Dugaan bahwa aksi bela tauhid dimotori oleh mereka yang pernah terlibat dalam organisasi terlarang (HTI), tentu bukan tanpa alasan.
Mungkin tidak ada yang menyangka jika pembakaran bendera yang bertuliskan kalimat tauhid oleh Barisan Ansor Serbaguna (BANSER) sekitar tiga tahun yang lalu, tepatnya pada Senin 22 Oktober 2018, ternyata menjadi momentum bagi kelompok tertentu untuk mengambil keuntungan. Bagaimana tidak, pasca pembakaran, bukan hanya satu-dua, melainkan ratusan bendera diarak di berbagai lokasi di tanah air dalam aksi yang bertajuk “bela tauhid” alih-alih “bela bendera”.
Dugaan bahwa aksi bela tauhid dimotori oleh mereka yang pernah terlibat dalam organisasi terlarang (HTI), tentu bukan tanpa alasan. Selain karena bendera yang dibakar BANSER nyatanya memang identik dengan bendera HTI, mantan juru bicara HTI, Ismail Yusanto, juga adalah sosok penting yang terlibat dalam aksi tersebut.
Aksi bela tauhid bukanlah sebuah fenomena tanpa preseden. Ia merupakan perpanjangan dari aksi-aksi sebelumnya. Oleh karena itu, akan sangat problematis menganggapnya sebagai aksi bela tauhid an sich. Shofiyullah, dosen ilmu kalam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam kuliahnya menyampaikan bahwa aksi bela tauhid tidak jauh berbeda dengan peristiwa perang shiffin di masa sahabat. Membandingkan peristiwa yang terjadi hari ini dengan apa yang terjadi di masa lalu tentu bukanlah hal yang berlebihan selama gejala-gejala yang sama dapat diperlihatkan.
Perang Shiffin yang terjadi sekitar pertengahan abad ke-7 M adalah perang sesama muslim yang melibatkan Ali sebagai penguasa di satu pihak dan Muawiyah sebagai pemberontak di pihak lain. Muawiyah yang waktu itu tidak serta merta ikut berbaiat kepada Ali mengancam akan memerangi Ali sampai ia menemukan dalang dibalik terbunuhnya Ustman. Ali merespon ancaman tersebut dan perang pun tidak dapat dihindari.
Pasukan Ali sejatinya nyaris memenangi peperangan jika saja panglima perang Muawiyah, Amr ibn Ash, tidak melancarkan siasat dengan cara memerintahkan pasukannya mengangkat mushaf al-Qur’an. Pasukan Ali yang memaknai siasat tersebut sebagai isyarat perdamaian, seketika itu juga menghentikan serangan. Bukan hanya itu, pasukan Ali mengira jika mereka tetap melanjutkan peperangan, itu akan sama artinya dengan memerangi ayat-ayat Tuhan. Peristiwa ini akhirnya berujung pada arbritase yang merugikan pihak Ali.
Secara tidak langsung, melalui perang shiffin kita diberitahu bahwa ternyata praktek politisasi simbol agama bukanlah ciri khas era kita. Bahkan ia telah ada sejak era sahabat. Tidak sulit membongkar motif politik dari pengangkatan mushaf yang dilakukan pasukan Muawiyah. Aksi tersebut tidak lain adalah upaya defensif, hal yang tidak mungkin mereka lakukan jika berada dalam posisi menguntungkan.
Sebagaimana pengangkatan mushaf oleh pasukan Muawiyah, aksi bela tauhid dengan mengarak bendera juga murni bersifat politis dan bahkan ideologis. Mari terlebih dahulu mengasumsikan bahwa bendera yang bertuliskan kalimat tauhid itulah yang disebut sebagai bendera tauhid. Asumsi seperti ini akan menyeret pikiran kita pada anomali-anomali di mana, bukan hanya bendera, pikiran akan dituntut untuk menerima kenyataan bahwa banyak entitas-entitas lain yang juga berhak menyandang kata “tauhid”.
Baru-baru ini Serikat News memuat tulisan M. Abdullah Badri yang berjudul “Sempak Bendera Saudi, di mana Tauhid HTI?”. Dalam tulisan tersebut, Serikat News menampilkan foto pakaian dalam yang bertuliskan kalimat tauhid. Tentu tidak akan ada yang berani mengklaiam pakaian dalam tersebut sebagai pakaian dalam tauhid. Lagi pula, bendera selalu saja menunjukkan identitas yang dapat berubah. Sementara tauhid adalah ajaran universal yang selalu abadi. Oleh karena itu, apa sesungguhnya yang diperjuangkan HTI dan para simpatisannya bukanlah ajaran yang abadi, melainkan identitas mereka sendiri yang sengaja disembuyikan dibalik keagungan tauhid.
Persoalannya adalah, apakah para penggerak aksi bela tauhid ini tidak mengetahui hal-hal yang sederhana sehingga mereka begitu mudahnya mengidentikkan ajaran tauhid dengan bendera? Tentu mereka sangat mengetahui karena jika tidak, kata “politis” dan “ideologis” yang diatributkan pada aksi tersebut akan menjadi tidak bermakna. Suatu ideologi, meminjam pandangan Zizek, akan bertahan hidup selama penganutnya bertindak seolah-olah tidak mengetahui realitas yang sebenarnya mereka ketahui.
Tujuan apa yang ingin dicapai HTI dalam aksi bela tauhid tidak lain adalah menarik simpati masyarakat. Tujuan tersebut akan sangat mudah mereka capai mengingat masyarakat kita pada umumnya latah dalam beragama. Latah bukan dalam artian mereka tidak mengetahui bahwa tauhid merupakan ajaran pokok agama Islam, melainkan dalam artian bahwa mereka pada umumnya tidak mengetahui mana tauhid dan mana politik ketika keagungan tauhid itu sendiri dipolitisasi.
Semakin HTI mampu mencuri sebanyak mungkin simpati masyarakat, semakin mereka memiliki klaim bahwa kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat, berikut ideologinya, merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dibantah. Kesimpulan seperti ini bukanlah semacam kecurigaan yang tidak berdasar. Okeinfo.net, pada Rabu 31 Oktober 2018, memberitakan bagaimana aktivis Gema Pembebasan, sebuah organisasi gerakan yang berafiliasi dengan HTI, dalam aksi bela tauhid, membuat suatu pernyataan bahwa mereka akan tetap setia dengan janji suci mereka, yaitu mendirikan sistem khilafah di bumi Indonesia.