Antara Iman dan Hasrat: Dilema Muslim Gay Indonesia

Kelompok gay selalu hadir dalam kehidupan masyarakat sebagai fakta sosial. Tidak peduli apakah masyarakat tersebut termasuk dalam masyarakat yang relijius atau tidak. Dengan kata lain, orientasi seks seseorang tidak memiliki hubungan sama sekali dengan agama apa yang ia anut. Boel Stroff, misalnya, menyatakan bahwa kebanyakan gay di Indonesia adalah pemeluk agama Islam (Stroff, 2005: 576).

Oxford Dictionary mengartikan “gay” sebagai orang, khususnya laki-laki, yang secara seksual tertarik kepada sesama jenis. Dijelaskan pula bahwa kata “gay” memiliki makna yang sama dengan kata “homoseksual”. Karena itu, kata “gay” juga diartikan sebagai “orang yang homoseks”. Di Indonesia sendiri istilah “gay” belum cukup populer. Istilah yang lazim dipakai untuk menyebut fenomena yang sama adalah “banci”, “bencong”, dan istilah yang lebih halus “waria”. Dalam kamus besar bahasa Indonesia yang di susun oleh Suharso dan Ana Retnolingsih, waria diartikan sebagai pria yang bersifat dan bertingkah laku seperti wanita, atau pria yang mempunyai perasaan seperti wanita (Suharso, 2009: 636).

Pada dasarnya, secara konseptual, gay dan waria tidaklah sepenuhnya identik; di satu sisi, gay dalam arti laki-laki yang mempunyai ketertarikan seksual terhadap sesama jenis, tidak perlu dan tidak selalu berperilaku serta berperasaan seperti wanita. Sementara di sisi lain, waria sebagai pria yang bersifat, berprilaku, dan berperasaan seperti wanita tidak serta merta atau tidak semuanya memiliki ketertarikan seksual kepada sesama pria (meskipun dalam kebanyakannya memang demikian). Ada banyak kejadian di kalangan waria memiliki pasangan hidup secara heteroseksual.
Sungguh pun secara konseptual istilah gay dan waria tidak sepenuhnya identik, namun dalam tulisan ini kedua istilah itu dipakai dengan makna dan maksud yang secara longgar sama. Ide dasarnya, sebagai kategori sosial, gay atau waria bukanlah laki-laki atau pria dan bukan pula perempuan atau wanita, melainkan sebuah kategori tersendiri.

Sebuah pertanyaan penting yang menarik bila dicermati dalam kaitan ini adalah, apakah gayness atau ke-waria-an itu merupakan karakter bawaan (takdir) atau karakter perolehan (hasil pengaruh lingkungan)? Persoalan ini sampai sekarang masih menjadi lahan perdebatan dan tampak belum ada jawaban yang definitif. Kalangan muslim gay Indonesia sendiri terpecah menjadi dua dalam menanggapi persoalan tersebut. Sebagian muslim menyatakan gayness atau ke-waria-an itu adalah karakter yang dibawa sejak lahir, dan hal itu merupakan kodrat yang tidak bisa diubah atau dilawan. Sedangkan sebagian yang lain berpendapat bahwa gayness atau kewariaan itu terbentuk dalam proses perjalanan hidup seseorang (Boel Storff, 2005: 579-80).

Sebagaimana yang akan penulis uraikan di bawah, perbedaan pandangan tentang faktor terbentuknya gayness atau ke-waria-an ini, pada gilirannya akan memaknai penilaian diri tentang muslim gay dalam hubungan dengan doktrin Islam.

Pandangan Islam Tentang Gay
Pandangan Islam yang penulis maksud di sini bukan hanya ajaran atau doktrin Islam itu sendiri, tetapi juga termasuk ajaran atau doktrin Islam sebagaimana yang dipahami dan disuarakan oleh pemeluknya. Oleh karena itu, pandangan Islam tentang gay sejatinya menyiratkan pandangan Islam ortodoks atau Islam mainstream. Namun, dalam uraian singkat ini penulis berusaha untuk berlaku seimbang dengan menyinggung pula pandangan yang mungkin tidak sejenis dengan padangan Islam mainstream.

Secara umum, ada semacam keseragaman pandangan Islam tentang gay, yaitu gay, dalam maknanya yang identik dengan homoseksual, adalah dilarang dalam Islam. Dalam sebuah tulisan pada harian Republika tahun 2005, seperti dikutip Boellstorff, dinyatakan bahwa homoseksualitas jelas merupakan penyakit sosial sekaligus kebejatan moral yang harus dihapuskan, bukan hak asasi manusia yang perlu dilindungi seperti yang dewasa ini diklaim oleh kaum gay di Barat.
Problem gay dalam Islam juga akan berdampak pada upaya mencari garis batas apa yang memisahkan konsep perilaku gay di satu sisi dan zina di sisi lain.

Dalam karyanya Seksuality In Islam, Abdelwahab Bouhdiba menyoroti perbedaan zina dan homoseksual bukan dari bentuk perbuatannya, melainkan dari sudut etos dasarnya. Menurut sarjana terkemuka dari Tunisia ini, seperti dikutip Boellstorff, meskipun zina dan perzinahan dikutuk keras namun dalam arti tertentu ia tetap berada dalam kerangka tatanan dunia yang absah dan tetap bisa dipahami dalam kerangka Islam. Zina itu semacam gangguan dalam tatanan, ia sesungguhnya tidak melanggar tatanan dunia yang fundamental, melainkan hanya melanggar bagian-bagian kelengkapannya. Dengan caranya sendiri, zina adalah suatu bentuk harmoni diantara jenis kelamin. Zina adalah semacam pernikahan palsu, tetapi iya tidak anti nikah.

Dalam zina, pada dasarnya ada pengakuan tentang saling melengkapi yang harmonis antara jenis kelamin. Kesalahan zina terletak pada keinginan merealisasikan rasa saling melengkapi yang harmonis tersebut diluar batas yang ditentukan oleh Tuhan. Di pihak lain, kata Bouhdiba lebih lanjut, Islam tetap menentang keras semua penyaluran nafsu seksual yang dipandang sama sekali tidak wajar. Sebab cara-cara penyaluran nafsu seksual yang tidak wajar (alamiah) itu berlawanan dengan prinsip harmoni antara jenis kelamin yang berlainan. Homoseksual adalah salah satu wujud penyaluran nafsu seksual yang tidak wajar. Olek karena ketidakwajarannya, maka dalam pandangan Islam, homoseksualitas akan membuka jalan bagi semua perilaku tidak wajar yang menjadi sumber segala kebejatan moral.

Singkatnya, perbedaan antara zina dan homoseksual jika dilihat dari etos dasarnya adalah bahwa zina merupakan penyaluran nafsu seksual dengan cara yang wajar, namun salah secara prosedural. Sebaliknya, homoseksual adalah penyaluran nafsu seksual dengan cara yang tidak wajar karena bertentangan dengan kodrat.
Jika dicermati dengan seksama ulasan Bouhdiba di atas, di dalamnya tersirat pandangan bahwa secara moral kejahatan homoseksual adalah lebih berat dari kejahatan zina. Tetapi dari sudut pandang hukum pidana Islam, menurut Diebulbigha, hukum yang dikenakan kepada pelaku homoseksual sama dengan hukuman pelaku zina, baik yang muhson atau bukan muhson. Khusus untuk orang yang menjadi objek homoseksual (yang disetubuhi), hukumannya sama dengan pezina yang bukan muhson, sekalipun dia pernah menikah (Diebulbigha, 1984: 325).

Dari uraian di atas, sekiranya cukup jelas bahwa dalam pandangan Islam menjadi muslim dan menjadi gay (yang identik dengan menjadi homoseksual) merupakan dua hal yang tidak bisa dijembatani atau dipersandingkan. Inilah pandangan umum yang dianggap final dalam kalangan muslim mainstream di Indonsia. Bahkan penulis-penulis liberal seperti Imam Fadhillah dalam karyanya Potret Homo Seksual dalam Wacana Fikih Klasik menyimpulkan bahwa homoseksual dilarang keras dalam Islam (Storff, 2005:578).

Sekalipun demikian, penting dicatat bahwa sejak awal 200-an mulai muncul pandangan-pandangan yang berbeda. Beberapa intelektual muslim Indonesia telah mengambil sikap yang toleran berkaitan dengan muslim gay. Mereka meminta umat Islam mengakui secara terbuka homoseksualitas dan bahkan mengakui perkawinan sesama jenis (Storff, 2005: 582). Selanjutnya, apakah hal ini berarti kalangan intelektual muslim tersebut menyimpulkan bahwa homoseksualitas dan perkawinan sesama jenis dibenarkan dalam hukum islam? Jawaban atas pertanyaan tersebut, walaupun menarik dan penting adalah di luar lingkup makalah ini.

Penilaian Diri Muslim Gay dalam Hubungan Dengan Doktrin Islam
Pertama, penting untuk digarisbawahi bahwa wacana tentang gay atau homoseksualitas dalam pemikiran Islam Indonesia masih sangat minim. Oleh karena itu, dengan literatur yang sangat miskin, apa yang dikemukakan muslim gay tentang diri mereka dalam hubungan dengan doktrin Islam pada dasarnya lebih merupakan pandangan-pandangan spekulatif. Akan tetapi, betapa pun spekulatifnya pandangan mereka, namun suara mereka layak didengar.

Ada dua hal yang menjadi pokok perhatian muslim gay di Indonesia dalam penilaian diri mereka sehubungan dengan doktrin Islam. Pertama adalah persoalan apakah gayness atau ke-waria-an itu suatu dosa atau tidak? Kedua adalah persoalan perkawinan atau pernikahan. Uraian berikut ini sepenuhnya berdasarkan hasil penelitian Boell Stoc.

Mengenai persoalan pertama, muslim gay Indonesia terpecah dalam dua golongan. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa menjadi gay itu adalah dosa. Sementara sebagian yang lain menganggapnya buka suatu dosa. Kelompok pertama umumnya adalah mereka yang memegang pendirian gayness atau ke-waria-an bukanlah watak yang dibawa sejak lahir, melainkan terbentuk sebagai hasil hubungan sosial. Kita akan coba rekam sebagian dari pandangan-pandangan mereka.

Seorang muslim gay di Bali, dengan menyebut kisah Luth, merasa bahwa menjadi gay adalah dosa besar dalam Islam, salah satu dosa yang tidak bisa diampuni. Begitu pula dengan pendapat seorang muslim gay di Surabaya. Argumen yang mendasari bahwa menjadi gay merupakan suatu dosa tidak lain karena perilaku homoseksual yang melekat pada gayness atau ke-waria-an sesungguhnya bertentangan dengan kodrat.

Penting pula ditegaskan bahwa di kalangan muslim gay yang percaya bahwa gay itu dosa, menempatkan dosanya itu pada perbuatan dan bukannya pada status gay itu sendiri. Seorang muslim gay yang menjadi narasumber Boellstorff menuturkan pandangannya sebagai berikut, “Dosa itu adalah dari aktivitas-aktivitas gay. Menurut pendapat gay semua agama menentang gay. Tetapi apakah hal itu dosa atau tidak, tergantung pada apa yang anda lakukan. Sebagai contoh jika anda mempunyai banyak pasangan seks, maka hal itu berdosa. Katakanlah anda menjadi gay. Ada orang-orang yang menjadi gay hanya disini (menunjuk ke hatinya). Mereka tidak benar-benar melakukan hubungan seks. Mereka sekedar senang ketika melihat orang-orang sesama jenis. Dan saya pikir hal itu bukan dosa.

Di pihak lain kalangan muslim gay yang berpendapat bahwa gay itu bukan dosa, umumnya menganut pendirian bahwa gayness atau ke-waria-an adalah watak yang dibawa sejak lahir, sebagai nasib yang mesti diterima dan tidak bisa ditolak. Titik tolak pandangan mereka adalah keyakinan pada ke-Mahakuasa-an dan ke-Mahatahu-an Tuhan. Dengan keyakinan bahwa Tuhan Maha mengetahui, Maha bijaksan, dan Maha pengasih, maka mereka menyimpulkan bahwa mereka diciptakan sebagai gay oleh Tuhan dan, dengan demikian, mereka tidak berdosa.

Seorang muslim gay Makasssar mengungkapkan argumennya, “mengapa saya menganggap gay bukanlah suatu dosa? Karena Tuhanlah yang menciptakan kita sebagai gay. Jika misalnya kita memiliki jiwa gay dan berusaha menjadi laki-laki hetero, hal itu justru keluar dari kodrat kita yang sesungguhnya”. Argument senada juga dikemukakan oleh seorang muslim gay Jawa, “Saya tahu bahwa saya diciptkan seperti hetero, hanya bedanya saya menyenangi laki-laki. Saya tahu Tuhan mengetahui perasaan saya yang menyukai laki-laki. Jadi, saya pikir hal itu sesuatu yang lumrah dan wajar. Sekarang saya sadar bahwa Tuhan telah menciptakan segala sesuatu, termasuk manusia gay. Jadi sebenarnya menjadi gay itu bukanlah dosa. Saya tidak memilih menjadi gay. Apakah anda memilih menjadi gay? Tentu tidak.”

Selanjutnya, tentang pernikahan. Richard Hoard, yang meneliti kalangan muslim gay Jakarta, menyimpulkan, “Mereka mengakui bahwa mereka membawa di dalam diri mereka kodrat sebagai laki-laki yang hanya dipenuhi melalui pernikahan dan kesinambungan siklus kehidupan”. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila banyak muslim gay di Indonesia menikah dnegan wanita. Tetapi karena dilema tertentu; bahwa menikah sesama jenis tidak dimungkinkan sementara di pihak lain mereka tidak memiliki ketertarikan seksual dengan wanita, maka ada banyak pula muslim gay yang memilih untuk tidak menikah.

Lantas, bagaimana muslim gay menjelaskan posisi ini dala kaitannya dengan doktrin Islam yang menetapkan menikah itu wajib hukumnya bagi mereka yang mampu? Salah seorag muslim gay telah berusaha memaparkan pandangannya mengenai persoalan tersebut, yang agaknya dapat diterima sebagai jawaban yang representatif. Menurutnya, dirinya sejak semula terlahir dan tercipta sebagai gay, dan dia mesti menjalani garis suratan takdir itu. Dalam konteks ini dia menegaskan, “Menurut pandangan saya, menikah adalah kewajiban bagi kaum muslim hanya jika mereka mampu. Apa yang saya maksud dengan mampu tidak sekedar secara finansial tetapi juga secara spiritual, mental dan fisik. Jadi, dengan kriteria tersebut saya sesungguhnya tidak ditakdirkan untuk menikah dan oleh karena itu tidaklah berdosa kalau saya tidak menikah.

Perspektif Multikulturalisme dalam Konteks Minoritas Muslim Gay
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, menjadi muslim sekaligus menjadi gay, menurut Islam mainstream, merupakan dua hal yang tidak bisa dijembatani atau dipersandingkan. Itulah sebabnya timbul desakan agar gay itu dihapuskan. Tetapi di pihak lain, seperti yang telah ditegaskan, gay adalah fakta sosial dalam masyarakat muslim yang sudah ada sejak masa lalu dan juga mungkin akan tetap ada di masa depan.

Apa yang ingin digarisbawahi dari pertanyaan di atas adalah, bahwa persoalan minoritas muslim gay dalam hubungan internal masyarakat Islam Indonesia maupun masyarkat Indonesia secara keseluruhan tidak bisa ditangani dan dipecahkan melalui perspektif dan pendekatan teologis-normatif, suatu pendekatan yang oleh Abdullah (1996: 13-14) disebut sebagai pendekatan yang lebih mengutamakan klaim kebenaran (truth claim) dari pada dialog yang jujur dan argumentatif (Abdullah, 1996: 13-14). Oleh karena itu, perspektif multikulturalisme bukan saja relevan tetapi juga suatu keniscayaan dalam upaya menemukan solusi atas persoalan minoritas muslim gay, tentu tanpa menegasikan pendekatan teologis-normatif.

Secara terminologis, multikulturalisme diartikan sebagai pandangan dunia yang menekankan penerimaan atas pluralitas dan multikulturalitas yang ada dalam kehidupan masyarakat. Farikh (2008: 19-20) membedakan antara “multikultural” dengan “multikulturalisme”. Istilah “multikultural” mengacu pada kenyataan tentang keanekaragamaan kultural. Sedangkan istilah “multikulturalisme” mengacu pada sebuah tanggapan normatif atas kenyataan tersebut.

Selain itu Farikh juga membedakan antara masyarakat multikultuaral dengan masyarakat multikuturalis. Masyarakat multikultural adalah masyarakat yang memiliki keanekaragaman budaya, meskipun masyarakat itu (terutama kelompok budaya dominan) memperlakukan secara tidak setara atau bahkan diskriminatif kepada elemen-elemen kelompok budaya yang berbeda. Sementara masyarakat multikulturalis, di pihak lain, adalah masyarakat dengan elemen-elemen kelompok budaya yang majemuk di mana semuanya diperlakukan secara setara dalam suasana saling menghargai dan saling menerima (Farikh, 2008: 19-20).

Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa titik tolak multikulturalisme adalah realitas keanekaragaman kultural dan keharusan untuk menanggapi dan menyikapi keanekaragaman kultur tersebut secara bijak dan benar. Dalam hal ini, tanggapan serta sikap yang bijak dan benar adalah tanggapan dan sikap yang menekankan pada rasa keingintahuan, pemahaman, penghormatan, apresiasi, dan penerimaan realitas keanekaragaman budaya dalam masyarakat.

Kemudian, Farikh melanjutkan, multikulturalisme paling baik dilihat bukan sebagai doktrin politik dengan sebuah isi pragmatik serta bukan pula sebagai teori filosofis tentan manusia dan dunia, melainkan sebagai perspektif tentang kehidupan manusia (Farikh, 2008: 40-43). Wawasan sentralnya meliputi tiga hal, yaitu keterlekatan kultur manusia, keharusan dan keinginan akan keanekaragaman budaya, serta dialog antar kebudayaan dan kemajemukan.

Berdasarkan tiga konsep sentral tersebut, multikulturalisme sejatinya menganggap tidak ada doktrin, ideologi, atau pandangan hidup (politik, ekonomi, dan sebagainya) yang mampu mencerminkan kebenaran utuh hidup manusia. Kebenaran utuh itu, jika memeng mungkin dan hendak diwujudkan, hanya dapat diraih dengan cara membuka diri dan membuka ruang dialog yang saling memperkaya doktrin, ideologi, dan pandangan hidup yang lain.

Selain itu, sebagai konsekuensi dari premis pertama, bagi multikulturalisme masyarakat yang baik tidak cukup mengikatkan dirinya hanya kepada sebuah doktrin atau visi hidup yang diterima sebagai baik di lingkungan internalnya sendiri, serta menetapkan berapa besar keanekaragaman yang dapat ditoleransi oleh doktrin atau visi hidupnya itu. Walau bagaimana pun, doktrin atau visi hidup yang baik di lingkungan internal boleh jadi dipermasalahkan bahkan ditolak oleh kelompok kultural yang lain. Premis ini sekali lagi menekankan keniscayaan pentingnya dialog (Parikh, 2008: 443-45). Oleh karena itu, cara yang paling simpatik dan terhormat dalam mencari solusi, setidak-tidaknya titik temu, dalam persoalan minoritas muslim gay di Indonesia adalah melalui dialog.

Berada dalam dialog berarti melampaui diri sendiri dan komunitas budaya sendiri (Parikh, 2008: 441). Hanya dialog, kata Freire, yang memungkinkan komunikasi sejati. Dialog adalah satu-satunya cara, tidak hanya dalam masalah politik, tetapi dalam seluruh ungkapan eksistensi manusia (Freire, 1984: 45).

Dari uraian sebelumnya sebenarnya ada cukup optimisme untuk membuka dialog yang konstruktif, mencerahkan, dan sekaligus harmonis antara Islam mainstream dan minoritas muslim gay, yakni dialog yang di satu sisi tidak mereduksi atau merelatifisir doktrin agama dan dipihak lain tanpa mendiskreditkan apalagi menindas minoritas muslim gay. Optimisme itu berdasarkan gambaran bahwa dari pihak Islam mainstream, meskipun ada semacam keragaman pandangan terhadap gay, tetapi bukannya sama sekali tanpa nuansa (sedikit banyak tetap ada keanekaragaman internal).

Di pihak muslim gay, keanekaragaman internal dan penilaian diri mereka berhadapan dengan doktrin Islam juga sangat nyata. Dan hal yang paling penting adalah fakta bahwa mayoritas muslim gay menyadari dan mengakui bahwa diri mereka sejatinya memiliki kodrat sebagai laki-laki, yang hanya bisa dipenuhi melalui pernikahan heteroseksual dan mempunyai anak.

Tema dialog bisa apa saja sejauh tema itu bisa disepakati oleh pihak-pihak yang berpartisipasi serta mencerahkan. Tema “Islam dan Gay”, misalnya, dapat menyangkut persoalan apakah gayness merupakan karakter bawaan sejak lahir atau karakter perolehan, persoalan apakah pernikahan sesama jenis dapat memenuhi kodrat kemanusiaan yang hakiki, atau relasi yang harmonis antara masyarakat Islam dan minoritas muslim gay. Tema-tema lainnya bisa menyangkut persoalan gay dan kebijakan-kebijakan politik, sosial, dan ekonomi, atau gay dan pendidikan.

Pentingnya syarat-syarat “mencerahkan” dalam penetapan tema dialog tidak lain karena dialog idealnya harus menjadi media proses penyadaran, bukan saja bagi partisipan tetapi juga bagi seluruh warga dalam masyarakat dan negara yang multikultural.

Tentu saja suatu dialog yang otentik, yakni yang konstruktif, mencerahkan dan harmonis, mungkin terwujud hanya jika masing-masing komunitas budaya menerima budaya lain sebagai mitra percakapan yang sederajat, yang dianggap serius sebagai sumber gagasan baru dan yang kepadanya diberi kewajiban untuk menjelaskan dirinya. Dengan kata lain, dari persepektif multikulturalisme, suatu dialog yang otentik mengharuskan adanya prasyarat-prasyarat tertentu, yang meliputi kebebasan berekspresi, ruang publik yang partisipatoris, hak-hak yang setara, saling menghormati dan memperhatikan, toleransi, pengendalian diri, kerelaan untuk memasuki alam pikiran yang belum dikenal, cinta akan keanekaragaman, pikiran terbuka terhadap gagasan-gagasan baru, hati yang terbuka terhadap kebutuhan-kebutuhan pihak lain, dan kemampuan untuk meyakinkan serta hidup dengan perbedaan-perbedaan yang tidak mungkin diatasi (Parekh, 2008: 445-46). Syarat-syarat dialog yang otentik ini sekaligus merupakan prinsip-prinsip multikulturalisme.

Pertanyaannya adalah, apakah kita sudah siap memasuki dan terlibat dalam ruang dialog yang otentik? Jawaban atas pertanyaan ini akan memberikan “kartu identitas” yang menekankan status kita menyangkut dua hal. Pertama, apakah kita sudah mencapai tahap masyarakat multikulturalis atau sekedar menjadi masyarakat multikultural? Kedua, apakah kita sudah siap menjadi warga yang memiliki spirit dan kesadaran multikulturalisme atau masih terbenam di kawasan spirit dan kesadaran monokulturalisme?

Sumber Ilustrasi: reddit.com

About Haidir Ali Lubis

Anggota di Lembaga Filsafat dan Teori Sosial Kritis (LEFTIST)

View all posts by Haidir Ali Lubis →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *