Antara Hukum dan Moral

Diego: Izinkan aku tinggal, kumohon. Jika kamu mengusirku, mereka akan menangkapku, dan aku akan dimasukkan bersama orang-orang malang lainnya ke dalam rumah kematian.

Hakim Casado: Aku tidak dapat mengizinkanmu tinggal di sini. Sebagai hakim, aku adalah pelayan hukum dan harus mematuhinya.

Diego: Hukum yang dulu, ya. Namun hukum yang baru ini tidak ada urusannya denganmu.

Hakim Casado: Aku tidak melayani hukum karena apa yang dikandungnya, melainkan karena ia adalah hukum.

Diego: Bagaimana jika hukum itu identik dengan kejahatan?

Hakim Casado: Jika kejahatan menjadi hukum, ia bukan lagi kejahatan.

Diego: Bukankah itu artinya kau akan menghukum kebajikan?

Hakim Casado: Kebajikan harus dihukum jika ia melanggar hukum.

Lakon tiga babak karya Albert Camus yang berjudul State of Siege untuk pertama kalinya dipentaskan pada 1948 di kota Paris. Dalam pengantarnya atas teks lakon tersebut, yang baru ditulis sembilan tahun kemudian, Albert Camus tidak sungkan mengakui bahwa State of Siege adalah salah satu lakonnya yang disambut baik para kritikus.

Di babak kedua, lakon ini bercerita tentang si pemberontak yang meminta perlindungan pada hakim dari kejaran penguasa. Inilah yang melatarbelakangi munculnya dialog di atas.

Dialog antara Diego dan hakim Casado secara eksplisit menunjukkan bahwa “hukum” dan “moral” bukanlah dua istilah yang mengacu pada satu hal. Hukum dan moral seakan memiliki wilayahnya sendiri. Diego yang berangkat dari wilayah moral, percaya bahwa hukum pun tidak jarang mengandung kejahatan dalam dirinya sendiri. Sebaliknya, atas nama hukum, hakim Casado tidak berpikir dua kali untuk mengorbankan moral.

Sekarang, bandingkan dengan kasus Adolf Eichmann, si algojo Holocaust. Eichmann, yang sempat lolos dari pengadilan Nurenberg 1945, akhirnya ditangkap oleh agen mata-mata Israel pada 1961 untuk kemudian diadili di Yerusalem. Sebagaimana dalih rekan-rekannya di Nurenberg, Eichmann pun mengatakan bahwa keterlibatannya dalam pembantaian orang-orang Yahudi tidak lebih dari sekadar menjalankan perintah.

Dalih seperti itu tentu adalah hal yang biasa bagi para hakim. Namun, apa yang membuat para hakim terdiam adalah pernyataan pembela Eichmann yang mengatakan bahwa sekalipun Eichmann bersalah, ia bersalah hanya di hadapan Tuhan, bukan di hadapan hukum. Dengan kata lain, Eichmann hanya melakukan sesuatu yang immoral, bukan sesuatu yang illegal.

Tidak jauh berbeda dengan cerita Diego, kasus Eichmann lagi-lagi menunjukkan bahwa hukum dan moral tidaklah identik. Lebih dari itu, keduanya tidak jarang berada dalam situasi yang saling menegasi. Diego, yang percaya bahwa tindakannya sejalan dengan moral, menginginkan agar hakim berada di pihaknya. Sementara Eichmann, yang merasa hanya melakukan sesuatu yang immoral, menginginkan agar hakim tidak mencampuri urusannya.

Upaya mengidentifikasi apa yang menjadi wilayah hukum dan moral bukanlah perkara yang mudah. Upaya inilah yang coba dilakukan oleh filsuf hukum Inggris, Herbert Lionel Adolphus Hart (1907-1992). Bagi Hart, menganggap hukum dan moral sebagai sesuatu yang identik akan mengaburkan makna keduanya; hukum akan selalu dianggap baik, padahal tidak selamanya demikian.

Bicara tentang hukum, Hart melanjutkan, berarti bicara tentang “apa yang senyatanya (what is) berlaku. Sementara bicara tentang moral, kita bicara tentang “apa yang seharusnya” (what ought to be) berlaku. Oleh karena itu, hukum yang dipatuhi Eichmann tetaplah hukum yang berlaku, sekalipun hukum itu jahat.

Hart tentu berbeda dengan hakim Casado yang telah mengorbankan moral atas nama hukum. Dengan membedakan wilayah hukum dan moral, Hart bermaksud membuka pintu seluas-luasnya bagi kritik moral atas hukum. Namun, Hart keliru ketika ia berpendapat bahwa hukum adalah semata-mata wilayah dari “apa yang senyatanya”.

Hukum bukanlah sesuatu yang begitu saja “ada di sana” seperti fakta-fakta fisika. Baik hukum maupun moral adalah produk nalar manusia yang sarat dengan berbagai macam kepentingan praktis. Artinya, hukum juga harus dipandang sebagai “apa yang seharusnya”.

Hanya saja, jika hukum adalah “apa yang seharusnya” berlaku bagi warga negara, maka moral adalah “apa yang seharusnya” berlaku bagi individu yang merdeka. Ketika keduanya berada dalam situasi yang saling menegasi, mana yang harus diutamakan?

Jika orang ingin menjadi individu yang baik, maka ia akan memilih yang kedua dengan keberanian menanggung segala konsekuensinya. Inilah yang diajarkan Diego dalam State of Siege. Ini pula yang diajarkan para martir pada kita, di mana sejarah telah mencatat nama mereka sebagai orang-orang yang bijaksana, tetapi tidak di hadapan hukum.

Sumber ilustrasi: eclecticlightcompany

About Minrahadi Lubis

Pelajar Filsafat

View all posts by Minrahadi Lubis →

352 Comments on “Antara Hukum dan Moral”

  1. Hello!

    This post was created with XRumer 23 StrongAI.

    Good luck 🙂

  2. Hello.

    This post was created with XRumer 23 StrongAI.

    Good luck 🙂

  3. I don’t think the title of your article matches the content lol. Just kidding, mainly because I had some doubts after reading the article.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *