“Dunia Ketiga”-nya Paolo Pasolini (1922-1975)

Istilah “dunia ketiga” atau “third world” kalau diterjemahkan secara kasar adalah “dunia mayoritas yang miskin”. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Alfred Sauvy, antropolog Prancis, pada tahun 1952 untuk menggambarkan rakyat jelata yang menentang para agamawan dan bangsawan selama Revolusi Perancis. Tidak sedikit yang mengaitkan istilah “dunia ketiga” dengan retorika khas para pemimpin negara-negara paska-jajahan dalam upaya mereka menggalang solidaritas antar sesama negara bekas-jajahan.

Di sini kita tidak sedang memperselisihkan istilah dunia ketiga. Tapi kenyataan dari dunia ketiga mengingatkan pada seorang seniman multitalenta dan bergaya antinomian Italia, Paulo Pasolini. Ia Merilis sekian film,naskah drama, esai, novel dan tentu saja puisi. Ia lebih dikenal sebagai penyair dan sutradara. Dalam film dan puisinya, Pasolini berusaha memberikan cara pandang tidak terduga dan memberikan sudut pandang yang menyalahi keumuman, menghindari tarian dan rayuan populer untuk tujuan berupa kejutan estetik.

Sebelum kematiannya yang tragis pada tahun 1975, Pasolini, seperti kebanyakan orang Indonesia, melihat Italia yang hilang, dan karena menguat dan massifnya penggelembungan modal kapitalis secara global, hanya berharap pada puisi-puisi putus asa dan upaya politik yang selalu gagal.

Visi intelektual dan keseniannya memberinya jalan dalam mengapresiasi perjuangan bangsa Afrika, tidak saja Afrika, tapi mendeteksi alternatif-alternatif intelektual, seni dan politik yang berkembang di tengah orang Afrika-Amerika dan Karibia, dan ia juga tidak menyembunyikan sukacitanya pada KTT Non-Blok pertama pada tahun 1955 di Bandung, di mana ia menulis sebuah puisi berjudul “The Bandung Man”.

Saya tidak panjang mengulas seniman keren Italia ini. Di sini saya menyertakan terjemahan bebas mesin atas sebuah puisi Pasolini, “Kepada Bangsaku”. Di dalamnya Pasolini membeberkan penyakit-penyakit tidak tersembuhkan negar-negara mayoritas miskin (unheable rifts istilah Edward Said), ya penyakit-penyakit berupa mentalitas yang kacau balau tanpa ada obatnya selain terapi intelektual, artistik dan ruhani.

Penyakit-penyakit tak tersembuhkan (unheable rifts ) lebih tepat seperti kutukan daripada sebagai penyakit bawaan. Pemerintahan yang korup, intelektual komparadorisitik, para pemodal yang super rakus, tentara yang ganas, para agamawan yang rusak, dan banyak sekali, di mana semua sebab dari penyakit-kutukan ini dikembalikan kepada warga dunia ketiga. Apa yang mereka alami hari ini adalah “self-inflicted-wound” (sakit yang mereka sayat sendiri pada diri mereka). Semuanya bukan karena dampak kolonialisme berkepanjangan dan imperialisme yang bipolar.

Orang Dunia Ketiga ketika mencoba mengurai komplikasi dari penyakit-kutukan mereka, orang dunia pertama, kedua dan mayoritas orang dunia ketiga sendiri akan menyebutnya sebagai politik-kambing hitam tanpa alamat yang benar. Membeberkan penyakit-kutukan yang tidak akan sembuh akan disebut sebagai hobi Oang Dunia Ketiga menyalahkan orang lain dan mencari justifikasi untuk membenarkan kebencian mereka kepada orang lain.

Penyakit-kutukan Dunia Ketiga masih relevan dengan Indonesia hari ini. Di mana para mentalitas kaum terpelajarnya seperti para tokoh utama dalam novel VS Naipul, A Bend in the River (kelokan sungai), yakni sosok Salim.

Salim digambarkan sebagai orang keturunan muslim Asia Selatan yang sukses karena bisnisnya sehingga membawanya ke Mozambique (Afrika). Kesuksesan adalah upaya Salim mensejajarkan diri dengan para penjajah: sesuatu yang selalu gagal secara mental. Makmur tapi sangat sakit secara mental. Tokoh-tokoh Naipul adalah mereka yang sukses secara materi dan intelektual tapi berakhir sebagai sosok yang babak-belur karena gangguan mental yang kacau balau.

Hal ini mirip dengan Orang Dunia Ketiga yang sekolah ke Eropa atau Amerika (atau dalam negeri), setelah mencapai gelar doktoral kemudian menjadi orang penting, pemikir penting dan memiliki panggung yang menjanjikan. Tapi ia tidak memiliki pertanyaan kritis sedikitpun tentang dirinya dan situasinya. Justru ia menjual penyakit-kutukan yang dialaminya bersama sesama bangsanya kepada para pendengarnya di Barat sana. Ia hanya menulis dengan nyinyir dan pedas tentang bangsanya, menjualnya, tapi keder di hadapan keangkuhan orang kulit putih.

Berikut ini puisi Pasoloni :

Alla mia nazione

Non popolo arabo, non popolo balcanico, non popolo antico, / ma nazione vivente, ma nazione europea: / e cosa sei? Terra di infanti, affamati, corrotti, governanti / impiegati di agrari, prefetti codini, / avvocatucci unti di brillantina e i piedi sporchi, funzionari / liberali carogne come gli zii bigotti, / una caserma, un seminario, una spiaggia libera, un casino! / Milioni di piccoli borghesi come milioni di porci / pascolano sospingendosi sotto gli illesi palazzotti, / tra case coloniali scrostate ormai come chiese. / Proprio perché tu sei esistita, ora non esisti, / proprio perché fosti cosciente, sei incosciente. / E solo perché sei cattolica, non puoi pensare / che il tuo male è tutto il male: colpa di ogni male. / Sprofonda in questo tuo bel mare, libera il mondo.

Untuk bangsaku

Bukan orang Arab, bukan orang Balkan, bukan orang kuno, / tapi bangsa yang hidup, tapi bangsa Eropa: / dan siapa kamu? Negeri bayi, kelaparan, korup, gubernur/panitera pertanahan, prefek berkuncir,/pengacara cilik berlumuran minyak dan kaki kotor, pejabat/bajingan liberal seperti paman fanatik,/barak, seminari, pantai bebas, kasino! / Jutaan borjuis kecil bagaikan jutaan babi / hewan ternak merumput di bawah bangunan yang tidak rusak, / di antara rumah-rumah kolonial yang kini terkelupas seperti gereja. / Justru karena kamu ada, sekarang kamu tidak ada, / justru karena kamu sadar, kamu tidak sadar. / Dan hanya karena Anda beragama Katolik, Anda tidak dapat berpikir / bahwa kejahatan Anda adalah segala kejahatan: kesalahan dari segala kejahatan. / Tenggelam di lautan indahmu ini, bebaskan dunia.

Sumber Ilustrasi: sueddeutsche

About Hasan Basri

Penulis

View all posts by Hasan Basri →

45 Comments on ““Dunia Ketiga”-nya Paolo Pasolini (1922-1975)”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *