Agama Masa Depan, Masa Depan Agama

Agama apakah yang akan tetap eksis di masa depan? Agama yang bagaimana yang selaras dengan ilmu pengetahuan, sains, teknologi, dan kemajuan umat manusia di masa depan? Dan umat beragama yang bagaimana yang bisa selaras dengan agama masa depan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, sains, teknologi, dan etika publik demi kemajuan dan kebahagiaan umat manusia secara universal? Melalui buku ini, Ibnu Rusyd mengajukan sebuah jawaban singkat yang tegas: Agama yang rasional dengan pengikut yang juga rasional.

Tentu saja, agama, sebagaimana manusia sebagai pemeluknya, memiliki dimensi spiritual-transendental yang tidak sepenuhnya bisa didekati secara rasional. Ada berbagai dimensi yang melampaui aspek rasional. Meskipun demikian, ketika berhubungan dengan kehidupan duniawi, agama perlu didekati secara rasional oleh pengikutnya yang juga rasional. Sebab kehidupan dunia banyak berhubungan dengan data-data yang bersifat objektif-rasional sehingga harus dibaca, dipahami, dan dikelola secara rasional sehingga menghasilkan manfaat bagi kemanusiaan secara universal, bukan hanya untuk golongan tertentu atau penganut agama tertentu saja.

Buku Agama Masa Depan, Masa Depan Agama ini, berisi gugatan dan protes sang penulis terhadap keberagamaan sebagian besar kaum muslim yang masih jumud, dogmatis, apologetik dan nostalgik. Suara protes dan nada kegelisahan akademik bertaburan di sekujur buku ini, dari awal hingga akhir. Tapi tidak berhenti di situ. Sang penulis juga menyuguhkan solusi-solusi argumentatif yang dipungutnya dari sejumlah ilmuwan tersohor yang relevan. Jadi posisi sang penulis jelas: critical thinking yang konstruktif, bukan destruktif.

Mengenai visi sosial Islam misalnya, Ibnu Rusyd menyuarakan gugatan kritisnya: “Visi sosial Islam memang patut dipuji, tapi, cara-cara muslim modern, yaitu kita, dalam mewujudkannya, tak selamanya bisa dibilang hebat. Visi sosial Islam terlalu dangkal untuk ditindaklanjuti lewat sumbangan-sumbangan, pembangunan masjid, dan santunan anak yatim. Jelas sekali bahwa Islam di dunia modern, relatif gagal dalam menyalurkan dan menginvestasikan kekayaan materilnya secara efektif dan efisien. Negara-negara Islam di dunia modern masih didominasi oleh kemiskinan, otoritarianisme, kekerasan, dan ketertinggalan ekonomi.

Kita mengira bahwa kita sudah berkontribusi tatkala kita menyumbang untuk masjid, pesantren, atau anak yatim. Di luar sana, orang lain sudah berbicara soal pendidikan wirausaha, pendidikan bisnis, pembuatan perusahaan dan industri, kerja sama antar-sektor industri, digitalisasi dunia usaha, investasi modern, dan inovasi-inovasi ekonomi lainnya yang bisa memberikan pekerjaan bagi jutaan orang, dan akhirnya mewujudkan kesejahteraan materi bagi mereka, dan negara mereka.”

Mari kita lihat beberapa contoh konkretnya. Secara global, saya ingin menayangkan kritik konstruktif penulis kepada dua aspek yaitu Islamisasi pengetahuan dan gerakan Islamisme atau politik Islam. Saya akan menurunkan pandangan-pandangan Ibnu Rusyd secara langsung apa adanya. Saya akan membiarkan sang penulis berbicara langsung kepada pembacanya.

Islamisasi Pengetahuan

Sebagaimana kita ketahui bersama, wacana Islamisasi pengetahuan disuarakan oleh Islami al-Faruqi dan Naquib al-Attas. Al-Attas misalnya, dalam karya-karya polemiknya, mengatakan bahwa umat Islam harus punya versi Islami dari filosofi, pandangan dunia dan pengetahuan, untuk menghentikan laju westernisasi. Al-Attas begitu yakin modernisasi adalah anak kandung westernisme dan sekularisme, dan bukan anak kandung Islam. Oleh karena itu, dia menawarkan ide Islamisasi. Dimulai dari Islamisasi pengetahuan, lalu diikuti oleh hasrat Islamisasi seluruh aspek kehidupan, sejak dari pakaian islami, hingga sistem ekonomi Islam.

Walaupun banyak yang tidak mengerti uraian Al-Faruqi dan Al-Attas tentang Islamisasi pengetahuan, namun banyak sekali muslim Indonesia yang sangat bergairah dalam mengislamkan segala lini kehidupan. Mengapa bisa demikian? Sebab, mereka mengira bahwa dunia mengalami penyakit kesesatan kronis, dan solusi satu-satunya adalah dengan menyuntikkan Islam ke dalamnya.

Tapi yang sebenarnya terjadi adalah bukan solusi yang kompatibel dengan problematika yang sedang dihadapi umat Islam, melainkan sebuah glorifikasi: menjawab problem masa kini dengan solusi masa silam.

Ibnu Rusyd mengkritik glorifikasi yang dilakukan sebagian besar umat Islam Indonesia ini. Menurutnya, hidup dalam asumsi dan glorifikasi seperti itu membuat kita sering terlambat menyambut ide-ide baru. Metodologi berpikir bagi kalangan muslim yang seperti ini adalah berusaha mencari jawaban bagi persoalan masa kini, dengan cara menggali peninggalan-peninggalan masa lalu.

Kemudian Ibnu Rusyd menawarkan solusi konstruktif. Dalam tilikannya metodologi ini (glorifikasi) problematik. Seharusnya, jika ada masalah ekonomi dan politik di dunia modern kita hari ini misalnya, maka yang harus dilakukan adalah memperoleh pengertian yang utuh dan tepat mengenai watak dan karakter ekonomi dan politik masa kini. Solusi bagi masalah-masalah itu pun, dengan demikian akan dibangun berdasarkan watak dan kebutuhan utamanya.

Sementara itu, dalam sebuah metodologi “menengok masa lalu”, justru diasumsikan bahwa “masa lalu” itu punya kemampuan mengoreksi “masa kini”. Padahal, apa yang terjadi dan tersusun ribuan tahun silam memiliki watak dan karakter yang sama sekali berbeda dengan apa yang ada saat ini. Itulah yang terjadi, ketika gairah keislaman sebagian besar muslim modern, dari kalangan terdidik maupun awam, mendorong mereka melakukan Islamisasi kehidupan.

Islamisasi juga berfantasi soal supremasi politik Islam, ekonomi Islam, bank Islam, sekolah Islam, negara Islam, sains Islam, dan seterusnya. Yang ada dalam kepala dan imajinasi mereka adalah fantasi bahwa Islam merupakan sistem yang komplit, dan supremasinya langsung berasal dari pencipta alam semesta.

Kita amat bernafsu menciptakan dunia versi kita. Politik Islam, partai Islam, ekonomi Islam, bank Islam, dan seterusnya; Seolah dengan begitu kita sudah berhasil menjadi pejuang di jalan Tuhan. Namun kita meremehkan proses panjang kemanusiaan. Umat ini selalu mau jalan keluar yang instan.

Alih-alih memilih jalan rasional dan ilmiah yang seringkali panjang, sulit, dan memakan waktu, kita justru mengira bahwa semua jawaban bagi masalah sudah ada dalam agama dan kitab suci. Namun, itu pun agama dan kitab suci yang diterjemahkan secara harfiah; bukan agama yang didalami secara rasional dan spiritual. Mendekati agama secara sepantasnya juga sebenarnya perlu waktu lama. Namun, sekali lagi, kita lebih suka yang instan.

Ekonomi Islam dianggap sempurna karena ia menempatkan Al-Qur’an sebagai landasan. Kita lalu kehilangan rasionalitas untuk mengukur apakah definisi dan aplikasi ekonomi Islam itu sendiri tidak melanggar logika dan nalar ilmiah. Kita mengira, karena landasannya adalah agama, maka ekonomi Islam, partai Islam, dan mini market Islam, pastilah secara otomatis benar dan mulia.

Bagi Ibnu Rusyd, inilah sikap anti-rasionalisme dan egosentrisme. Jika dihadapkan pada agama, kita kehilangan daya kritis. Kita takut mempertanyakannya. Banyak dari kita secara egois mengira bahwa semua yang dari agama kita pasti benar dan tepat. Kita takut menyatakan bahwa agama punya ranahnya sendiri dan sains punya ranahnya sendiri. Kita takut menjadi kafir jika menolak apa pun yang diembeli Islam. Kita pun mengira bahwa segala sesuatu harus di-islamkan.

“Kalau sudah begini”, tulis Ibnu Rusyd, “nalar religius menjadi campur aduk dengan nalar kehidupan sekuler. Ranah di mana kita seharusnya berpikir rasional, malah didekati dengan dogma.”

Ibnu Rusyd menyuguhkan satu contoh tentang ekonomi Islam yang dicetuskan oleh orang-orang yang menghendaki Islamisasi seluruh aspek kehidupan. Tatkala harus merumuskan definisi ilmu ekonomi Islam yang mereka tawarkan ini, mereka pun mengatakan bahwa ia adalah sebuah ekonomi kemanusiaan yang berlandaskan kepatuhan kepada Tuhan.

Bagi Ibnu Rusyd, frasa “kepatuhan kepada Tuhan” jangan Anda kira bermakna universal. Sama sekali tidak. Tentu saja, yang mereka maksud tidak lain adalah eksklusivisme, sebab, yang disebut “kepatuhan kepada Tuhan” adalah kepatuhan terhadap syariat dan hukum Islam.

Lalu, apa yang benar-benar belandaskan syariah Islam tersebut? Apa pun itu, kenyataannya tidak ada konsep ekonomi syariah yang bisa menandingi kelengkapan dan kerumitan ekonomi global hari ini. Cara mereka mengislamkan ekonomi pun mandek, dan hanya mampu dilakukan pada dimensi superfisialnya saja. Misalnya, upaya mengislamkan ekonomi itu dilakukan lewat cara reformulasi ukuran bunga bank, regulasi bagi-hasil, industri halal, pasar syariah, atau dinar dan dirham.

Mereka hampir tidak sadar, atau memang sengaja tidak membuka mata, bahwa sebenarnya bunga hanya bagian kecil dari mesin raksasa bernama bank, dan bank itu sendiri adalah mesin utama kapitalisme. Mereka juga tidak sadar bahwa bagi-hasil tidak selamanya menguntungkan kedua belah pihak dalam transaksi ekonominya; Halal-haram adalah kode-kode etis yang hanya mengikat segolongan manusia yang mempercayainya, dan dinar-dirham adalah produk salah kaprah dari keyakinan bahwa “masa lalu” selalu lebih baik.

Islamisasi dengan metode “kembali ke masa lalu” inilah yang disebut anakronisme. Sebuah tindakan yang tidak masuk akal, tidak rasional, yang salah menempatkan solusi bagi masa kini, yang mengukur baik atau tidaknya sesuatu berdasarkan sudut pandang sempit satu golongan agama semata. Respons Islamisasi yang demikian bukan hanya tak menjanjikan, tapi justru berbalik, menjadi blunder bagi umat Islam, karena membuat mereka tak mampu beradaptasi dalam iklim ekonomi yang rasional dan pragmatis.

Menurut Mustafa Akyol, metode Islamisasi tidak kritis dalam membaca tradisi dan sejarah, dan, yang lebih parah lagi, mereka masih terjebak dalam ekslusivisme dan tribalisme keagamaan. Apa yang dimaksud tribalisme ini? Menurut Charles Kimball, ia adalah anggapan umat beragama bahwa apa yang ada dalam susunan akidah para ulama mereka di zaman dahulu adalah nilai-nilai mutlak dan absolut, yang harus dibela mati-matian, seperti seseorang yang membela sukunya dengan mati-matian.

Lalu apa sebenarnya yang menjadikan umat Islam memiliki hasrat ideologis untuk melalukan Islamisasi kehidupan? Dalam pembacaan Ibnu Rusyd, umat Islam selama ini terjebak dalam sebuah kondisi psikologis inferior. Tidak diakui di lisan, tapi jelas menghantui alam pikiran. Rasa rendah diri itu coba diobati oleh beberapa orang. Tapi caranya salah. Mereka menciptakan narasi apologia, bahwa Islam pernah jaya dan berkuasa. Jelas itu menenangkan. Tapi hanya sementara. Fakta sebenarnya justru tak terlihat. Yaitu fakta bahwa kita mengidap penyakit kebodohan.

Begitu pula, seringkali, karena mereka merasa bahwa umat dan agamanya begitu spesial, akhirnya apabila mereka tidak mampu menjadi yang paling berkuasa dan mendominasi (baik dalam pengertian politik maupun budaya), maka dikiranya ada gerombolan orang kafir yang berkonspirasi untuk menghalang-halangi kejayaan mereka.

Jadi yang menjadi landasan psikologis bagi kelahiran hasrat Islamisasi kehidupan adalah anggapan bahwa “musuh-musuh” Islam masih dan akan terus berusaha merendahkan umat ini. Secara menggelikan, kondisi inferior dunia Islam pasca revolusi industri hingga kini, dipandang sebagai bukti bahwa “musuh-musuh” Islam sedang melakukan makarnya. Mereka, “musuh-musuh itu”, terus maju dalam sains dan teknologi, sementara kita mengeluh sendiri, sambil menyalah-nyalahkan mereka sebagai dalang kemunduran kita.

Ibnu Rusyd mengakhirinya dengan sebuah optimisme di tengah-tengah pesimisme: “Dunia Islam masih memerlukan waktu, entah berapa lama, supaya secara sadar bisa bergabung ke dalam gerbong modernisme, dengan pola pikir yang adaptif, bersahabat dengan peradaban dan bangsa lain, serta terbuka bagi perubahan. Tanpa mau menerima universalitas kebenaran, dan menerima pluralitas jalan menuju kebenaran tersebut, maka respons-respons keagamaan yang kita berikan, seperti Islamisasi ini, justru hanya menghambat adaptasi dunia Islam ke dalam iklim modern.”
* * *

Gerakan Islamisme

Ketika menyoroti gerakan Islamisme, Ibnu Rusyd menggunakan perspektif seorang ilmuwan sosial prancis, Oliver Roy dengan membedah bukunya yang cukup populer: The Failure of Political Islam. Secara sederhana, Islamisme adalah sebuah ideologi kekuasaan dan kekuatan berdasarkan ajaran-ajaran Islam. Gagasan intinya adalah keinginan menegakkan supremasi politik Islam.

Menurut Roy, Islamisme tidak lain adalah produk dinamika sosial-politik negara-negara Dunia Ketiga. Roy hendak menganulir anggapan bahwa Islamisme adalah agenda tradisionalis Islam yang polos, yang benar-benar mewarisi pesan-pesan Al-Qur’an dan Nabi Muhammad. Sama sekali tidak. Jika mau mengetahui Islamisme itu anak kandung siapa, maka kita harus lihat di bidan mana ia dilahirkan. Dari sana bisa ditanya kepada bagian administrasi, siapa ibu kandungnya. Bidan tempat Islamisme lahir adalah dunia modern pasca-kolonial dan pasca-revolusi industri. Ibunya adalah ketidakadilan, penjajahan, dan kemiskinan.

Kaum Islamis bukan kelompok tradisionalis yang irasional. Agenda mereka bukan mengubah modernisme menjadi “Abad pertengahan-isme”. Mereka jauh dari itu. Jika mereka memuji-muji masa lalu Islam, itu bukan karena mereka benar-benar ingin kembali ke sana. Mungkin mereka tahu bahwa itu tidak mungkin. Yang mereka incar adalah simpatik publik dan kursi kekuasaan.

Cara mereka menjalankan agendanya sendiri cukup modern, yaitu lewat propaganda, revolusi, dan kalau perlu terorisme. Di abad pertengahan Islam, tak ada propaganda, revolusi, dan terorisme. Cara-cara yang digunakan para pembela modern syariat Islam adalah bid’ah paling besar dalam Islam.

Roy mengingatkan kita, bahwa mereka yang Islamis hari ini, bukanlah dari madrasah dan pesantren yang kental akan tradisi Islam. Mungkin ada satu atau dua di antaranya. Namun, berdasarkan survey, mereka ini kebanyakan adalah aktivis kampus dan kantor. Mereka berdiskusi dan berorganisasi seperti halnya kaum militant Marxis. Organisasi mereka adalah sebentuk modernitas yang canggih.

Masih menurut Roy, masyarakat yang mengikuti jejak kaum Islamis juga tidak bisa disebut muslim tradisional. Kebanyakan mereka justru hidup dengan nilai-nilai urban. Konsumerisme, mobilitas sosial yang vertikal, dan ketercerabutan mereka dari tradisi di desa, madrasah, dan pesantren, adalah bukti bahwa mereka tidak lagi tradisionalis.

Bagi Ibnu Rusyd, penjelasan ini cukup membantu kita mengerti mengapa, di Indonesia misalnya, kaum Islamis pengikut partai politik anak kandung ikhwanul muslim, yaitu PKS, kemudian pengikut Hizbut Tahrir, Jamaah Islamiyah, dan Partai Masyumi selalu terkonsentrasi di kota, bukan di desa, berakar dalam kelompok-kelompok pengajian modern, dan bukan pesantren.

Menurut Roy, dari sudut pandang sosiologis, Islamisme adalah produk dari dunia modern. Para Islamis militan tak banyak yang merupakan ulama. Mereka justru adalah kaum terdidik di kampus-kampus sekuler dan modern. Kebanyakan dari mereka adalah lulusan jurusan sains dan teknik. Mereka hidup di kota-kota besar, dan bekerja di kantor dan perusahaan kapitalis, baik itu swasta maupun badan usaha milik negara.

Mereka memandang agama sebagai ideologi. Ya, agama adalah ideologi itu sendiri. Itu berarti, kaum Islamis cukup pandai secara intelektual sehingga mampu menerjemahkan Islam menjadi ideologi sosial-politik modern.

Meskipun demikian, Roy tidak melihat adanya pemikiran politik Islam, hal yang membuat Islamisme tidak kokoh secara fundamental. Alih-alih pemikiran, yang tumbuh dan subur justru adalah imajinasi. Roy menyebutnya imajinasi politik Islam.

Memang pengalaman politik Nabi Saw Muhammad, yang kemudian dilanjutkan dengan khidmat oleh empat orang penggantinya (menurut Sunni), atau oleh ahli baitnya (menurut Syiah), punya realitas historis. Itu sendiri bukan sepenuhnya imajinasi. Yang merupakan imajinasi adalah tergambarnya di kepala para militan Islam politik bahwa periode yang sangat jauh di belakang itu adalah model politik dan masyarakat yang paling ideal.

Paradigma imajinasi politik Islam ini secara definitif sudah menjadi lambang setiap kali Islam hendak berhubungan dengan politik-sekalipun pada kenyataannya nostalgia semacam ini tak pernah sukses dibangun kembali. Paradigma ini cukup berhasil menjebak banyak orang, termasuk kaum terpelajar. Muslim dan kaum orientalis. Jebakan ini membuat mereka akan langsung mengimajinasikan pemerintahan Nabi dan empat khalifah (atau para imam), ketika mereka ditanya soal Islam dan politik. Para nasionalis-sekuler Arab sekali pun, ketika ditanya hal yang sama, selalu merujuk pada imajinasi serupa.

Islamisme harus diakui sebagai respons yang cukup aktif terhadap modernitas dan perubahan kondisi peradaban global namun masih menyisakan ruang marjinal bagi umat Islam. Islamisme selalu terjalin dengan cara-cara revolusioner. Iran hari ini adalah hasil revolusi kelompok Islamis (Syiah) di sana. Roy mengakui juga keberhasilan Islamis Syiah—pada akhirnya—menguasai satu negara. Baru-baru ini revolusi juga dilakukan Taliban di Afganistan.

Islamis memang selalu punya kesempatan untuk berhasil merebut kekuasaan. Taliban yang barusan kita sebut, adalah contohnya yang paling segar. Namun, yang mau kita lihat juga adalah seperti apa politik yang mereka terapkan tatkala kekuasaan akhirnya mereka raih. Roy tidak hendak membandingkan dengan politik yang non-Islamis.

Yang ingin Roy tegaskan adalah tak ada perubahan esensial dari aturan main politik dan ekonomi dalam geostrategi Timur Tengah, dengan kehadiran kaum Islamis ini. Di mana-mana, bahkan di negara yang sudah bisa mereka kuasai seperti Iran, Pakistan, Afganistan, dan dalam beberapa hal, Irak, kaum tertindas tetap saja ada, konflik etnis dan mazhab masih tajam, persaingan kelompok untuk kekuasaan tetap panas, korupsi makin memperkaya penguasa, pembatasan aktivitas perempuan dianggap kewajiban agama, dan pembatasan kreativitas diatur untuk melindungi agama.

Dalam pandangan Ibnu Rusyd, sifat politik Islam selalu segmentatif, parokial, penuh konflik dan bias terhadap ideologi yang berbeda, justru, dengan berkuasanya Islamis di Iran, Pakistan, Irak, Afganistan, dan Aljazair, akan semakin memperjelas isi kosong dari angan-angan negara Islam. Dalam The Crisis of Islamic Civilization, Ali Allawi mengatakan bahwa kekuasaan yang akhirnya diambil oleh Islam politik ini adalah pembuktian terakhir bagi kegagalan diri mereka sendiri. Mereka memang berkuasa, namun mereka tak lebih baik dari pendahulu otoriternya yang sekuler.

Yang menjadi kegelisahan Ibnu Rusyd, sama seperti gerakan Islamisasi pengetahuan, gerakan Islamisme terjebak dalam romantisme dan glorifikasi masa silam yang berlebihan. Menurutnya, memang betul tak ada gereja dalam Islam. Akan tetapi, kita sendiri sudah membentuk dalam benak kita bahwa otoritas dalam Islam secara keseluruhan, bukan hanya secara doktrinal, adalah para generasi terdahulu itu. Akhirnya, tak ada lagi daya kreatif dalam diri kita untuk bisa menghadapi kenyataan dan realitas hari ini, dan menciptakan jalan keluar bagi solusi permasalahan yang kita hadapi.

Yang ada adalah glorifikasi; puja dan puji verbal mengenai betapa luhurnya generasi Salaf, bertapa majunya peradaban Islam masa lalu, dan betapa salehnya mereka semua. Tapi, tak pernah ada upaya serius dan sungguh-sungguh meniru semangat ilmiah mereka, meniru epistemologi mereka, dan mempelajari metodologi Islam mereka.

Kita cukup bangga dengan pakaian gamis, jilbab panjang, celana cingkrang, jenggot panjang, dan segenap aksesoris lainnya. Narasi-narasi anti-riba, anti-Barat, dan lain-lain itu semua juga sebatas ungkapan verbal. Tak ada upaya dan kemampuan untuk menandingi itu semua. Jangankan menandingi, seimbang saja tidak. Jangankan seimbang, metodologi studi Islam saja tidak dipahami dan diletakkan di pusat pemahaman Islam dan peradabannya.

“Yang menjadi catatan kritis saya”, tegas Ibnu Rusyd, “adalah romantisme berlebihan yang kita idap, yang mengira bahwa Islam itu sudah final sejak masa lampau. Tentu saja final sebagai ajaran spiritualitas, ya. Tapi, Islam tak akan pernah mencapai kata final sebagai energi peradaban, dan inspirasi perilaku setiap muslim di dunia.”

Dalam konteks ini, tidak sedikit umat Islam yang terperangkap dalam sindrom nostalgik (nostalgic syndrome): kita begitu membanggakan kejayaan masa silam sehingga sebagian produk masa silam hendak kita jadikan solusi bagi semua problematika hari ini bahkan di masa depan walaupun sudah kehilangan nilai relevansi dan aktualitasnya.
* * *

Itulah dua diskursus utama yang dieksplorasi secara kritis konstruktif oleh Ibnu Rusyd dalam buku ini. Tentu saja masih ada berbagai wacana aktual yang disoroti secara kritis, seperti persoalan pembaruan Islam, peradaban Islam, modernisme, visi sosial Islam, rasionalisme Islam, dan lain-lain.

Terus terang, saya cukup menikmati membaca buku ini. Tentu saja, analisis kritis yang dilakukan Ibnu Rusyd dalam buku tersebut masih cukup sederhana, sporadis dan tidak menawarkan konstruksi suatu gagasan yang utuh.

Tapi saya melihatnya sebagai sesuatu yang wajar. Sebab buku ini berisi artikel dan esai-esai singkat antara lima sampai tujuh halaman saja dalam merespons berbagai persoalan yang kompleks. Kendati demikian, saya melihat Ibnu Rusyd sebagai akademisi muda yang mempunyai ghiroh keilmuan yang tinggi, semangat ilmiah yang menyala, referensi bacaan yang kaya sekaligus dalam dirinya bersemayam kegelisahan seorang cendekiawan muda yang memiliki tanggungjawab intelektual-sosial.

Hari ini, kita cukup sulit menemukan anak muda yang memiliki semangat keilmuan yang tinggi, sumber bacaan yang luas sekaligus kepekaan intelektual terhadap persoalan-persoalan aktual yang terjadi di sekitarnya. Jangankan orang yang berada di luar lingkaran perguruan tinggi, sebagian besar akademisi kampus yang sudah mengeyam level pendidikan tertinggi pun lebih sibuk dengan hal-hal bersifat teknis, praktis dan pragmatis; Tidak ada lagi semangat keilmuan. Tidak ada lagi semangat diskusi dan perdebatan akademik yang serius. Tidak ada lagi yang mau menulis atau meneliti dengan serius. Kalau ada sebagian yang masih meneliti, biasanya hanya menjalankan proyek tahunan untuk mendapatkan dana penelitian semata. Sebuah rutinitas yang tidak menghasilkan produk pemikiran yang berkualitas.

Ibnu Rusyd berbeda. Ia seorang anak muda dengan bacaan yang luas, kaya, dan otoritatif. Ketika mendiskusikan suatu wacana, ia merujuk kepada sumber-sumber otoritatif yang relevan dengan persoalan yang dibahasnya. Ia mendiskusikan ide-ide Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Fazlur Rahman, Hossein Nasr hingga Cak Nur, Gus Dur dan Buya Syafii Maarif. Ia mengeksplorasi konsep-konsep pemikiran Robert Bellah, Benedict Anderson, Patricia Crone, Fred Donner, Steven Pinker, sampai Karen Armstrong, Reza Aslan dan Ahmet Kuru. Begitu pula dengan beragam pemikiran ilmuwan Barat dan Timur lainnya yang dijadikan sebagai theoretical framework dalam meneropong puspa ragam persoalan yang tengah dikajinya.

Begitu juga dengan jiwa cendekiawannya yang selalu gelisah terhadap berbagai persoalan umat Islam yang tidak berjalan selaras dengan nilai-nilai idealitas Islam. Sebagai cendekiawan muda, jiwa idealisnya terpanggil untuk melakukan refleksi kritis terhadap pelbagai persoalan secara kritis konstruktif, cemerlang, brilian sekaligus mencerahkan.

Saya berharap Ibnu Rusyd tetap terus melakukan petualangan intelektual akademiknya ke jenjang yang lebih tinggi hingga satu saat nanti benar-benar bisa meneruskan jejak filsuf muslim tersohor abad pertengahan, Ibnu Rusyd yang meniupkan spirit pencerahan di Timur dan Barat.

PS. Ini buku yang layak kita baca.

Sumber Ilustrasi: bintangpustaka.com

About Zaprulkhan

Penulis

View all posts by Zaprulkhan →

332 Comments on “Agama Masa Depan, Masa Depan Agama”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *