AXEL HONNETH: Filsuf Generasi Ke-III Mazhab Frankfurt

Honneth juga mengajukan kritik mendasar terhadap kapitalisme, sesuatu yang absen misalnya dari Habermas. Dengan teori perjuangan untuk pengakuan, Honneth juga merancang konsepsi baru tentang keadilan sebagai pengakuan.

Dalam majalah BASIS edisi Juli-Agustus 2020, saya menulis tentang pemikiran filsuf Axel Honneth. Tulisan itu dimuat bersambung karena cukup panjang. Honneth adalah filsuf terkemuka di Eropa dan Amerika Serikat dewasa ini. Ia termasuk filsuf generasi ketiga Mazhab Frankfurt. Sejak tahun 2011, Honneth menjabat profesor di Universitas Frankfurt dan di Universitas Columbia, AS.

Honneth merumuskan pemikirannya yang dikenal dengan Perjuangan untuk Pengakuan (Kampf um Anerkennung, Struggle for Recognition) dengan bertolak dari Hegel, dan dengan cukup meyakinkan mengkritik para filsuf pendahulunya: Horkheimer, Adorno (generasi pertama), dan Habermas (generasi kedua). Ia juga mengkritik keabstrakan teori-teori sosial Kantian, seperti John Rawls. Ia berhasil memasukkan elemen Marx(is) ke dalam Teori Kritis yang digagasnya; elemen ini sudah hilang pada Twori Kritis versi Habermas.

Dengan teori perjuangan untuk pengakuan, Honneth berhasil menjelaskan proses perkembangan atau rasionalisasi masyarakat. Masyarakat yang maju atau rasional bukanlah masyarakat yang semakin diatur dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan masyarakat yang memberi ruang dan pengakuan seluas mungkin bagi kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam masyarakat.

Honneth membangun teorinya dengan bertolak dari penderitaan dan pengalaman perjuangan kelompok-kelompok yang termarjinalkan, misalnya kaum LGBT, kelompok agama minoritas, kaum buruh, orang-orang miskin dan tertindas dan lain-lain. Dari pengalaman-pengalaman negatif inilah Honneth merumuskan sebuah kerangka nilai normatif yang kemudian digunakan untuk mengevaluasi, mengkritik dan menata-kembali struktur sosial, ekonomi, politik dan hukum.

Dengan pemikirannya, Honneth berhasil mengorientasikan kembali Teori Kritis sesuai dengan cita-cita awal para perumus teori tersebut (Horkheimer cs). Ia juga berhasil mengatasi kelemahan metodologi para filsuf generasi I dan II dengan metode yang disebutnya ”transendensi dalam imanensi”. Honneth menyebut kelemahan para filsuf pendahulunya ini sebagai ”defisit sosiologis”.

Honneth membawa pembaharuan segar dalam tradisi Teori Kritis. Dalam teori kebebasan sosial (social freedom)-nya, ia mengkritik komunitarisme dan liberalisme. Dalam kritiknya terhadap komunitarisme ia mengatakan bahwa komunitas yang tidak menjamin kebebasan individu bukanlah sebuah komunitas yang baik. Sementara dalam kritiknya terhadap liberalisme ia mengatakan bahwa sekumpulan individu yang diikat oleh hukum, belum merupakan sebuah masyarakat. Honneth kemudian memperlihatkan sintesa yang meyakinkan atas kedua paham yang, dalam teori-teori sosial, dianggap beroposisi itu.

Honneth juga mengajukan kritik mendasar terhadap kapitalisme, sesuatu yang absen misalnya dari Habermas. Dengan teori perjuangan untuk pengakuan, Honneth juga merancang konsepsi baru tentang keadilan sebagai pengakuan. Keadilan bukanlah eliminasi ketidaksamaan.

Honneth juga merancang fondasi normatif yang baru bagi demokrasi. Di sini ia mengkritik demokrasi republikan dan demokrasi proseduralis. Demokrasi bukanlah kondisi di mana setiap orang atau kelompok dapat mengatur dirinya sendiri (sebagaimana dikatakan Charles Taylor), juga bukan partisipasi yang sama dari setiap warga negara dalam sebuah sistem demokrasi deliberatif (Habermas, Nancy Fraser), melainkan ”sebuah kerja sama refleksif” (reflexive co-operation) di mana setiap warga negara dapat bertindak secara bebas untuk berkontribusi bagi kepentingan bersama (common good).

Kerja sama refleksif ini, kata Honneth, tidak dapat dicapai melalui sistem ekonomi politik kapitalis, sebab tidak mungkin kontribusi setiap orang semata-mata dihitung melalui pekerjaan dan upah yang mereka terima. Untuk menciptakan sebuah masyarakat demokratis, maka masyarakat dan ekonomi harus ditata sedemikian rupa sehingga setiap anggota dari masyarakat yang demokratis itu memiliki peluang untuk memberikan kontribusi bagi kepentingan bersama (common good), sesuai dengan potensinya masing-masing. Honneth memperlihatkan struktur masyarakat seperti apa yang dapat menjamin kerja sama refleksif tersebut.

Sewaktu studi di Frankfurt, saya masih sempat mengikuti kuliah dan seminar-seminar Axel Honneth. Ia profesor yang asik. Ia membuatkan sendiri kopi atau teh untuk mahasiswa yang berkunjung ke kantornya. Ia pernah menyelenggarakan konferensi internasional tentang Bob Dylan. Pada semester musim panas, ia suka mengajak para mahasiswa bimbingannya untuk main bola di taman luas di samping kampus. Pemain dibagi ke dalam dua tim yang selalu dinamai tim Kant dan Hegel. Honneth selalu bergabung dengan tim Hegel. Ia sendiri menyebut dirinya filsuf Hegelian Kiri. Saya pernah ikut pertandingan bola yang dilakukan dengan rileks dan kadang sambil menenteng botol bir ke dalam lapangan itu.

Sumber ilustrasi: katrinbinner.de

About Fitzerald Kennedy Sitorus

Alumni Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta

View all posts by Fitzerald Kennedy Sitorus →

2,802 Comments on “AXEL HONNETH: Filsuf Generasi Ke-III Mazhab Frankfurt”

  1. Hello.

    This post was created with XRumer 23 StrongAI.

    Good luck 🙂

  2. Hello!

    This post was created with XRumer 23 StrongAI.

    Good luck 🙂

  3. Guide To Search Engine Optimization Services: The Intermediate Guide Towards
    Search Engine Optimization Services search engine optimization services (Ramiro)