Auguste Comte: Tahap Perkembangan Kesadaran Manusia

Auguste Comte, bapak positivisme, selalu menyuarakan bahwa segala sesuatu yang bersifat metafisik tidak layak dipercaya. Comte lahir pada 19 Januari di Montpellier, bagian selatan Perancis, pada tahun 1798 dan meninggal dunia di kota Paris pada 5 September 1857. Ayah Comte adalah seorang penganut Katolik yang saleh dan termasuk kaum “royalis” yang menentang revolusi. Pada usia empat belas tahun, secara eksplisit Comte menyatakan dirinya berhenti percaya pada Tuhan sekaligus menyatakan dirinya sebagai seorang republikan.

Modal utama Comte untuk sampai pada positivisme adalah telaahnya atas pemikiran para filosof terdahulu seperti Adam Smith, David Hume, Condorcet, Saint Simon, dan John Stuart Mill. Selama beberapa tahun, Comte menjadi sekretaris Saint Simon dan selama berteman dengan J. S Mill, seorang tokoh liberalis Inggris terkemuka di eranya. Selama menjadi sekretaris Simon, Comte sempat menerbitkan buku yang berjudul Plan of The Scientific Work Necessary for the Reorganization of Socity yang memuat ide-ide dasar filsafat positivismenya.

Selain karya di atas, Comte juga menulis karya yang berjudul Systeme de politique Positive di mana karya ini sangat jauh berbeda dengan karyanya yang pertama. Karya ini mengemukakan gagasan tentang “agama humanistik” versi Comte, yaitu agama yang memuja nilai-nilai kemanusiaan. Gagasan “agama humanistik” ini tidak bisa dilepaskan dari pengalaman bersama istrinya, Clotilde de Vaux.

Dalam karya lain, The Fundamental Principles of the Positive Philosophy: Being the First Two Chapters of the “Cours de Philosophie Positive, gagasan postivisme Comte banyak mempengaruhi dunia ilmu pengetahuan. Selain itu, karya tersebut juga menolak unsur-unsur psikologis dan metafisis memasuki wilayah ilmu pengetahuan; Comte membedakan hal yang faktual dari nilai. Ia hanya menerima fakta positif, yaitu fakta yang terlepas dari kesadaran individu.

Selanjutnya, Comte membagi perkembangan kesadaran manusia dalam tiga tahap, yaitu tahap teologis, tahap metafisis, dan tahap ilmiah atau tahap positif yang nanti akan dijelaskan lebih detail. Perkembangan tersebut berlaku baik bagi perkembangan pemikiran perorangan maupun perkembangan pemikiran seluruh masyarakat. Perkembangan ini menjadi ciri khas yang pasti ketika manusia memasuki dunia modern, dunia yang lebih memerhatikan hal-hal yang saintifik alih-alih metafisis.

Tahap teologi menjadi tahap pertama di mana manusia masih bergantung pada hal-hal yang bersifat adikodrati. Tahap ini adalah tahap yang paling awal dari perkembangan kesadaran manusia. Dalam tahap inilah manusia selalu mencari sebab utama dan tujuan akhir dari segala sesuatu. Segala fenomena selalu disangkutpautkan dengan sesuatu yang mutlak. Oleh karena itu, dalam tahap ini manusia selalu mempertanyakan hal-hal yang adikodrati sesuai dengan kesadarannya.

Bagi Comte, tahap teologis ini tidak muncul begitu saja, melainkan didahului pula oleh suatu perkembangan secara bertahap, yaitu dimulai dari fetisisme, politiesme, dan terakhir monoteisme.
Baik fetisisme maupun politeisme akan berkembang dalam masyarakat yang masih terkungkung oleh kepercayaan akan kekuatan-kekuatan gaib yang menguasai kehidupan manusia. Dengan kata lain, fetisisme dan politeisme berkembang dalam masyarakat yang kehidupan dan pola pikirnya masih “terbelakang”.

Dalam bentuk monoteisme, kepercayaan masyarakat menemui bentuknya dalam dogma-dogma agama. Di era monoteisme inilah muncul para raja yang mendaulat dirinya sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Seakan tidak ingin ketinggalan, kaum rohaniawan juga mendaulat diri sebagai perantara hamba dengan Tuhan. Dalam monoteisme ini pula tahap teologi berada di ambang kematiannya (Kunto Wibisono, 1996: 13).

Hal ini tentu tidak lain karena manusia mulai merubah cara berpikirnya dalam menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan fenomena alam. Dogma agama ditinggalkan dan kemampuan akal budi pun dikembangkan. Tahap metafisik, menurut Comte, adalah tahap peralihan yang akan dialami oleh setiap orang.

Sekali pun dalam tahap metafisik manusia masih menunjukkan gejala yang tidak berbeda dengan yang ada dalam tahap teologis, namun di sini manusia sudah mampu melepaskan diri dari kekuatan adikodrati dan beralih pada kekuatan nalar abstraksinya. Pada tahap inilah istilah ontologi mulai digunakan. Namun, dalam tahap metafisik kesadaran manusia sering mengalami konflik; di satu sisi manusia masih dipengaruhi oleh suasana teologi masa lalu. Di sisi lain manusia juga telah mampu menggunakan nalarnya untuk menyingkirkan hal-hal yang bersifat adikodrati.

Ambivalensi ini pada akhirnya dapat diatasi oleh akal budi manusia. Berkat akal budi, manusia pun mampu menjawab persoalan-persoalan seputar fenomena alam. Di sinilah tahap positif bermula. Tahap positif merupakan puncak dari perkembangan kesadaran manusia. Bisa disebut bahwa tahap positif adalah tahap kedewasaan manusia. Dalam tahap positif, manusia tidak lagi mencari sebab-sebab sebuah fenomena di luar dari apa yang diamati. Dengan kata lain, semuanya mengacu pada fakta-fakta. Tahap ini juga ditandai dengan berkembang pesatnya apa yang hari ini kita sebut sebagai “ilmu pengetahuan”.

Sumber ilustrasi: fineartamerica.com

About Raha Bistara

Dosen UIN Raden Mas Said Surakarta

View all posts by Raha Bistara →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *