Bagaimana Potongan Rambut Membentuk Potongan Pemikiran

Menjadi seseorang yang berkepribadian rebel, extra ordinary, atau yang memiiki “sikap pribadi” sejak dalam pemikiran (bukan mental kerumunan) itu, terkadang bisa dimulai dari hal yang sangat sederhana dan sepele sekali. Ya, misalnya yaitu bisa dimulai dari pemilihan gaya potongan rambut.

Ini memang bukan pendapat ilmiah saintifik, tetapi tentu saja bukan klenik, dan juga tidak sepenuhnya apa yang dalam khazanah budaya Jawa dikatakan sebagai ‘gothak-gathuk’ alias ilmu percocok-cocokkan semata. Melainkan ini adalah soal ilmu ‘titen’ (pengamatan), yang tentu saja adalah dari hasil penelitian kecil-kecilan saya pribadi mengenai keterpautan antara “potongan rambut” seseorang dengan “potongan pemikiran” yang dimiliki oleh seseorang.

Dalam pengamatan ilmu titen versi saya itu, saya mendapati fakta bahwa urusan potong memotong rambut dan pilihan gayanya ini meski terkesan hal yang sangat biasa-biasa saja, tetapi sesungguhnya ia menyimpan suatu “wawasan psikologis” yang besar, yang bahkan berkaitan langsung dengan ceruk terdalam penggerak kepribadian seseorang alias mesin mental yang bernama pikiran.

Lalu apa sesungguhnya hubungan gaya rambut seseorang dengan model pemikiran seseorang?

Begini, ketika kita mendatangi tukang potong rambut pastinya akan ditanya mau cukur dengan gaya yang bagaimana, apakah mau cepak, undercut, quiff, atau mohawk dengan berbagai variannya, dll.

Nah tentu saja yang memutuskan kita mau cukur bagaimana itu, pasti yang melatari adalah sebuah free will alias “kehendak bebas” yang melesat dari pikiran individu kita sendiri alias tidak dibawah pemaksaan pihak lain bukan? Tetapi mengenai hal itu, coba sejenak flashback dan merefleksikan jauh ke masa lalu kita, ke episode-episode kehidupan dimana kita masih bocah dan berstatus sebagai siswa sekolah. Bukankah di masa itu secara massif kita “dipaksa” oleh suatu sistem untuk menjadi “seragam” dan “tidak mendapatkan kemerdekaan” di banyak hal, tidak saja urusan baju dan celana tapi juga menyangkut sampai urusan gaya rambut pun kita harus manut diatur sesuai apa kata imperialis.

Berdasarkan pengalaman saya sebagai siswa sekolah di masa itu, kok rasa-rasanya hampir mustahil jika ditemui siswa laki-laki yang tidak pernah setidaknya satu kali atau dua kali dalam hidupnya kena razia oleh guru BK dan cecunguk OSIS mengenai potongan rambutnya yang dinilai berani menantang kedisiplinan struktural.

Sekarang, jika kita sejenak menyibak dan berkaca dari pengalaman masa lalu itu, tentu akan kita sadari dengan jelas bahwa ada “borok” atau sesuatu yang “tidak beres” dari institusi bernama sekolah yang pernah kita enyam bertahun-tahun.

Serta dari massifnya aturan cerewet perkara potongan rambut yang wajib seragam dan tidak boleh merdeka itu, seharusnya kita dengan tajam juga bisa melihat dengan jelas, bahwa dibalik upaya penyeragaman potongan rambut yang sistematis struktural itu juga berdampak jelek kepada para siswa seperti berupa kemandulan kreatifitas, hilangnya kemandirian bersikap, dan tentu saja pembentukan pola berpikir yang dogmatis.

Dengan dampak yang demikian, lihat saja kebanyakan cara berfikir warga NKRI hari ini menjadi seragam dan kaku, sisi kreatifitas kita tidak bisa berkembang dengan bebas, pun daya kritis kita menjadi tumpul setumpul-tumpulnya. Efek terparahnya sampai rela terbodoh-bodohi menjual sawah dan tanah di negeri sendiri demi bisa merasakan wahana bermain lempar-lemparan kerikil yang diadakan di negara lain.

Jika mau dikomparasikan, akan sangat kontras dan berbeda jauh dengan anak-anak yang tumbuh di sebuah negara yang dimana aturan sistem pendidikannya tidak terlalu mengada-mengada seperti di negara kita ini, misalnya di Finlandia. Mereka menjadi bangsa yang maju, cerdas, penuh inovasi, kaya akan kreatifitas, dan tentu tidak mudah percaya dengan dogma-dogma pemikiran idiot produk dari negara lain.
Jadi janganlah heran jika kemudian bangsa kita ini hanya bisa menjadi “bangsa konsumen” dan bukan “bangsa produsen” yang jenius.

Begitupula karena membudayanya daya kritis yang sekarat, janganlah kecewa jika bangsa kita juga sering salah dalam memilih pemimpin yang berintegritas dan bahkan sebegitu terkenal pemaafnya pada gerombolan koruptor yang jelas-jelas keparat.

Jika ditelisik sebenarnya semua ini adalah karena sisa-sisa warisan jelek dari rezim Soeharto yang militeris, dogmatis serta antipati pada barisan oposisi muda yang saat itu umumnya mencirikan diri dengan rambut gondrong.

Pada masa itu, rezim Soeharto benar-benar berhasil menciptakan pseudo stigma jika orang berambut gondrong itu urakan, tidak berpendidikan, dan bahkan kriminal. Tapi anehnya setelah rezim Soeharto itu habis diganyang aktivis 98, kok ya masih sudi-sudinya kita langgengkan stigma palsu itu di era reformasi dan demokrasi saat ini, bahkan terutama di lembaga-lembaga pendidikan.

Apakah kebanyakan para pengampu pendidikan itu tidak melek, bahwa aturan siswa potongan rambut harus pendek dan tidak dengan gaya yang macam-macam itu tidak ada keterkaitannya sama sekali dengan sisi moral dan kecerdasan seorang siswa.

Bahkan pengaruh rezim Soeharto yang diktator itu juga turut mempengaruhi sudut pandang kebanyakan orangtua dari kita secara massif.

Saya masih teringat pengalaman menyebalkan belasan tahun lalu, dulu sekitaran tahun 2009 ketika saya masih bersekolah di MTSN Jogorogo, pernah untuk pertama kalinya coba-coba bercukur mohawk, tetapi jangankan sampai sempat ketahuan guru BK, ketika baru pulang dari tempat cukur dan kembali ke rumah pun sudah dimarahi ibu saya habis-habisan. Katanya cukuran seperti itu adalah cukuran korak (kotoran rakyat), lalu ibu saya mengantarkan saya kembali ke tukang cukurnya untuk dicukur lagi, yakni cukur gundul ala pendekar shaolin. Hadeh, betapa malunya saya saat itu.

Tetapi kemudian saya tidak kapok untuk bercukur mohawk, saya malah berusaha membuktikan pada ibu saya, bahwa pilihan gaya rambut itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan kebodohan dan kenakalan seseorang.

Lalu saya ya tetap bandel suka cukur yang aneh-aneh meski rutin diomeli ibu, tapi di sisi lain semangat dan ketekunan saya untuk belajar juga semakin tinggi. Hingga akhirnya ketika di kelas 9 MTS saya bisa sampai mendapatkan yang namanya ranking satu.

Syukurlah, sejak saat itu saya kira ibu sudah mendapat pencerahan, hingga akhirnya tidak pernah lagi melarang anaknya untuk cukur dengan model yang bagaimanapun.

Sampai sini saya jadi berandai-andai, jika saja sejak dulu lembaga sekolah di negara kita tidak banyak mengekang kreatifitas dan kritisme para peserta didik. Mungkin saja cita-cita negara berdikari dari Bung Karno itu sudah lama terwujud.

Tapi ah, jangankan berkhayal tentang negara dan bangsa yang berdikari, lha wong urusan personal tentang potongan rambut saja kebanyakan dari kita juga sudah dilarang berdikari sejak masa kanak-kanak kok.

Padahal sebuah bangsa yang berdikari itu adalah di mana segenap rakyatnya punya kebijakan yang bebas terhadap dirinya sendiri, termasuk perkara potongan rambut.

Dan juga yang namanya sikap mental berdikari itu akan mustahil terbentuk dan dimiliki oleh seseorang yang tidak pernah punya independensi dan kemandirian bersikap sejak dalam pikirannya, yang apa-apa selalu ikut-ikutan dan tergantung pada pendapat orang lain.

Jadi itulah kenapa menurut saya, kepribadian rebel, extra ordinary, dan punya sikap berdikari sejak dalam pikiran itu bisa dilihat dan dimulai dari kemerdekaan dan kebebasan kita dalam pemilihan gaya rambut.

Sebab dari suatu gaya potongan rambut kita itu kita bisa melacak sebuah sikap mental, power keberanian, serta level kepercayaan diri dari seseorang.

Dan untuk menutup tulisan ini, saya ingin bilang;

“Semua pernah muda, tapi tidak semua pernah berani berpenampilan rebel dan berhasil membuat emaknya tobat dari memarahi model potongan rambutnya”.

Ilustrasi: vecteezy

About Alvian Fachrurrozi

Pemuda Marhaenis

View all posts by Alvian Fachrurrozi →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *