012. Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta: Grafindo Persada.
Sjadzali, Munawir. 1993. Islam dan Tata Nagara; Ajarah Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Prees.
Yusuf, M. Yunan. 1990. Alam pikiran Islam. Jakarta: Perkasa.
Sumber Ilustrasi: wikidocumentaries