Delusi

Karena hanya ada pada suatu cerita atau dongeng pengantar tidur, sebuah bayang-bayang tentang ketentraman, kenyamanan, kemapanan, maka segala yang terhimpun pada titik imajinatif selalu saja terkesan mengada-ngada dan memaksa kehendak demi sebuah ekspektasi bayang-bayang tolak ukur manusia itu sendiri. Nyatanya, realitas begitu brengsek dan mementahkan semua yang sudah tersusun rapi dalam pikiran.

Selain itu, manusia juga “dipaksa” untuk menikmati realitas hidup yang brengsek ini. Jika begitu, sampai kapan kata “aku” menjadi “aku sendiri” sedangkan dalam prosesnya “aku” selalu dibentuk dan diinstrumentalisasi oleh kuasa yang ada di mana-mana. Sebut saja iklan. Iklan telah menjelma menjadi kuasa yang mampu memanipulasi keinginan manusia. Melalui iklan manusia tidak lagi menginginkan apa yang benar-benar ia inginkan. Ia menginginkan apa yang diinginkan kuasa untuk ia inginkan. Menghadapi situasi seperti ini, maka sangat penting untuk memulai menggunakan nalar alternatif imajinatif sendiri.

What is called thingking?
Kita jadi tahu apa artinya berpikir ketika kita mencoba untuk berfikir. Berpikir disini saya pahami sebagai upaya untuk terus menerus bertahan di tengah struktur yang merenggut sebagian dari diri kita hingga tercipta sudut pandang tentang dunia sekalipun tidak bisa di pungkiri bahwa entitas yang sifatnya primordial, seringkali dianggap sebagai hasil dari wujud rekayasa yang tidak kasat mata.

Manusia dituntut untuk memahami fenomena- fenomena dan menghadapi problem-problem yang di suguhkan oleh kehidupan. Fenomena dan problem-problem itulah yang membangkitkan stimulus atas pergolakan internal yang mungkin begitu memuakkan. Atau sebaliknya; manusia yang pada dasarnya bebas untuk mengkonstruksi keadaan eksternal menurut kacamatanya sendiri, pada kenyataannya tidak mampu hanya untuk mencari sebuah identitas kemerdekaan hak dirinya sendiri.

Saya teringat dengan gagasan Hannah Arendt yang mengatakan bahwa pendidikan adalah titik di mana kita memutuskan apakah kita cukup mencintai dunia untuk memikul tanggung jawab dan dengan cara yang sama menyelamatkannya dari kehancuran yang tidak bisa dihindari. Artinya,
pengetahuanlah yang memiliki peran untuk mempolitisasi utopia politik kehidupan dan merujuk untuk kemurnian mencapai suatu kehidupan yang baru.

Segala dan yang ada dan yang hidup, bukan hanya kehidupan yang vegetatif, ibarat muncul dari sebuah kegelapan dan, betapa pun kuatnya, dengan naluri alamiah kita dituntut untuk mencari adanya sebuah cahaya. Akan tetapi ketenaran terus-menerus menembus dalam dinding-dinding jendela, menyerbu dalam ruang pribadi, membawa ikut serta sorotan pedas tanpa ampun dari publik yang membanjiri kehidupan dari semua hak-hak pribadi sehingga tidak ada lagi memberi celah kapan kita akan tumbuh. Hanya satu solusi dari semua problem itu, yaitu pengetahuan dan pendidikan untuk bertahan dari carut marutnya kehidupan sosial kita. Kehidupan sosial yang memang terasa sangat memuakkan.

Diri (self ) sebagai subjek adalah produk kekuasaan. Kata “aku” dalam “aku adalah… selamanya tidak akan pernah menemukan jawaban melampaui jalur batas atas pernyataan itu sendiri. Pernyataan tersebut tidak mengungkapkan kebenaran keakuan. “Aku” adalah label dalam kategori metafisik atau esensial tertentu dari keberadaan (being). Siapa “aku” dan di mana inti keberadaan “aku” mungkin tidak ditemukan sama sekali di alam kategori keberadaan.

Diri adalah konvergensi kekuasaan dan wacana. Setiap kata yang digunakan untuk mendefinisikan diri sendiri, setiap kategori identitas yang saya temukan di dalamnya, adalah hasil dari perkembangan kekuatan secara historis. Gender, ras, seksualitas, dan setiap kategori normatif lainnya yang tidak bisa merujuk pada kebenaran tentang tubuh subjek atau tentang jiwa subjek. Tidak ada diri yang statis atau pun pasif, tidak ada “aku” yang konsisten. Kita hanya bisa merujuk pada diri sendiri dan dengan alternatif bahasa yang diberikan kepada kita, dan bahasa itu telah berfluktuasi secara radikal dan akan terus menerus mengalami fluktuasi dalam kehidupan sehari-hari.

Perasaan, Pikiran, dan Kesadaran selalu tidak bisa konsisten untuk kondisi tubuh “aku” saat ini. Secara fakta bahwa “aku” memang dibentuk oleh dunia sosial yang tidak pernah dipilih. Bahwa hidup “aku” diisi dan dipenuhi oleh paradoks yang menjadi satu-satunya kondisi kemungkinannya.

Dengan pijakan eksistensial yang mengeksplorasi pertanyaan seperti “Mengapa kita ada di sini?”, “Apa inti dari semua ini?”, “Apakah mungkin dan penting untuk memiliki eksistensi yang berarti?”,  “mengapa kita hidup ketika hidup hanyalah rentetan dari penderitaan?”, “Bagaimana kita bisa tahu benar dan salah di alam semesta yang tampak persetan dan acuh tak acuh terhadap tindakan saya?” dan jika Tuhan mengizinkan kita bertindak, “what is the fucking point?”, “Menapa hukum alam selalu ikut serta dengan tarikan gravitasi kembali ke alam semesta manusia yang menurut saya tidak manusiawi?”

Titik fokus utamanya adalah kebebasan. kita dihadapkan pada situasi antara ketidakmampuan untuk bertindak dan kebutuhan untuk bertindak. Kita tidak bisa, seperti yang dikatakan Kierkegaard , “Memikirkan jalan keluar dari pilihan-pilihan”. Hidup harus menjalani pilihan kita. Perlawanan dan pemberontakan adalah sesuatu yang kita jalani karena kita menjalani kehidupan absurd kita di dunia yang sangat tidak masuk akal.

About Fengki Zaenal Abidin

Pembaca Filsafat

View all posts by Fengki Zaenal Abidin →

21 Comments on “Delusi”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *