BUKAN TOLERANSI, MELAINKAN PENGAKUAN: Filsafat Pengakuan (Anerkennung) Hegel Untuk Indonesia

Saya mempresentasikan paper penelitian mengenai filsafat pengakuan (Anerkennung, recognition) Hegel dalam konferensi nasional dosen-dosen Etika di Universitas Atmajaya, Jakarta, pada Jumat dan Sabtu, 8-9 September lalu. Judul paper itu adalah “„Aku adalah Kita, Kita adalah Aku“. Tentang Filsafat Pengakuan Hegel dan Relevansinya bagi Indonesia”. Catatan ringan di bawah ini adalah gagasan-gagasan yang saya sampaikan dalam konferensi tersebut.

Sesuai dengan judulnya, penelitian ini adalah sebuah usaha untuk memperlihatkan relevansi filsafat pengakuan Hegel untuk Indonesia kontemporer. Ini jelas bukan tugas yang mudah. Filsafat yang umumnya bergerak di level pemikiran rasional sering mengalami kesulitan ketika hendak menjangkau realitas yang jauh lebih kompleks ketimbang pemikiran itu sendiri.

Saya teringat cerita seorang profesor, dalam sebuah seminar di Frankfurt dulu, mengenai tugas filsuf/filsafat. Johann Gottlieb Fichte, seorang filsuf pendahulu Hegel, menulis mengenai Prinsip-Prinsip Hukum Kodrat (Grundlage des Naturrechts).

Dalam buku itu dia berbicara mengenai „filsafat kepolisian“. Agar masyarakat tertata baik, kata Fichte, polisi harus diberi wewenang untuk mengidentifikasi identitas setiap warga. Berdasarkan hal itu, sistem paspor kemudian diperkenalkan. Di dalam paspor itu harus terkandung setiap informasi penting mengenai pemegang paspor. Karena deskripsi verbal sering ambigu maka di paspor itu harus terdapat foto orang yang bersangkutan. Masalah pelik muncul ketika pertanyaan diajukan: apakah paspor itu juga harus berisikan cap jempol atau cukup tanda tangan saja? Dihadapkan pada pertanyaan itu, Hegel menjawab dengan ketus: „itu bukan urusan filsuf.“ Maksudnya filsuf tidak perlu mengurusi hal-hal praktis sampai sejauh itu.

Dalam paper di atas, saya juga mengkritik interpretasi Alexander Kojeve dan Axel Honneth mengenai filsafat pengakuan Hegel. Kojeve dan Honneth adalah filsuf yang namanya paling identik dengan filsafat pengakuan.

Selain itu, melalui dialektika pengakuan tersebut saya juga menjelaskan kontribusi Hegel untuk filsafat sosial dan politik. Kontribusi dimaksud adalah bagaimana Hegel menjelaskan proses evolusioner pembentukan struktur-struktur sosial politik. Hegel mengkritik teori-teori kontrak sosial, sebagaimana dianut oleh Thomas Hobbes, John Locke, J.-J. Rousseau dan I. Kant yang menjelaskan pembentukan lembaga-lembaga politis, terutama negara, sebagai hasil kontrak atau kesepakatan di antara individu-individu. Dalam pandangan Hegel, penjelasan itu tidak meyakinkan.

Pengakuan adalah salah satu konsep penting dalam filsafat sosial dewasa ini. Para filsuf besar kontemporer, seperti Alexander Kojeve, Charles Taylor, Paul Ricouer, Jürgen Habermas, Nancy Fraser, hingga Axel Honneth menerbitkan banyak tulisan yang membahas tema ini. Kalau kita memperhatikan literatur filsafat berbahasa Inggris yang terbit sekitar 20 tahun terakhir ini, kita akan melihat bahwa pengakuan termasuk salah satu tema yang paling banyak dibicarakan.

Konsep pengakuan ini menarik dan penting, baik secara teoretis maupun secara praktis, karena ia dapat digunakan sebagai sebagai instrumen untuk menangani problematika masyarakat modern dewasa ini yang ditandai oleh pluralitas kelompok etnis, agama, orientasi politis, nilai maupun gaya hidup.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa masyarakat multikultural dapat berfungsi dengan baik hanya kalau anggota-anggotanya saling mengakui (mutual recognition) satu sama lain. Toleransi tidak memadai karena sesungguhnya konsep ini mengandung karakter represif. Ini salah satu alasan mengapa konsep ini perlu kita pelajari untuk konteks Indonesia.

Mengapa Pengakuan?
Hegel umumnya diakui sebagai leluhur filsafat pengakuan. Hegel membahas tema ini dalam berbagai karyanya, terutama Tulisan-tulisan Era Jena (Jenaer Schriften), Fenomenologi Roh (FR – Phänomenologie des Geistes), Ensiklopedia Ilmu-Ilmu Pengetahuan Filosofis (Enzyklopädie der philosophischen Wissenschaften), dan Filsafat Hukum (Rechtsphilosophie). Bobot pembahasan tema tersebut dan aksentuasinya dalam masing-masing karya itu tidak selalu sama. Karena itu para komentator juga mendasarkan interpretasi mereka atas tema ini dari buku yang berbeda-beda, sesuai dengan proyek filsafat masing-masing. Kojeve misalnya mendasarkan interpretasinya atas FR, sementara Honneth dan Habermas atas Tulisan-Tulisan Era Jena.

Hegel mengatakan pengakuan adalah tuntutan dan sekaligus ciri masyarakat modern. Pengakuan mengandaikan kesadaran akan subyektivitas. Melalui pengakuan, seseorang ingin agar eksistensinya sebagai individu yang berbeda dari individu lainnya diakui. Orang tidak ingin dianggap sama begitu saja dengan orang-orang lainnya.

Tentu subyek yang menuntut pengakuan ini bisa bermacam-macam, misalnya kelompok agama minoritas, kelompok etnis, kelompok sosial tertentu (misalnya kaum perempuan), kelompok dengan gaya hidup tertentu, misalnya LGBT, atau kelompok dengan sejarah dan orientasi nilai politik yang berbeda dari kelompok mayoritas, misalnya masyarakat adat.

Pada konteks inilah konsep pengakuan mengimplikasikan penolakan atas perlakuan yang sama untuk semua pihak. Orang menuntut untuk diperlakukan berbeda, sesuai dengan kekhasan eksistensinya. Dalam kaca mata politik pengakuan, kebijakan „satu hukum untuk semua“ dianggap tidak adil karena tidak cukup sensitif terhadap perbedaan kelompok-kelompok sosial yang ada. Inilah antara lain pokok perbedaan antara liberalisme dan filsafat politik yang berlandaskan politik pengakuan.

Tema pengakuan menjadi terkenal sekarang karena interpretasi yang dilakukan oleh filsuf Marxis Perancis, Alexandre Kojeve, atas dialektika sebagaimana dipaparkan Hegel dalam FR. Dalam buku ini, Hegel mengilustrasikan pengakuan itu dalam bentuk pertarungan hidup mati antara Tuan dan Budak. Dan dalam proses tersebut, melalui aktivitas kerja yang dengan terpaksa harus dilakoni budak, keduanya akhirnya jatuh ke dalam „dunia yang terbalik“ a la Hegel: Budak menjadi Tuan dari Tuan sementara Tuan menjadi Budak dari Budak.

Sementara dialektika pengakuan dalam Ensiklopedia berakhir dalam sintesa damai. Sekalipun prosesnya tetap dalam rangkaian negasi, pertarungan untuk memperoleh pengakuan itu pada akhirnya mencapai kesadaran-diri universal (allgemeines Selbstbewusstsein). Dalam kesadaran diri universal ini, masing-masing kesadaran diri itu mengakui dan menerima kesadaran diri yang lain sebagai pengandaian bagi dirinya. Masing-masing diri melihat dirinya dalam diri yang lain; mereka saling tergantung dan menyatu (tapi tentu saja sekaligus berbeda) satu sama lain. Akhir dialektika pengakuan dalam FR berbeda dengan dalam Ensiklopedia.

Interpretasi Kojeve dan Honneth bersifat konfliktual. Keduanya memahami perjuangan untuk memperoleh pengakuan itu dalam model konflik. Interpretasi Kojeve khas Marxis. Dalam konflik tersebut, budak akhirnya mencapai kemenangan revolusioner karena melalui kerja dan pendisiplinan diri yang keras ia akhirnya menikmati kebebasan, dan menjadi subyek sejarah. Sebaliknya, tuan menjadi tergantung sepenuhnya kepada budak dan hasil-hasil kerjanya. Proletar menjadi subyek yang memenangkan pertarungan.

Interpretasi Axel Honneth, filsuf dari tradisi Mazhab Frankfurt yang Neo-marxis, juga berdasarkan model konflik. Honneth mengatakan bahwa konflik-konflik sosial yang terjadi dewasa ini sebenarnya dimotivasi oleh perjuangan untuk memperoleh pengakuan. (Lebih jauh mengenai hal ini dapat dibaca dalam tulisan bersambung saya di majalah BASIS: ”Axel Honneth: Filsuf Generasi III Mazhab Frankfurt: Kritik atas Habermas dan para Pendahulunya (Bagian I, edisi 07-08, hal. 22-33), dan Axel Honneth: Filsuf Generasi III Mazhab Frankfurt: Perjuangan untuk Pengakuan (Bagian II, edisi 09-10, hal. 42-54), 2020.)

Kritik atas Kojeve dan Honneth

Kritik saya terhadap kedua interpretasi tersebut: Interpretasi itu telah mereduksi atau bahkan mendistorsi filsafat Hegel mengenai pengakuan. Interpretasi dengan model konflik ini menolak kemungkinan rekonsiliasi atau sintesa dalam dialektika tersebut. Dan ini sebenarnya telah menyangkal pemikiran Hegel, sebab setiap konflik atau negasi dalam skema filsafat Hegel selalu berakhir dalam sintesa. Hegel menggunakan konflik justru sebagai momen dialektis untuk mencapai pengakuan kesadaran diri. Dan tujuan itu hanya bisa dicapai bila kedua kesadaran diri (Tuan dan Budak) itu menyadari bahwa mereka hanya bisa mencapai tujuan masing-masing (pengakuan) kalau mereka saling mengakui satu sama lain.

Pengakuan yang bermutu, demikian Hegel, hanya bisa diperoleh dari orang yang juga diakui. Pengakuan yang diperoleh melalui kekerasan atau penaklukan, sebagaimana dalam konsepsi Kojeve, justru bukan pengakuan yang sesungguhnya. Dengan demikian interpretasi Kojeve justru mendistorsi maksud yang mau disampaikan Hegel dalam filsafatnya.

Dilihat dari perspektif Hegel, memahami dialektika pengakuan melalui model konflik itu tidak tepat. Bukan karena Hegel mengharamkan konflik. Hegel justru menerima konflik dan menganggapnya sebagai bagian dari momen-momen dialektis. Dalam skema dialektika Hegel, konflik itu justru positif karena itulah jalan untuk mencapai kemajuan.

Namun, kita perlu ingat, konflik bukanlah satu-satunya momen dalam proses pencapaian pengakuan. Ada juga beberapa momen lain yang terkandung dalam proses tersebut, antara momen „kehilangan“ diri ke dalam diri yang lain, serta momen „penemuan diri“ dalam diri orang lain. Momen-momen „kehilangan“ dan „penemuan“ diri inilah yang pada akhirnya membawa kesadaran akan diri sendiri dan diri orang lain.

Dengan kata lain, tidak tepat kalau konflik, apalagi dalam bentuk perjuangan hidup dan mati, dilihat sebagai satu-satunya proses untuk mencapai pengakuan. Selain itu, dalam pengalaman sehari-hari kita melihat bahwa perjuangan untuk memperoleh pengakuan juga bisa berlangsung melalui proses lain, misalnya kompetisi, komunikasi, persuasi, negosiasi, dan lain-lain. Tidak harus selalu melalui konflik.

Bahwa Hegel tidak setuju perjuangan untuk memperoleh pengakuan itu direduksi ke model konflik, itu terlihat dari pernyataanya dalam Filsafat Hukum. Dalam buku ini ia mengatakan bahwa konflik antara Tuan Budak itu adalah „penampakan yang tidak benar“ (unwahre Erscheinung) dari Roh. Artinya momen konflik dalam dialektika pengakuan adalah momen yang belum sesuai dengan hakikat Roh. Momen yang sesuai dengan hakikat Roh itu adalah momen sintesa, ketika pihak-pihak yang terlibat menyadari kesaling-tergantungan mereka, melihat dirinya pada diri yang lain, dan kesadaran itu membuat mereka saling mengakui satu sama lain.

Hegel menyebut proses ini dengan „pergerakan pengakuan“ (Bewegung des Anerkennens). Kesatuan dialektis antara diri dan diri yang lain itulah, yakni kesadaran bahwa kedua diri itu adalah dua tapi menyatu dan saling mengandaikan, itulah yang dimaksud Hegel dalam Ensiklopedia dengan „kesadaran diri universal“ (das allgemeine Selbstbewusstsein). Inilah inti terpenting dialektika pengakuan, yang menjadi tujuan akhir perjuangan untuk memperoleh pengakuan.

Pengakuan adalah konsep yang harus dipahami secara politis karena pengakuan telah selalu mengandaikan pihak lain. Jadi, pengakuan adalah konsep yang bersifat intersubjektif. Pengakuan hanya dapat diperoleh dan dipertahankan secara intersubjektif, yang berarti relasi kesalingan, sebuah relasi timbal-balik. Pengakuan yang bermutu adalah pengakuan yang bersifat resiprokal, timbal-balik, yakni pengakuan yang diberikan oleh orang yang juga diakui. Karena itu, dalam konsep pengakuan telah selalu terkandung pengertian saling-mengakui (mutual recognition).

Pengakuan dan politik

Pengakuan tentu tidak hanya sebatas verbal. Hegel mengatakan bahwa pengakuan harus termanifestasi dalam bentuk struktur-struktur sosial politik yang dijamin oleh hukum. Artinya, harus dibentuk struktur ekonomi, politik atau hukum yang menjamin pelaksanaan pengakuan itu.

Untuk menggunakan contoh dari negara kita, ketentuan hukum yang mengatur 30 persen dari calon legislatif dialokasikan kepada perempuan adalah bentuk pengakuan kepada hak-hak politik perempuan. Ketentuan yang memperbolehkan aliran kepercayaan dicantumkan dalam kolom agama di KTP adalah bentuk pengakuan terhadap agama-gama minoritas. Demikian juga pengakuan masyarakat adat sebagai pemilik lahan yang sah adalah bentuk pengakuan terhadap eksistensi masyarakat tradisional. Ini sekaligus contoh untuk memperlihatkan bahwa pengakuan bisa saja dicapai tanpa melalui konflik.

Contoh di atas memperlihatkan relasi antara pengakuan/momen kesadaran diri dan struktur-struktur sosial politik. Hegel mengatakan, pengakuan adalah salah satu momen kesadaran diri (Selbstbewusstsein). Hanya orang yang memiliki kesadaran dirilah yang menuntut pengakuan. Dan pengakuan adalah tujuan tertinggi kesadaran diri. Hegel kemudian memperlihatkan bahwa perkembangan kesadaran diri juga tercermin dalam struktur-struktur ekonomi, sosial dan politik. Kesadaran diri kaum perempuan Indonesia atau penganut kepercayaan, dalam contoh-contoh di atas, juga tercermin dalam struktur sosial politik kita, yakni melalui UU yang diberlakukan untuk menjamin pengakuan tersebut

Demikianlah Hegel menjelaskan struktur-struktur sosial politik berdasarkan perkembangan kesadaran individu. Terdapat paralelisme antara perkembangan kesadaran dan perkembangan struktur atau sistem politik. Sistem politik demokrasi dan lembaga-lembaganya, misalnya, tercipta melalui penggulingan struktur pemerintahan feodal, yakni ketika orang mulai menyadari bahwa mereka sebenarnya setara satu sama lain. Contoh untuk ini adalah Revolusi Perancis.

Struktur sosial yang kita sebut masyarakat sipil (die bürgerliche Gesellschaft) muncul ketika manusia modern menyadari perlunya ruang ketiga di antara keluarga dan negara/kerajaan sebagai wilayah di mana individu-individu menjalankan kebebasan dan mengejar kepentingan individualnya. Hegel mengatakan, masyarakat sipil adalah ruang perbedaan, kerajaan kebebasan. Di sini individu ingin dilihat sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai anggota keluarga dan bukan sebagai warga negara. Dengan kata lain, ruang masyarakat sipil adalah manifestasi dari momen pengakuan akan subyektivitas individu. Dan ini adalah salah satu ciri modernitas.

Pada dasarnya, dari perspektif Hegel, setiap struktur politik dapat dijelaskan secara historis dengan mengacu ke perkembangan kesadaran diri ini. Negara pun demikian. Lembaga politis ini muncul ketika individu-individu menyadari keniscayaan untuk meninggalkan kehidupan pra-politis mereka.

Secara singkat, dalam pandangan Hegel, struktur-struktur sosial politik itu adalah cerminan perkembangan kesadaran diri individu, sebuah prestasi dan konstruksi sosial bersama, sejalan dengan proses perkembangan kesadaran diri individu-individu. Lembaga-lembaga sosial politik dalam masyarakat tradisional masih sederhana karena pemahaman diri masyarakat tersebut juga masih sederhan; belum banyak tuntutan untuk pengakuan, sebagaimana misalnya dalam masyarakat modern.

Berhadapan dengan teori ini, teori kontrak sosial kelihatan kurang meyakinkan. Kalau manusia adalah serigala bagi sesamanya, hidup dalam perang semua melawan semua (bellum omnium contra omnes), seperti dikatakan Hobbes, lalu bagaimana kita menjelaskan terbentuknya negara? Siapa yang lebih dulu meletakkan senjata lalu dengan niat baik mengajak yang lain untuk bikin negara? Apakah yang meletakkan senjata itu satu orang, dua orang atau sekelompok? Tidakkah yang meletakkan senjata itu takut dibunuh oleh sesamanya saat itu juga? Kan semuanya adalah serigala bagi sesamanya.

Memang kontrak yang dimaksud dalam teori kontrak sosial itu hanyalah pengandaian fiktif yang tidak pernah sungguh-sungguh terjadi dalam kenyataan. Para pemikir penggunakan kontrak itu hanya untuk menjelaskan terbentuknya lembaga politis negara. Namun, teori tersebut kurang meyakinkan karena kita tidak melihat alasan dan proses logis yang mendorong terbentuknya negara. Dalam hal ini, teori asal-usul lembaga-lembaga politis versi Hegel lebih meyakinkan.

Bukan toleransi, melainkan pengakuan

Pemikiran Hegel mengenai pengakuan (Anerkennung) cukup tepat untuk konteks Indonesia. Alasannya, masyarakat Indonesia bersifat multikultural. Para filsuf yang disebut di atas juga memikirkan pengakuan dalam konteks masyarakat kultural. Sikap untuk saling mengakui satu sama lain adalah kunci keberhasilan masyarakat multikultural. Indonesia juga sering menghadapi masalah berkaitan dengan fakta multikulturalitas ini.

Dalam sejarah Indonesia kontemporer kita beberapa kali melihat konflik sosial atau politis, baik dalam skala besar maupun dalam skala kecil yang sering luput dari perhatian publik, yang melibatkan faktor-faktor kultural. Misalnya konflik politis yang (dulu) terjadi di Aceh dan kini Papua, konflik yang melibatkan kelompok agama atau aliran kepercayaan minoritas tertentu, juga konflik-konflik horisontal yang melihatkan kelompok-kelompok sosial tertentu di masyarakat.

Pada umumnya konflik-konflik ini dapat dibaca sebagai manifestasi perjuangan untuk memperoleh pengakuan. Setelah melalui konflik yang sulit dan berat, perjuangan saudara kita di Aceh untuk pengakuan ini berhasil dengan hak otonomi yang mereka peroleh. Kini kaum LGBT berjuang untuk memperoleh pengakuan….

Di sisi lain, masyarakat kita dikenal sebagai masyarakat komunal. Dari segi moral, masyarakat kita dapat dikatakan penganut etika komunitarisme, yakni etika yang menjadikan pandangan atau nilai-nilai komunitas sebagai standar moral. Fakta ini tidak selalu menguntungkan. Modernitas telah menumbuhkan individualitas. Globalisasi menggerus nilai-nilai komunal. Tuntutan akan kebebasan semakin deras. Akibatnya tidak sedikit individu yang semakin berani mengambil sikap yang berbeda dengan komunitasnya, misalnya dalam hal agama, pandangan moral, seksualitas, dan lain-lain.

Hal ini akan sangat potensial menjadi sumber konflik sosial. Sekalipun barangkali konflik dengan komunitas itu masih bersifat individual sekarang ini namun kelak sangat dimungkinkan bahwa ia akan bertranformasi menjadi konflik sosial. Penelitian Axel Honneth mengenai perjuangan untuk pengakuan penting dalam hal ini. Ia mengatakan konflik-konflik sosial itu pada awalnya selalu berupa konflik individual.

Namun ketika individu individu yang menuntut pengakuan itu kemudian memobilisasi diri, bergandengan tangan dengan individu-individu yang memiliki pengalaman yang sama, pada saat itulah konflik individual bertransformasi menjadi konflik sosial. Contoh untuk ini adalah perjuangan kaum LGBT untuk menuntut pengakuan. Pada awalnya, individu-individu LGBT yang tidak saling mengenal satu sama lain, merasa mengalami pelecehan sendiri sendiri, lalu berjuang sendiri-sendiri. Tetapi individu-individu ini kemudian memobilisasi diri, menggalang kerja sama, sehingga sekarang perjuangan kalangan LGBT tidak lagi individual tapi sudah sosial dan bahkan politis.

Di hadapan fakta multikulturalitas ini, kita selama ini selalu diajarkan bahwa toleransi adalah modus pemersatu perbedaan-perbedaan tersebut. Kita dapat tetap bersatu karena kita toleran satu sama lain. Toleransi adalah nilai dasar yang selalu dikampanyekan di tengah-tengah Bhinneka Tunggal Ika.

Namun sekarang ini sudah waktunya kita berpikir ulang: apakah toleransi sudah memadai sebagai modus pemersatu kita? Toleransi memang di satu sisi mengandung sikap respek terhadap pihak atau orang yang berbeda satu sama lain. Tapi di sisi lain, tidak jarang toleransi juga menyembunyikan sikap represif terhadap pihak yang lebih lemah. Ini diperlihatkan oleh Reiner Forst (filsuf generasi keempat Mazhab Frankfurt) dalam bukunya Toleranz im Konflikt. Geschichte, Gehalt und Gegenwart eines umstrittenen Begriffs (2003).

Represi dalam toleransi ini sejalan dengan etimologi kata itu sendiri, yakni dari kata Latin: tolerare yang artinya: kemampuan memikul penderitaan dan kesulitan. Dalam bersikap toleran kepada orang lain, kita sering dengan terpaksa memikul penderitaan atau beban. Misalnya ketika tetangga kita hajatan dan memainkan musik sampai jauh malam yang mengganggu tidur kita. Kita membiarkannya karena alasan toleransi. Tapi sebenarnya dalam bersikap toleran itu kita merasa terganggu dan menderita.

Kita dapat juga bersikap toleran kepada pihak lain tanpa diiringi oleh sikap respek. Toleransi juga bisa didasarkan atas sikap apatis. Itu dimungkinkan karena toleransi lebih merupakan sikap pasif dan sepihak dalam berhubungan dengan pihak lain. Selain itu, pihak minoritas dan yang lebih lemahlah yang lebih sering terpaksa bersikap toleran. Pihak mayoritas dan lebih kuat jarang bersikap toleran kepada pihak yang lebih lemah. Itu memperlihatkan adanya represi dan penindasan dalam toleransi.

Berbeda dengan pengakuan. Pengakuan menuntut sikap aktif untuk mengakui dan bersikap respek kepada pihak lain. Seperti sudah diuraikan di atas, pengakuan adalah relasi resiprokal. Saya secara aktif mengakui orang lain karena saya menyadari bahwa orang lain juga merupakan pengandaian bagi keberadaanku. Aku tergantung pada orang lain, itulah nilai yang mendasari pengakuan; jadi berbeda dari toleransi, di mana kita secara pasif membiarkan yang lain menjalankannya kebebasannya sementara saya sendiri menahan diri dan bersabar untuk menderita sebagai konsekuensi pelaksanaan kebebasan tersebut.

Dengan kata lain, dibandingkan dengan toleransi, pengakuan adalah sikap yang lebih aktif dan tepat dikembangkan dalam masyarakat multikultural. Pengakuan mengajarkan kita untuk secara aktif mendukung orang lain mencapai kepenuhan eksistensinya karena dengan demikian dia pun akan dapat memberikan pengakuan serupa yang saya harapkan darinya. Di sinilah perlunya mengajarkan pengakuan (recognition), dan bukan toleransi, dalam lingkungan pendidikan kita. Hegel mengatakan bahwa kemampuan untuk hidup saling mengakui (mutual-recognition) itu harus ditanamkan antara lain melalui aktivitas pendidikan (Bildung).

Ilustrasi: l’expres

About Fitzerald Kennedy Sitorus

Alumni Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta

View all posts by Fitzerald Kennedy Sitorus →

50 Comments on “BUKAN TOLERANSI, MELAINKAN PENGAKUAN: Filsafat Pengakuan (Anerkennung) Hegel Untuk Indonesia”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *