Empat Kebenaran Mulia pertama kali disampaikan oleh Siddhartha Gautama pada tahun 528 SM di Taman Rusa, Sarnat, dekat Varanasi, tidak lama setelah ia mendapat pencerahan (Sumedho, 2010: 19).
Empat Kebenaran Mulia merupakan ajaran yang sangat luhur sehingga, berkat keluhurannya, tidak sedikit cendikiawan muslim yang menyebut Siddharta sebagai nabi. Jamaluddin al-Qasimi, misalnya, dalam kitab Mahasin al-Ta’wil menyebut Siddhartha sebagai salah satu nabi yang juga diceritakan di dalam al-Qur’an. Ia menafsirkan kata “al-Tin” yang terdapat dalam surat al-Tin sebagai pohon Bodhi, tempat Siddhartha mendapat pencerahan. Tafsiran seperti ini bukanlah hal yang baru. Di Abad Pertengahan, Ibn Taimiyah juga membuat tafsiran yang sama (Fauziah, 2018: 50).
Jika kita memaksa diri mencari, tentu kita akan menemukan kesamaan antara Siddhartha dengan para nabi. Sebagaimana nabi pada umumnya, Siddhartha pun pada mulanya tidak ingin membebani dirinya dengan tanggung jawab sosial. Sesaat setelah pencerahan, ia bermaksud menyimpan untuk dirinya sendiri kebenaran yang telah ia peroleh ketimbang harus menyampaikan dan mengajarkannya kepada orang lain.
Alasannya cukup sederhana; kebenaran yang ia peroleh ini merupakan ajaran yang sangat mendalam sehingga akan sulit menyampaikannya kepada orang lain dengan kata-kata. Ketika Siddhartha berpikir demikian, ia pun didatangi oleh Mahadewa Brahma Sahampati, dewa pencipta dalam tradisi Hindu, dan memintanya untuk tetap menyampaikan dan mengajarkan ajarannya (Sumedho, 2010: 24).
Lalu apa pula yang membedakan Siddhartha dengan para nabi? Jika memang “nabi” sendiri artinya adalah “orang yang diberitahu” atau “diberi kabar”, tentu Siddhartha tidak bisa begitu saja disamakan dengan nabi layaknya nabi-nabi dalam tradisi Bani Israel. Hal ini tidak lain karena ia tidak pernah mengakui bahwa pencerahan atau kebenaran yang ia peroleh merupakan anugrah yang diberikan oleh sosok yang lebih agung. Sebaliknya, ia justru mengklaim bahwa semua itu ia peroleh berkat usahanya sendiri.
Dalam Dhammacakkappavattana Sutta Siddhartha mengatakan:
Saya adalah yang telah mengatasi segalanya,
Saya terlepas dari segala bentuk;
Telah melepaskan segalanya, mencapai pembebasan,
Dengan menghancurkan nafsu keinginan.
Telah memperoleh pengetahuan dengan kemampuan saya sendiri,
Siapa yang seharusnya saya sebut sebagai guru?
Kemudian ia melanjutkan dengan ungkapan berikut:
Saya tidak mempunyai guru,
Tiada siapa pun yang menyamaiku
Di alam manusia dan dewa,
Tidak ada yang menjadi tandinganku (Sayadaw, 2020: 49).
Ungkapan di atas ia sampaikan kepada Upaka, orang yang ia temui di jalan ketika menuju Taman Rusa, belum terlalu jauh dari pohon Bodhi. Sekarang mari kita melakukan identifikasi psikologis: anggaplah bahwa kita adalah Upaka yang mendengar langsung ungkapan tersebut dari seseorang yang mungkin tidak kita kenal. Mungkin kita akan menganggap orang itu sedang berhalusinasi. Begitu juga dengan Upaka, ia tidak tertarik dengan apa yang disampaikan Siddhartha dan pergi berlalu begitu saja.
Beberapa sumber mengatakan bahwa Siddhartha sadar apa yang telah ia ungkapkan tidaklah efektif. Oleh karena itu, ia tidak mengulangi ungkapannya itu lagi di Taman Rusa, melainkan langsung membabarkan Empat Kebenaran Mulia kepada lima orang rekannya di Taman Rusa (Sumedho, 2010: 27). Empat Kebenaran Mulia tersebut adalah kebenaran yang dinamakan penderitaan (Dukkhasacca), kebenaran yang dinamakan asal mula penderitaan (Samudayasacca), kebenaran yang dinamakan akhir penderitaan (Nirodhasacca), dan kebenaran yang dinamakan jalan menuju berakhirnya penderitaan (Maggasacca).
Kebenaran yang Dinamakan Penderitaan (Dukkhasacca)
Para bhikkhu, apa yang akan saya ajarkan sekarang adalah kebenaran mulia yang dinamakan penderitaan yang harus diketahui para ariya. Kelahiran adalah penderitaan; penuaan adalah penderitaan; kematian adalah penderitaan; kesedihan, ratap tangis, kesakitan, dukacita, dan kepedihan yang mendalam adalah penderitaan; berkumpul dengan orang-orang yang tidak disukai atau orang yang dibenci adalah penderitaan; berpisah dengan orang-orang yang disukai adalah penderitaan; tidak mendapatkan apa yang diinginkan itu pun adalah penderitaan; atau sebaliknya, mendapat apa yang tidak diinginkan juga penderitaan. Secara singkat, lima agregat yang membentuk objek pelekatan atau kelompok nama-rupa yang melekat pada konsep aku, milikku, kekekalan, kepuasan (sukha), diri sendiri, sesungguhnya merupakan penderitaan (Sayadaw, 2020: 134-135).
Ungkapan di atas seakan menjadi kabar buruk bagi siapa pun yang mendengarnya. Namun Siddhartha telah mengungkapkan realitas yang sesungguhnya, yaitu kehidupan adalah penderitaan. Ini bukan soal “penderitaanku”, “penderitaanmu”, atau “penderitaan siapa pun”, melainkan, sekali lagi, hidup itu sendiri adalah penderitaan.
Jika kita mencermati dengan seksama ungkapan di atas, sangat jelas akan sulit menemukan ruang bagi kebahagiaan, terlebih-lebih karena kita cenderung memahami kebahagiaan sebagai sesuatu yang ada di luar sana, bisa dipungut sebanyak-banyaknya, dan bisa pula dikuasai. Semakin banyak kita memungut sesuatu yang disebut kehahagiaan ini, maka semakin bahagia pulalah kita. Dalam ajaran Siddartha memang tidak ada tempat bagi kebahagiaan semacam itu. Bahkan sebaliknya, sebagaimana yang akan kita lihat, kebahagiaan semacam itu pun tidak lain adalah penderitaan.
Mahasi Sayadaw mencatat setidaknya ada tujuh kategori penderitaan. Pertama adalah Dukkha Dukkha, yaitu sifat alami penderitaan, baik itu penderitaan jasmani maupun rohani, atau yang disebut juga sebagai penderitaan dalam rasa sakit. Oleh karena itu, Dukkha Dukkha adalah sesuatu yang selalu dihindari oleh makhluk hidup.
Kedua adalah Viparinama Dukkha. Jenis penderitaan ini terdiri dari Kaya Sukha, yaitu sensasi kenikmatan jasmani yang muncul di saat kita berinteraksi dengan objek-objek yang menyenangkan, dan Cetasika Sukha, kondisi batin yang muncul akibat interaksi dengan objek-objek yang menyenangkan tersebut.
Berbeda dengan Dukkha Dukkha yang selalu dihindari oleh setiap makhluk hidup, Viparinama Dukkha pada dasarnya adalah sesuatu yang selalu digandrungi oleh setiap makhluk hidup. Hal ini mengingatkan saya dengan ungkapan Jeremy Bentham yang kemudian menjadi kredo utilitarianisme. Bentham mengatakan, “Alam telah menempatkan manusia di bawah kendali kesenangan dan penderitaan” (Bentham, 2010: 26). Oleh karena itu, Bentham menganjurkan agar seluruh aturan, baik itu hukum dan moral, haruslah bertujuan untuk menghindari penderitaan dan mengejar kesenangan.
Apa yang dimaksud Bentham dengan “kesenangan” dan “penderitaan” tidak lain adalah Viparinama Dukkha dan Dukkha Dukkha. Namun, kesenanangan, yang dalam ajaran utilitarianisme adalah sesuatu yang seharusnya didambakan, dalam Buddhisme hal itu justru adalah penderitaan. Lalu bagaimana mungkin kesenangan yang senyatanya memang sangat didambakan oleh seluruh makhluk hidup justru dianggap sebagai penderitaan? Bagaimana mungkin sukha menjadi dukkha?
Anggaplah kita mendambakan sesuatu dan kita pun memperolehnya. Tentu ini sangat menyenangkan, dan tentu saja Siddhartha pun tidak mengingkari hal ini. Namun, ketika sesuatu yang telah kita miliki ternyata luput dari genggaman, maka seketika itu juga kesenangan akan berubah menjadi penderitaan. Tidak sedikit orang yang depresi, dihampiri kegilaan, atau bahkan memilih mengakhiri hidup karena kehilangan sesuatu yang sangat dicintai. Itulah Viparimana Dukkha yang secara harfiah dapat diartikan sebagai penderitaan akibat perubahan.
Ketiga adalah Sankhara Dukkha. Interaksi kita dengan dunia luar biasanya akan melahirkan kesan-kesan, baik itu berupa kesan yang menyenangkan maupun kesan yang tidak menyenangkan. Namun, ada situasi di mana interaksi kita dengan dunia luar tersebut tidak melahirkan kesan apa pun.
Hal ini biasanya terjadi ketika kita berinteraksi dengan “benda-benda” yang sering kita saksikan sehingga kehadiran mereka tidak memberi pengaruh apa pun pada kondisi mental kita. Kondisi ini disebut sebagai Upekkha Vedana, yaitu perasaan tenang atau netral.
Sebagaimana rasa senang, kondisi netral pun selalu bersifat temporer. Butuh upaya yang gigih dan terus menerus agar mental tetap berada dalam kondisi netral. Upaya seperti itu pada dasarnya tidak lain adalah penderitaan. Jika disimpulkan dari penjelasan sebelumnya, maka kita akan menemukan tiga kondisi mental, yaitu rasa sakit, rasa senang, dan netral. Ketiga-tiganya adalah penderitaan.
Keempat adalah Paticchanna Dukkha, yaitu penderitaan jasmani seperti sakit kepala, sakit gigi dan sebagainya maupun penderitaan rohani akibat tidak terpenuhinya keinginan seperti amarah, kekecewaan, sedih, dan sebagainya. Penderitaan ini pada dasarnya hanya diketahui oleh si penderita. Itulah mengapa ia disebut sebagai Paticchanna Dukkha, yang secara harfiah berarti penderitaan terselubung atau disebut juga sebagai Apataka Dukkha, yaitu penderitaan semu.
Kelima adalah Apatichanna Dukkha. Berbeda dengan Paticchanna Dukkha yang sifatnya terselubung, Apaticchanna Dukkha justru sangat mudah diidentifikasi oleh orang lain. Penderitaan jenis ini meliputi luka atau bekas luka pada tubuh, entah itu akibat tebasan pedang atau semacamnya. Apaticchanna Dukkha disebut juga sebagai Pataka Dukkha yang berarti penderitaan nyata atau penderitaan yang terlihat.
Keenam adalah Pariyaya Dukkha, penderitaan yang muncul dari semua bentuk nama dan rupa. Nama, sebagai unsur-unsur rohani, dan rupa, sebagai unsur-unsur jasmani merupakan dua unsur yang membentuk kehidupan. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Nama dan rupa juga disebut sebagai Pancaskandha, yaitu lima gugus atau lima agregat kehidupan yang terdiri dari wujud materi (rupa), perasaan atau sensasi (vedana), persepsi atau pencerapan (samjna), kehendak atau aktivitas mental (sankhara), dan kesadaran (vijnana).
Tanpa lima agregat ini semua makhluk hidup tidak akan bisa berinteraksi dengan dunia luar. Bahkan lebih dari itu, tidak akan ada yang namanya makhluk hidup dan dunia luar. Interaksi dengan dunia luar itu sendiri pada dasarnya bukanlah penderitaan, namun penderitaan pasti lahir darinya karena makhluk hidup akan melekat pada Pancaskandha tersebut. Itulah mengapa penderitaan jenis ini disebut sebagai Pariyaya Dukkha, yang bisa dipahami sebagai penderitaan tidak langsung.
Ketujuh adalah Nippariyaya Dukkha, yaitu penderitaan langsung. Tidak perlu aturan rumit untuk menyadari penderitaan ini. Kelahiran (jati) termasuk penderitaan jenis ini. Tidak peduli di mana dan dalam status sosial apa seseorang dilahirkan, ia akan tetap merasakan penderitaan. Anggaplah kita dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang berkecukupan, namun itu tidak menutup pintu bagi penderitaan untuk selalu hadir dalam kehidupan kita. Tubuh masih bisa terserang penyakit. Begitu pula batin tidak jarang mengalami kecemasan dan ketakutan. Oleh karena itu, kelahiran itu sendiri adalah penderitaan.
Kebenaran yang Dinamakan Asal Mula Penderitaan (Samudaya Sacca)
Para bikhu, apa yang akan saya ajarkan sekarang adalah kebenaran mulia yang dinamakan dengan asal mula penderitaan yang harus diketahui oleh para ariya. Ada keinginan ini, nafsu ini yang memunculkan kelahiran kembali yang baru dan terikat dengan kesenangan dan pelekatan; mencari kenikmatan, mencari kepuasan sekarang di sini, sekarang di sana, di mana-mana…” (Syadaw 2020: 174).
“Keinginan adalah sumber penderitaan”. Demikianlah inti dari ungkapan di atas. Jika kita mencermati dunia luar, akan terlihat bahwa fenomena-fenomena maupun benda-benda yang ada di sekeliling kita semuanya berasal dari keinginan; buku yang sedang kita pegang ada karena keinginan, segelas kopi atau minuman apa pun yang ada di meja kitaa ada karena keinginan, dan bahkan keberadaan kita di dunia ini juga karena keinginan. Pernahkah kita melakukan sesuatu tanpa melibatkan keinginan kita sendiri? Tentu saja. Namun, itu bukan berarti tanpa keinginan sama sekali. Hal seperti itu biasa terjadi ketika kita tunduk pada keinginan yang lebih superior; entah itu keinginan orang tua, penguasa, dan sebagainya.
Lalu, apakah keinginan itu? Dalam bahasa Pali keinginan disebut sebagai Tanha, yang secara harfiah berarti dahaga (Sayadaw, 2020: 174). Namun berbeda dengan yang dipahami sehari-hari, keinginan adalah suatu jenis dahaga yang tidak akan pernah terpuaskan. Ketika orang memperoleh sesuatu yang diinginkan, lambat laun ia akan merasa bosan dengan apa yang telah ia peroleh dan ia pun akan menginginkan sesuatu yang lain, demikian seterusnya tanpa akhir.
Siddhartha menyebut ada tiga jenis tanha yaitu, Kamatanha, Bhavatanha, dan Vibhatanha. Harus diingat bahwa tiga tanha ini bukanlah sesuatu yang masing-masing berdiri sendiri, melainkan ragam aspek dari keinginan itu sendiri yang dibedakan berdasarkan objeknya. Dengan demikian tanha akan lebih mudah dipahami (Sumedho, 2010: 68).
Kamatanha adalah keinginan terhadap kenikmatan-kenikmatan sensual (Sumedho, 2010: 65). Keinginan jenis ini sangat mudah dipahami karena ia sering hadir ketika kita berinteraksi dengan objek-objek indera. Ketika melihat objek yang indah, kita akan berkeinginan untuk memilikinya atau setidaknya berkeinginan untuk terus berinteraksi dengannya. Pun demikian ketika orang mendengar suara yang merdu, mencium aroma yang wangi, dan seterusnya.
Bhavatanha adalah keinginan yang disertai anggapan keliru tentang kekekalan (sassataditthi). Sebagian besar orang mungkin percaya bahwa jiwanya akan kekal setelah kematian. Namun tidak satu pun dari mereka yang tahu bahwa jiwa benar-benar kekal. Mereka hanya berharap demikian: mereka ingin agar mereka terus kekal. Inilah Bhavatanha yang secara harfiah dapat diartikan sebagai keinginan untuk kekal (Sayadaw, 2020: 218).
Namun, manifestasi dari keinginan jenis ini sangat beragam. Ketika kita ingin menjadi sesuatu yang berbeda dari diri kitayang sekarang, itu juga merupakan manifestasi dari Bhavatanha. Oleh karena itu, sebagian komentator juga mengartikan Bhavatanha sebagai keinginan untuk menjadi (Sumedho, 2010: 66).
Terkadang kita tidak mampu menerima kenyataan bahwa “inilah aku sebagaimana adanya”. Selalu ada keinginan untuk menjadi lebih dari sekedar apa adanya. Beberapa orang ingin menjadi manusia suci, ada yang ingin menjadi figur publik, dan seterusnya. Tentu saja tidak semua keinginan-keinginan ini selalu sejalan dengan realitas. Ketika terjadi kontradiksi antara keinginan-keinginan ini dengan realitas, maka di sanalah akan lahir penderitaan.
Vibhavatanha adalah keinginan yang disertai anggapan keliru tentang tiadanya kehidupan atau tidak ada yang tersisa setelah kematian (ucchedaditthi). Doktrin seperti ini diajarkan oleh Ajita, pemimpin salah satu sekte di zaman Siddhartha hidup. Kata “vibhava” dalam “vibhavatanha” sendiri artinya adalah “tidak dilahirkan”, “bukan wujud”, atau “penghancuran kehidupan”. Oleh karena itu, berbeda dengan Bhavatanha, Vibhavatanha dapat dipahami sebagai keinginan untuk binasa (Sayadaw, 2020: 220).
Manifestasi dari keinginan ini juga beragam. Sekedar untuk memudahkan pemahaman; ketika seseorang gagal memenuhi keinginan untuk menjadi sesuatu, ia akan berusaha untuk menjadi sesuatu yang lain. Ketika seseorang telah putus asa untuk menjadi sesuatu, maka lahirlah keinginan untuk tidak menjadi apa pun. Inilah Vibhavatanha, yang sebagian komentator menyebutnya sebagai “keinginan untuk tidak menjadi” atau “keinginan untuk menyingkirkan” (Sumedho, 2010: 67).
Contoh lain, interaksi dengan dunia luar biasanya akan melahirkan kesan-kesan yang dikotomis seperti suka dan tidak suka. Vibhavatanha selalu hadir untuk menyingkirkan apa yang tidak disukai. Problemnya adalah, tidak semua yang tidak disukai dapat disingkirkan begitu saja. Itulah mengapa Siddhartha, dalam Dhammapada, berpesan, “Janganlah menggeluti yang disenangi dan yang tak disenangi kapan saja. Tak melihat yang disenangi dan melihat yang tak disenangi adalah penderitaan” (Dhammapada, 2023: 59).
Tiga jenis keinginan yang telah diuraikan di atas adalah sumber dari segala bentuk penderitaan. Namun, yang menjadi persoalan adalah tanpa keinginan-keinginan tersebut, manusia atau bahkan mahkluk hidup pada umumnya tidak akan mampu bertahan hidup. Bukankah menyingkirkan keinginan-keinginan tersebut berarti menolak kehidupan? Bukankah menyingkirkan keinginan juga merupakan bentuk dari keinginan? Dengan kata lain, mampukah keinginan menyingkirkan dirinya sendiri dan keinginan seperti apakah itu? Pertanyaan-pertanyaan ini akan menggiring kita pada situasi yang rumit, namun akan coba diuraikan dalam pembahasan berikutnya.
Kebenaran yang Dinamakan Akhir Penderitaan (Nirodhasacca)
Para bhikkhu, apa yang akan saya ajarkan sekarang adalah kebenaran mulia yang dinamakan akhir penderitaan, kebenaran sejati yang seharusnya diketahui oleh para arya. Ini merupakan pelenyapan dan akhir sepenuhnya dari rasa lapar, nafsu-kehausan tanpa tersisa, meninggalkan dan menyerahkan, melepaskan, merelakan, dan terbebas dari nafsu-kehausan (Sayadaw, 2020: 226).
Di atas telah dijelaskan berbagai jenis keinginan yang kemudian menjadi sumber dari segala bentuk penderitaan. Namun, yang perlu dipahami adalah bahwa keinginan itu sendiri bukanlah penderitaan. Ia hanya menjadi sumber penderitaan dan tidak mesti selalu demikian. Keinginan akan menjadi sumber penderitaan jika orang terikat padanya. Terikat pada keinginan berarti tunduk padanya dan terlalu bereaksi dengan kehadirannya (Sumedho, 2010: 70).
Keinginan tentu bukanlah sesuatu yang dapat disingkirkan karena upaya menyingkirkannya hanya akan membawa kita pada lingkaran setan. Dengan kata lain, berkeinginan untuk menyingkirkan keinginan tidak lain adalah Vibavatanha yang juga menjadi sumber penderitaan. Semakin orang berkeinginan untuk menyingkirkan keinginan, semakin jauh pula ia terperosok dalam penderitaan. Oleh karena itu, akhir dari penderitaan bukanlah kondisi yang dicapai melalui upaya untuk menyingkirkan keinginan, melainkan kondisi ketika keinginan dilepaskan atau dibiarkan begitu saja berlalu sebagaimana adanya.
Kita bisa saja meragukan hal ini dengan mengatakan bahwa “membiarkan” pun selalu melibatkan keinginan. Namun, “membiarkan” bukanlah suatu jenis aktivitas apa pun. Artinya, dengan membiarkan sesuatu sebagaimana adanya berarti kita tidak sedang melakukan apa-apa. Sesuatu akan berjalan sebagaimana adanya justru ketika absennya keinginan. Sebaliknya, keinginan tidak akan pernah membiarkan sesuatu berjalan sebagaimana adanya. Ia selalu berupaya menempatkan sesuatu dibawah dominasinya.
Di saat-saat tertentu kita pastinya sering merasa kesal atau marah dengan realitas yang sedang dihadapi. Rasa jengkel dan marah ini muncul karena realitas tersebut tidak tunduk di bawah keinginan kita. Tentu saja rasa jengkel dan marah ini adalah penderitaan. Namun ,yang perlu dipahami adalah, bukan realitas, melainkan ketidakmampuan untuk menerima realitas sebagaimana adanya-lah yang menyebabkan penderitaan.
Kebenaran yang dinamakan Jalan Menuju Berakhirnya Penderitaan (Maggasacca)
Para bhikkhu, apa yang akan saya ajarkan sekarang adalah kebenaran mulia yang dinamakan jalan menuju lenyapnya penderitaan. Dan, apakah jalan tersebut? Ini adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan, yaitu pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar (Sayadaw, 2020: 232).
Jalan Mulia Berunsur Delapan di atas kemudian disebut juga sebagai Jalan Tengah. Disebut demikian karena jalan ini berada di antara dua jalan ekstrim, yaitu memburu kenikmatan-kenikmatan sensual di satu sisi dan asketisme ekstrim yang berupa penyiksaan diri di sisi lain.
Kedua jalan ekstrim ini lumrah dipraktikkan oleh orang-orang di masa Siddhartha hidup. Siddhartha sendiri sebelumnya pernah menempuh dua jalan ekstrim tersebut, namun menurutnya dua jalan tersebut tidak akan membantu untuk mencapai pencerahan. Hanya melalui Jalan Tengah atau Jalan Berunsur Delapanlah pencerahan dapat direalisasi. Siddhartha mengatakan, “Para bikkhu, dengan menghindari dua hal ekstrim, Saya telah mencapai pengetahuan tertinggi dari Jalan Tengah, yang menghasilkan penglihatan, pengetahuan, dan menuntun ke ketenangan” (Sayadaw, 2020: 57).
Di bawah ini akan diuraikan secara ringkas masing-masing dari delapan unsur Jalan Tengah tersebut.
Unsur pertama dari Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah Pandangan Benar (sammaditthi). Ajahn Sumedho meyebut bahwa urutan dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan ini sebenarnya tidak mesti selalu demikian. Orang tidak harus memiliki Pandangan Benar terlebih dahulu baru kemudian beranjak ke Pikiran Benar (sammasankappa) dan seterusnya. Dalam praktikknya, delapan unsur tersebut sebenarnya terjadi bersamaan (Sumedho, 2010: 106).
Namun, kitab Anguttara Nikaya menyebut bahwa ketika Siddhartha menempatkan Pandangan Benar dalam urutan pertama sebenarnya memiliki konsekuensi logis. Pandangan Benar akan mengkondisikan urutan-urutan setelahnya. Dengan kata lain, Pandangan yang benar akan melahirkan Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Usaha Benar, Perhatian Benar, dan Konsentrasi yang Benar. Sebaliknya, pandangan yang salah akan melahirkan pikiran yang salah, pikiran yang salah akan melahirkan ucapan yang salah. Dalam ucapan yang salah terkandung perbuatan salah. Dalam perbuatan salah terkandung pula mata pencarian yang salah. Dan demikian seterusnya sampai pada konsentrasi yang salah (Wijaya, 2008: 7).
Pertanyaannya kemudian adalah, pandangan benar tentang apa? Siddhartha sendiri menjelaskan bahwa yang dimaksud Pandangan Benar adalah pandangan benar tentang Empat Kebenaran Mulia. Ia mengatakan, “Para bhikkhu, pandangan benar adalah memahami apa yang dinamakan penderitaan, memahami asal mula penderitaan, memahami akhir penderitaan, dan memahami jalan menuju akhir penderitaan” (Sayadaw, 2020: 232).
Pandangan benar juga diarahkan untuk memahami hukum universal yang berlaku di alam semesta, yaitu bahwa segala sesuatu senantiasa berubah (Wijaya, 2008: 20). Apa yang digenggam hari ini suatu saat akan hilang, orang yang dicintai suatu saat akan pergi, dan sukha senantiasa berubah menjadi dukkha. Ini adalah fakta sederhana yang semua orang akan dengan mudah memahaminya. Yang sulit dari fakta ini adalah menerimanya.
Di atas telah dibahas apa yang disebut sebagai Viparinama Dukkha, yaitu penderitaan karena perubahan. Pada dasarnya bukan perubahan itu sendiri yang menyebabkan penderitaan. Melainkan karena ketidakmampuan menerima hukum perubahan. Kita seringkali memperlakukan benda-benda yang kita sukai seolah-olah mereka kekal, dan kita akan mengalami kesedihan yang mendalam ketika mereka hilang.
Unsur kedua adalah Pikiran Benar (sammasankappa). Pikiran Benar berarti pikiran yang bebas dari berbagai macam kotoran batin seperti keserakahan (lobha), kebodohan (moha), kemauan yang buruk (byapada), dan kekejaman (vihimsa). Hal ini dapat diwujudkan melalui pengembangan cinta kasih dan belas kasih kepada semua mkhluk. Kedua unsur yang telah disebutkan, Pandangan Benar dan Pikiran Benar, dikategorikan sebagai kebijaksanaan (panna) yang dapat mengarahkan seseorang pada moral yang baik (sila) (Parjono, 2022: 8).
Unsur ketiga dari Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah Ucapan Benar (sammavacca). Ucapan benar berarti mengucapkan sesuatu sebagaimana adanya. Dengan kata lain, ucapan benar adalah representasi dari realitas. Dalam berkomunikasi dengan orang lain, kita seringkali mendramatisir sebuah percakapan hanya untuk menarik perhatian lawan bicara. Ketika itu dilakukan, sebenarnya kita tidak lagi menyampaikan sesuatu sebagaimana adanya. Kebohongan-kebohongan kecil sangat rentan hadir dalam percakapan yang demikian.
Ucapan benar akan terwujud ketika kita mampu menahan diri untuk tidak berbohong (musavada), memfitnah (pisunavacca), mencerca (pharusapacca), dan menjauhkan diri dari percakapan yang tidak bermanfaat (samphapalapa) (Parjono, 2022: 9).
Usur keempat dari Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah Perbuatan Benar (sammakammanta). Perbuatan Benar adalah perbuatan yang tidak menyakiti dan merugikan diri sendiri maupun orang lain (parjono, 2022: 9). Dua jalan ekstrim yang telah diuraikan di atas, yaitu mengumbar hawa nafsu dan asketisme ekstrim adalah bentuk dari perbuatan salah yang hanya akan melahirkan penderitaan terus menerus.
Perbuatan Benar dapat dikembangkan melalui penerapan Pancasila; bertekad untuk tidak menyakiti atau membunuh, tidak mencuri, tidak melakukan perbuatan zina, tidak berbohong, dan tidak mengkonsumsi hal-hal yang dapat menghilangkan kesadaran (Seng-yen, 2006: 89-90).
Unsur kelima adalah Penghidupan Benar (sammaajiva). Penghidupan Benar adalah penghidupan yang tidak merugikan diri sendiri dan makhluk lain. Siddharta memberikan beberapa contoh terkait penghidupan yang salah, yaitu perdagangan daging, perdagangan senjata, perdagangan makanan dan minuman yang dapat menyebabkan kecanduan, perdagangan racun, dan perdagangan manusia (Parjono, 2022: 9).
Ucapan Benar, Perbuatan Benar, dan Penghidupan Benar masuk dalam kelompok moral (sila) yang dapat mengantarkan seseorang pada konsentrasi yang benar.
Unsur keenam adalah Usaha Benar (sammavayama). Siddhartha menjelaskan bahwa Usaha Benar mencakup empat hal. Pertama, usaha untuk menekan munculnya niat jahat, yaitu hal tidak baik yang belum muncul. Kedua, usaha untuk mengabaikan kejahatan, yaitu hal tidak baik yang telah muncul. Ketiga, usaha untuk mendorong hal-hal baik yang belum muncul. Keempat, mempertahankan hal-hal baik yang telah muncul (Sayadaw, 2020: 98-99).
Unsur ketujuh adalah Perhatian Benar (sammasati). Siddhartha menjelaskan bahwa Perhatian Benar mencakup dua hal. Pertama, merenungkan tubuh yang tidak kekal dan melihatnya tidak lebih sebagai jasmani yang buruk dan tidak menyenangkan. Kedua, merenungkan perasaan sebagai perasaan dan memahaminya hanya sebagai fenomena indrawi yang tidak kekal. Dengan merenungkan kedua hal ini, seseorang telah mengatasi Lima Agregat Kehidupan (pancaskandha) sebagaimana yang telah diuraikan di atas (Sayadaw, 2020: 102-103).
Unsur kedelapan adalah Konsentrasi Benar (sammasamadhi). Konsentrasi yang benar berarti tidak membiarkan batin atau pikiran mengembara kemana-kemana, melainkan membiarkannya menetap pada satu objek tunggal. Dengan konsentrasi yang benar, seseorang akan memahami segala bentuk fenomena jasmani dan rohani sebagaimana adanya sehingga pemahaman yang keliru terkait mengumbar hawa nafsu dan penyiksaan diri dapat dihindari.
Usaha Benar, Perhatian Benar, dan Konsentrasi Benar masuk dalam kelompok konsentrasi (samadhi). Inilah Jalan Mulia Berunsur Delapan atau yang disebut juga sebagai Jalan Tengah. Jalan ini dapat mengantarkan seseorang pada realisasi Nibbana, yaitu kondisi berakhirnya penderitaan.
Bacaan Lebih Lanjut:
Ajahn Sumedho. The Four Noble Truths: Penderitaan, Akar, Penuntasan, Jalan. Terj. Team Penerjemah Vidyasena. Yogyakarta: Suwung. 2010.
Dhammapada: Bait Kebenaran. Terj. Hendaka Vijjananda dan Desy Virajati. Jakarta: Lembaga Tipitaka Indonesia. 2023.
Iva Fauziah. “Kenabian Siddhratha Gautama dalam al-Qur’an Menurut Penafsiran al-Qasimi”. Nalar: Jurnal Islamic Studies. II. Juli 2018.
Jayagandho Willy Yandi Wijaya. Pandangan Benar. Yogyakarta: Insight Vidyasena Production. 2008.
Jeremy Bentham. Teori Perundang-Undangan: Prinsip-Prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana. Terj. Nurhadi. Bandung: Nuansa dan Nusamedia. 2010.
Mahasi Sayadaw. Khotbah Utama tentang Pemutaran Roda Dhamma (Dhammacakkappavattana Sutta). Terj. Suwendah Su. Jakarta: Yayasan Dhammavihari. 2020.
Master Sheng-yen. Zen Wisdom: 18 Percakapan tentang Buddhadharma. Terj. Team Penerjemah Penerbit Karaniya. Yogyakarta: Suwung. 2006.
Parjono. “Ariya Attangika Magga Sebuah Metode Jalan Tengah untuk Mengatasi Ekstremisme: Kajian dalam Bingkai Agama Buddha”. Jurnal Pendidikan, Sains, Sosial dan Agama. VIII. Juli 2022.
Sumber Ilustrasi: Pinterest